XXV - Kilah Cinta

Berdoa! Jangan tanggung-tanggung minta doa ke Tuhan. Tapi, jangan asal kemaruk. Apalagi dosa masih seabrek!

Berkilah untuk keseratus kali, bahkan untuk ribuan kali, aku bisa melakukannya.

Hebat!

Semunafik itu aku menyangkal semua ini. Membiarkan pria berseragam biru itu menjauh tanpa menoleh sedikit pun padaku. Lehernya seakan terpancang untuk beralih dariku.

Apa salahnya aku mengatakan jika aku mencintainya?

Karena aku punya pemikiran objektif, yang akalnya tertutupi dengan kemunafikan.

Seharusnya aku bisa dengan mudah menandaskan kemunafikan ini, tetapi ternyata, jika aku memikirkan logika di dalam perasaanku, justru aku menemukan kemunafikan untuk menjadi dalih penyelesaian ini.

Jadi yang salah, logikaku?

Atau kemunafikanku yang terlalu besar?

"Bapak besok pulang, Echa." Ibu membuyarkan lamunanku.

Sejak aku balik dari restoran, tepatnya setelah Agaz meninggalkanku, aku memilih kembali ke rumah, mengistirahatkan segala penat di pikiranku.

"Bagus dong, Buk." jawabku datar.

"Anya telepon Ibu. Kamu ada masalah sama mereka?" Ibu mengganti topik.

Aku yang duduk di atas kursi makan, beralih meneleng ke kanan. Ibu tengah berdiri dengan lipatan tangan di depan.

Aku menggeleng, memberi senyum semurni mungkin.

"Kata Anya teleponmu nggak aktif."

Sengaja, Buk.

"Lowbat kali ya buk?" kilahku.

Ibu tersenyum, menepuk kepalaku pelan, dan menciumnya.

"Echa mandi dulu." Aku beranjak dari kursi.

"Besok Bapak pulang loh!" jerit Ibu antusias. "Jangan kayak gini."

Aku menghentikkan langkah. "Emang apa yang kayak gini, Buk?"

"Kayak cewek lagi patah hati." Ibu tersenyum. "Dengar ya, Echa. Niat ibu mempertemukan kalian untuk bikin Hopeful smile, bukan Hopeless smile." jawab Ibu kalem, mengerlingkan sebelah matanya padaku.

Aku hanya diam.

###

"Loh Bapak?" tanyaku kaget melihat pria berseragam tentara duduk bersama Ibu. "Kok Ibu nggak bangunin Echa, sih?"

"Kamu kayaknya ngantuk banget." jawab Ibu kalem. Tangannya menepuk sofa di sampingnya."Duduk di sini. Ngobrol sama Bapak."

Aku mengikuti perintah Ibu.

"Tadi ada cowok ke sini?" Bapak menyahut, kemudian menyeruput teh buatan Ibu.

"Eh Ngapain, Pak?" tanyaku panik

Ibu tersenyum. "Panik amet. Emang tahu siapa?"

Aku menggeleng.

"Tukang pos." jawab Bapak tergelak. "Ngarep orang lain ini."

Aku memberengut kesal. "Echa kira siapa." Aku beranjak dari sofa.

"Kamu ngarep didatengin buat diapain sih, sayang?" Bapak bertanya, melirikku dengan senyum menggoda.

Aku memberengut, lalu beranjak dari sofa.

"Tapi tadi ada yang nyari." Bapak menyahut, membuatku kembali menghentikkan langkah. "Dia nganterin bapak ke sini."

Aku langsung menghadap ke arah Bapak. "Siapa?! Agaz?!"

"Bukan. Bapak aja kaget. Pak Caturangga, bupati besar, datang jemput Bapak di bandara."

Aku memilih duduk kembali. "Pak Caturangga? Bapak nggak bohing, 'kan? Dia bilang sesuatu tentang Echa?"

Oh tuhan. Dia jangan sampai macam-macam.

Bapak mengangguk kalem, menyeruput lagi tehnya.

"Maksudnya?" Aku semakin panik. "Bapak kok nggak marah sama Echa?"

"Marah?" Bapak menatapku. "Malah bapak terkejut loh, Echa. Pak Caturangga kasih Bapak dua pilihan."

Astaga! Apalagi?

"Pilihannya pindah kerja di sini, atau nikahin kamu sama anaknya." Bapak menjawab dengan pura-pura tengah berpikir keras.

Eh? What?!

"Bapak pilih apa?" Ibu bertanya, menyahut di pembicaraan kami.

"Echa cinta sama Agaz?" Bapak menatapku.

Aku diam. Bukan karena pertanyaan ini. Namun mengenai Caturangga yang tiba-tiba memberi Bapak pilihan seperti itu.

Ibu tiba-tiba beranjak, meninggalkanku dengan bapak di ruang tamu.

"Bagaimana Pak Caturangga bisa ketemu, Bapak?" tanyaku akhirnya, menadaskan rasa penasaranku.

"Dia punya segala cara, Echa. Bupati selalu berkuasa dengan kekuasaannya." jawab Bapak kalem, mengusap bahuku. "Dia juga punya cara agar Bapak membujuk kamu menjalani pilihan terakhir."

"..."

###

Kafe ini terlihat begitu apik, diselaraskan dengan paduan warna abu-abu, merah dan coklat pekat berbaur dengan perangkat di dalam ruangan ini. Kursi berkayu coklat, meja kotak kecil berwarna coklat. Sofa warna merah maron dengan bagian pegangan dan sandaran dipadukan dengan coklat.

Dinding hitam yang begitu unik ini, dibuat oleh tumpukan kayu yang tertanam oleh lapisan semen. Paling ujung kafe ini, aku bisa melihat tatakan rak berisi jajaran action figure hingga majalah mengenai kopi.

Perhatianku kembali teralihkan melihat panggung barista terlihat begitu selaras dengan seluruh perpaduan komponen di dalam kafe. Kafe ini terlihat lebih massif dengan tumpukan kayu segi panjang terpendam di dinding semen.

"Echa?" Panggilan ini menarik perhatianku kembali ke depan. Pria paruh baya dengan kemeja batik telah duduk di depanku.

Aku tersentak di atas kursi, hampir menarik mundur kursiku ke belakang. Dengan kesadaran yang masih kumiliki, aku mencegah itu semua, menahan kegugupanku dengan menjengketkan salah satu kaki di atas lantai.

"Pak Caturangga." panggilku gugup.

Pria itu duduk dengan tenang. "Lama?"

Aku menggeleng kaku.

"Cuma kopi?" tanyanya lagi.

Aku mengangguk.

"Suka kopi?"

Aku mengangguk lagi dengan menahan nafasku.

"Mau menikah sama Agaz, Echa?"

"Maksudnya?" tanyaku, bingung.

Dia tersenyum. "Yang saya lihat sejak tadi, You are so nervous to meet me, Echa."

Aku membelalakkan mataku dengan rahang merosot ke bawah. Apaan ini?

"Terima kasih." sahutnya tiba-tiba.

Aku menarik senyum kaku. "Itu hanya satu hal yang saya lakukan untuk seseorang."

Salah satu alis mata yang beruban itu terangkat. "Satu hal yang menghasilkan ribuan hal itu bukan 'hanya', Echa. Tapi luar biasa."

"Terima kasih." jawabku mulai terlihat kalem dari biasanya.

"jadi, apa yang kalian lakukan untuk selanjutnya?"

Aku mengerutkan keningku, mencermati pertanyaannya. "Maksud Bapak Caturangga?"

Dia mengedikkan bahunya. "Kamu bermaksud nggak tahu, atau pura-pura nggak tahu, Echa?"

"Saya memang benar-benar nggak tahu." jawabku cepat.

Kami terdiam cukup lama. Caturangga lebih memilih menatap ke sekitar kafe ini, menjelajahi setiap sudut dengan kedua mata yang serupa dengan Agaz. Dia seperti menginginkanku untuk merenung, memikirkan dari reaksi diamnya.
Aku memainkan embun air yang muncul dari gelass kopiku, meletuskannya dengan jariku.

"Yang saya tahu, Bapak Caturangga nggak suka saya dengan anak Bapak." balasku masih asik memainkan embun air di gelas kopiku, tidak sekalipun menarik perhatianku dari gelas kopi ini.

"Saya juga paham kalau dulu saya terlalu egois pada diri saya sendiri."

Caturangga berhasil menarik perhatianku beralih kepadanya.
"Saya juga egois jika jadi anda." sanggahku kalem.

Pria di depanku menggeleng. "Menjadi bupati, keegoisan itu malah kesalahan terfatal bagi saya."

"Semua orang punya sifat egois, Pak Caturangga." imbuhku mengulas senyum semurni mungkin.

"Dan tidak menuntut kemungkinan kamu juga bisa egois untuk mendapatkan Agaz." tukasnya kalem.

Lagi-lagi, pria ini membuatku terdiam dari ribuan bahasa yang kupelajari selama ini. Seakan dia punya niatan untuk membuatku seperti ini, tergagap dengan omonganku sendiri.

"Agaz berhasil bukan karena saya, Pak Caturangga."

Dia terkekeh, tersenyum mmenyeringai kepadaku. "Memang nggak ada kamu. Tapi tujuannya itu kamu, Echa Revallina."

Aku tersentak.

"Saya adalah orang pertama yang dia ceritakan mengenai kalian. Saya adalah orang paling terkejut mendengar Agaz bercerita panjang lebar mengenai satu perempuan. Dan saya bangga bisa menjadi orang pertama yang mendengar nama kamu dari mulut anak saya saat itu."
Dia menghentikkan laju kalimatnya.

Matanya menyiratkan bahwa ini bukan sekedar penjelasan omong kosong. Pria ini pernah menjadi orang yang dibanggakan oleh Agaz, orang yang selalu menjadi penyalur ceritanya mengenai diriku.

"Kita sama Echa." Dia kembali melanjutkan kalimatnya. "pernah menjadi bagian terpenting dari hidup Agaz."

Aku masih diam, menyermati semua kata yang keluar dari mulutnya.

Kali ini, aku mohon, jangan sekali lagi untuk berkilah. Aku mohon.

"Boleh saya bertanya?" Aku mulai memberanikan diri membuka suara.

Pria di depanku mengangguk kalem.

"Apa benar Bunda Agaz meninggal karena narkoba?" Rasanya, mempertanyakan hal ini seakan menarikku kembali pada kebodohan untuk mencari masalah lagi.

Kemungkinan besar pria ini akan merespon pertanyaanku dengan kembali menyuruhku untuk tidak lagi masuk dalam kehidupan Agaz, tetapi nyatanya, dia masih tersenyum kalem seperti tadi. Seakan pertanyaanku hanya segelintir pertanyaan yang tidak penting.

"Iya." jawabnya singkat.

"kenapa?"

"Semuanya yang ada di surat kabar, itu benar, Echa."

"Anda berselingkuh?" tanyaku cepat, lalu menyadari ini adalah pertanyaan terbodoh. "Maaf." runtukku, sesal.

Dia menggeleng. "Bukan. Karena saya terlalu egois dengan kedudukan saya."Dia tengah menarik nafas berat, lalu menghembuskannya. "Egois memang penyakit terburuk untuk manusia. Saya bahkan pernah egois untuk menguasai seluruh Indonesia ini. Hahaha." Dia tergelak di akhir penjelasannya.

Dan kalimat terakhir yang disertai gelak tawa, tidak menarik sudut bibirku tersungging membentuk senyuman.

Dia menatapku, menghentikan tawanya, tersadar jika aku tidak berada dalam kondisi untuk diajak bercanda. "Saya serius, Echa."

Aku menghela nafas. "Saya kira saya cukup paham sekarang."

"Paham tentang apa?" tanya pria ini menyandarkan bahunya di sandaran kursi.

"Anak anda." Aku tersenyum, mengubah posisi duduk untuk menyandar sepertinya. "sangat persis seperti anda."

Dia hanya terkekeh. "Sekarang, beres?"

Aku mengangguk, meraih gelas kopiku yang masih tersisa seperempat gelas. Es batu yang mencair di dalamnya telah memudarkan rasa capucino di dalam mulutku.

"Kopi apa yang bagus untuk saya?"

"I'm not barista, Pak Caturangga."

Pria ini mangut-mangut. Tangannya mengusap dagu runcing. "Tapi nanti kamu bakal menjadi mantu saya, 'kan? Seharusnya bisa kasih saran untuk saya."

Aku tergelak.

Oh Tuhan, ini lebih dari apa yang aku pikirkan.

###

Pria itu tengah melangkahkan kakinya menuju ke arahku. Tidak dengan wajah seramah biasanya. Tidak dengan senyum paling kusukai.

"Hai." sapaku setelah berdiri tepat di depanku.

"Kenapa?" tanyanya dengan wajah sedatar mungkin, bahkan tatapannya tidak sedikitpun mengarah padaku.

"Ada waktu hari ini?" Aku mencoba tetap memberi nada ramah pada perbincangan kami.

"Berapa lama?"

"Apanya?"

"Gue agak sibuk hari ini." jawabnya ketus dengan melipat kedua tangannya di dada.

Aku mengusap siku tanganku, menatap ke sekitar lobby apartemen, lalu kembali menarik senyum segaris. "Kamu pernah tanya 'kan, tentang aku harus memikirkannya secara objektif?"

Dia diam dengan kerutan di kening yang mulai berkedut. "Tentang hal objektif apa?"

"Tentang cara mencintai kamu." jawabku kalem, mengulas senyum sesimpul mungkin.

"Apa?"

"Kamu sibuk, jadi mending aku ngomongnya waktu kamu lagi-"

"Ikut aku." sanggah Agaz menatapku lekat. Manik hitam itu tengah menyorotku agar aku segera terpaku dengan perintahnya.

Tanpa menunggu reaksiku, dia berjalan melewatiku, yang menarik kakiku untuk untuk segera mengekori ke arah pintu lift yang telah terbuka lebar untuk kami.

Aku berdiri paling belakang, dan memjlojok di sudut lift. Agaz berdiri di depanku, tanpa sekalipun menolehkan wajahnya hanya untuk bertegur sapa di dalam lift. Dalam hitungan menit, aku sampai di lantai apartemennya.

"Gue cuma bisa bentar." seru Agaz sembari berjalan keluar lift.

Aku hanya menjawabnya dengan anggukan.

Kami sampai di depan apartemen miliknya. Cukup lama aku tidak mengunjungi tempat ini. Seminggu lebih, saat aku mengatakan semuanya dan...

Permintaan maaf setelah melakukan masalah lagi.

"Loe mau minum apa?" tawarnya setelah kami masuk ke dalam apartemennya.

"Nggak. Kelamaan kalau nunggu kamu buat." tolakku halus, kemudian berjalan ke sisi kanan. "Itu gundam yang kita beli?"

Dia menatap gundam di atas lemari. Kemudian mengangguk. "Duduk aja, Echa. Anggap apartemen loe sendiri."

Aku tersenyum, melipat tangan ke belakang. "Bukannya memang gitu, ya?"

Dia mengerutkan keningnya. "Maksudnya?"

"Kamu nggak mau nikahin aku?" godaku dengan kalem.

Pria ini memutar matanya. "Kapan aku, maksud aku, maksud gue, shit." sungutnya dengan menekan sudut hidungnya.

"Aku nggak masalah pakai gue loe, aku, atau kamu. Yang masalah, cuma kamu udah nggak sehati sama aku aja." sergahku kalem, menarik kedua sudut ke atas, membentuk senyuman lebar.

Dia tersentak. Kerutan di kening itu berganti dengan kedua mata membeliak lebar, dan rahang merosot ke bawah.

Aku duduk di atas sofa. Tanganku menepuk samping kiriku, menyuruhnya duduk di sampingku. "Aku bisa bikin kerutan di keningmu hilang, sayang."

"Echa..." Dia tengah memejamkan mata dengan tangan mengusap rambut ke belakang. "Jangan bercanda."

"Jatuh cinta sama kamu itu objektif, tapi bisa bikin aku mikir subjektif, Agaz." sahutku tidak memedulikan kekesalannya. "Kamu itu subjektifku dan objektifku. Pemikiranku bisa dua-duanya kalau berkaitan sama kamu."

"Jangan terlalu berbelit, Echa."

"Aku cinta sama kamu." jawabku cepat, tersenggal, lebih tepatnya. "Nggak perlu tanya lagi, kamu tahu itu semua."

Dia menggeleng. "Tapi kamu nggak mau ngakuin itu."

"Karena susah rasanya ngakuin ke masa lalu." desahku pelan dengan nada bergetar.

"Apa salah kembali dengan masa lalu, Echa?" Dia bertanya, kemudian melangkahkan kaki untuk duduk di sampingku. Tubuh tegap itu menyamping, membuat jarak kami hanya sejengkal. "Kamu perlu aku buat ke masa depan."

"Bukan." tangkisku cepat. Tanganku berani untuk terangkat ke wajahnya. "Aku perlu Agaza Putra untuk sekarang. Bukan nanti."

Dia tersenyum.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top