XXIX - Catch You, Marry You, I love You
Pria itu harus bondo nekat. Kalau ada nekat, pasti ada tekad bulat. Kalau ada tekad bulat, kamu nggak perlu lagi telanjang bulat.
Agaz duduk di depanku, terapit di antara Caturangga dan Bapak. Dia terlihat duduk dengan cemas, kadang dia bergerak tidak nyaman saat Bapak menepuk bahunya. Kadang Bapak meliriknya dengan tajam, saat Bapak tengah bertanya tentangnya.
Caturangga hanya sekedar melirik Agaz kemudian ikut berkelakar dengan Bapak mengenai pekerjaan masing-masing.
Aku duduk diapit oleh Ibu dan Nenek. Perbincangan mengenai pekerjaan mereka mulai berganti mengenai keinginan mereka datang ke rumahku.
Jadi ingat beberapa hari yang lalu, saat aku, Anya dan Pak Bos masih merayakan kebahagiaanku di bar setelah dilamar oleh Agaz dengan cincin berpermata besar.
"Kau tahu lemahnya pria di mana?"
Kami berdua meneleng ke arah Pak Bos. Anya sudah setengah mabuk karena telah menandaskan dua gelas wine. Dia yang tadi menolehkan kepala ke Pak Bos, sedetik kemudian kepala mungil Anya langsung merosot ke atas meja bar. Dia bergumam tak jelas di sisiku.
Aku melirik Anya yang terkapar di atas meja bar. Aku kembali menelengkan kepalaku lagi ke arah Pak Bos dengan berkata, "Tadi gimana, Pak Bos?"
Pak Bos mengerutkan keningnya, lupa sesaat. Sedetik kemudian, dia mengangkat dagunya, terlihat tahu maksud pertanyaanku tadi. "Hal yang membuat kami, para pria lemah itu bukan kecoa. Tetapi duduk di depan orang tua kelen, minta restu ke orang tua kelen. You know what, itu bikin kami kek pria banci yang punya lemah syahwat."
Aku hampir saja tergelak dengan perumpaan yang dia gunakan untuk mengandaikan kalimatnya. "Yatuhan, segitu amet. Kan tinggal minta." jawabku asal.
Pria tambun itu mendelik, tidak terima dengan asumsiku yang asal kulontarkan. "Dikira minta gampang?! Kau harus tahu, kelen, para perempuan di dunia nggak gampang buat orang tua kelen setuju, ngeiyain. Awak kalau udah ngangkat anak ini, awak juga bakal kasih ribuan pertanyaan buat predator di dunia. Karena apa? Kelen itu permata bagi kami, para orang tua. Cak mana kalo ada permata yang dikasih cuma-cuma ke orang, kalo orang itu tak bedogol, ya?!"
"Echa..." Ibu menyikut lenganku, menarikku dari kejadian berminggu-minggu yang lalu di antara aku dan Pak Bos
Aku langsung menelengkan kepalaku ke Ibu, beraut tanya kepadanya.
"Gimana? Kamu mau nikah kapan?" tanya Ibu lagi, yang malah membuat kerutan di keningku terlihat mengkedut.
Caturangga menyahut, "Kamu nggak mau nikah sama anak saya?"
"Eh, bukan gitu. Maksud saya itu saya-" Kalimatku terhenti ketika menyadari Caturangga, Bapak dan Ibu tersenyum menggoda. Agaz tertunduk dengan menahan senyumnya. Aku menggigit bibir bawahku, kemudian memilih menatap ubin kayu untuk menutupi semburat rona merah.
"Jadi kapan maunya? Gimana nak Agaz?" Bapak mengganti arah pertanyaan yang mengarah kepada Agaz.
Pria di sampingku hanya tersenyum kikuk. "Sebenarnya, saya sih mau lamarannya dua bulan lagi. Nikahnya tahun ini."
Aku tersentak kaget.
"Wah, kamu gerak cepat sekali, ya? Udah mantap nikahin anak saya?" Bapak tersenyum menggodanya.
Agaz menatapku, lalu menjawabnya. "Sejak sembilan tahun lebih, Om."
Aku meneguk ludahku, menarik tatapanku yang hampir larut ke dalam manik matanya. Seakan, ruang tamu yang tidak sempit dengan pintu terbuka lebar, dua kipas angin yang tergantung di dinding, tidak membuatku bernafas lega, justru membuat bagian punggungku basah.
"Gimana Buk?" Bapak bertanya ke Ibu.
Ibu mendekap bahuku. "Ibu dari dulu setuju, ya, kan jeng?"
Nenek tersenyum. "Kalau nggak ada Echa, keegoisan dua orang ini nggak bakal pudar." Nenek melirikku, lalu menatap anaknya dan cucunya. "Jadi, saya nggak mungkin mau melepaskan permata di keluarga ini, bukan?"
Ibu tertawa malu-malu dengan tangan dikibaskan ke udara. Aku memilih tersenyum kalem. Masih menatap ke arah lain. Ketika kedua mataku kembali ke depan, tatapan itu masih menungguku. Seakan dia ingin menelanku hanya dengan dua manik hitam miliknya. Tubuhku membeku seketika ketika kedua lesung pipi yang kusukai menyembul keluar dari kedua pipinya.
Suara Bapak menyahut, membangunkan kami dari ketermanguan sesaat. Caturangga berdiri, membuatku dengan sigap keluar dari jalur menyeramkan di kedua manik hitam pekat itu. Menarikku segera beranjak dari sofa, bersamaan dengan Nenek yang ikut berdiri.
Bapak meminta tambahan adat Jawa di pernikahanku. Untuk memilih tanggal, kami masih belum tentukan, hanya kasaran bulan yang pantas disebut hari baik. Setelah itu, kami mengantarkan mereka berdua ke teras depan.
Saat aku mencium pipi Nenek, Agaz tiba-tiba berujar dengan wajah yang setengah ragunya minta ampun.
Oh tuhan, dia benar-benar predator yang kehilangan keberanian buat mencekam umpan kayak kami.
"Boleh saya ngajak Echa bentar, Om?" Agaz bertanya dengan hati-hati.
"Loh kalian belum sah loh." seru Bapak menatapnya dengan lipatan di kening.
"Saya cuma ngajak sekitar sini kok, Om." keukeuh Agaz tersenyum sopan yang lebih terlihat dia tengah panik.
This is the reason, pria bisa jadi kecewekan kalau di depan orang tua pacarnya!
"Saya bercanda loh, Nak Agaz. Mukanya panik amet." Bapak menepuk bahunya keras, membuat pria ini sedikit terguncang karena tepukan Bapak. "Hati-hati dan jangan diapain. She is still Our diamond, Gaz!"
"Dia juga sebagian hidup saya, Om." timpal Agaz tersenyum malu-malu.
Caturangga ikut menyahut. "Kalau dia sebagian hidup kamu. Kalau bagi Ayah, Echa ini udah kartu As buat bikin kamu nurut sama Ayah."
Aku tergelak seketika, kemudian menyahut. "Jangan ngerebutin Echa dong."
Mereka bertiga tertawa, diikuti dengan Ibu dan Nenek. Setelah itu mereka kembali menuju mobil hitam metallic di luar pagar. Agaz memang membawa mobil sendiri, mobil yang sering kami bawa ketika berpergian.
Aku masuk ke dalam mobil setelah membawa beberapa tas dan dompet di dalamnya. Agaz memutar mobilnya, sedangkan mobil Nenek dan Caturangga berjalan lurus ke depan.
"Gimana?" tanyaku dengan menekan-nekan tombol di layar LCD mobilnya, mencari-cari lagu yang kusuka.
"Apanya?" tanya Agaz balik, masih kesusahan memutar balik mobilnya.
"Tadi itu." jawabku sederhana, lalu bersandar di kursi setelah menyetel lagu Maliq.
Agaz masih diam. Tangannya telah berhasil membuat mobil ini berjalan lurus searah. Dia melirikku, lalu tersenyum ke depan. "Nakutin."
Aku tergelak. "Bapak aku baik ketimbang Caturanggamu."
"Ayahku lebih enak diajak ngobrol ketimbang yang tadi."
Aku tersenyum simpul kepadanya. "Yang sudah jadi kawan, ya? Dibela terus."
Pria di sampingku menoleh, tersenyum lebar kepadaku. "Kalau bukan karena Persija menang, aku sama Ayah nggak bakal kayak gini."
"Kok gara-gara persija sih?" keluhku sebal kepada Agaz, yang hanya dijawab senyuman simpul.
"Lah terus karena siapa?"
"Yang ngajak gue, yang harus dikasih terima kasih ya gue. Bukan persija yang cuma nyetak dua gol doang dalam kurun waktu lebih 60 menit!" sungutku kesal dengan meliriknya tajam.
Tangannya terulur mencubit pipi kananku, membuatku malah memberontak jengah dengan responsnya.
"Oke, oke." Agaz melirikku setelah mobilnya berhenti karena lampu merah. "Terima kasih, ya, calon istriku."
Aku tersenyum kemudian, berhasil dibuat kalem hanya karena panggilan manisnya.
Agaz kembali menjalankan mobilnya, membelok ke arah kanan. Mobilnya mengarah ke arah Jakarta Pusat, menembus ke dalam arah kemacetan.
"Mau ke mana?" tanyaku setelah mengetahui kami mengarah ke tengah-tengah kota Jakarta.
"Surprise, Sayang." jawab Agaz kalem.
Mobilnya telah masuk ke gedung pencakar langit. "Kamu ngajak aku dinner?" tanyaku ragu dengan mengamati gedung di depanku.
"Ini sih bukan dinner." jawabnya kalem dengan menatapku setelah memarkirkan mobilnya di jalur Valley.
Aku memutar mata jengah mendengar jawabannya. Menduga mengenai hal romantis dari pria ini memang nggak harusnya kulakukan. Tapi, kalau bukan untuk dinner, ngapain kami ada di gedung hotel ini?
"Kita ngapain sih di Westin? Check in hotel?" sungutku sebal kepadanya dengan melepas sabuk pengaman.
Pria di sampingku hanya terkekeh pelan. "Bukan." jawabnya simpul dengan melepas sabuk pengaman.
"Ya terus, ngapain kita ada di sini kalau nggak mau ngajak aku dinner?!"
Agaz hanya mengedikkan bahu, keluar dari mobil begitu saja. Lalu dengan cepat, dia membuka pintu mobil, menyuruhku untuk segera mengalungkan tanganku ke lengannya. Awalnya aku protes, tetapi melihat beliakan mata itu, tiba-tiba membuatku menurutinya tanpa satu sangkalan yang lain.
Dia mengajakku ke dalam hotel, memasuki lift, dan menggengam erat lenganku di lengannya. Beberapa kali, Agaz mendaratkan kecupan di jemariku, meremasnya hangat, lalu melirikku dengan senyuman lebar. Aku membiarkannya, masih menunggu, menduga-duga hal tergila apa yang bakal dia lakukan lagi setelah ini.
Pintu lift itu terbuka. Bukan kamar, atau bukan museum, atau bahkan ini buka stasiun, atau ini bukan event cosplay yang nggak aku pahami.
Ini...
We are at the 67th floor.
Agaz membawaku ke swanky lounge yang menyediakan pemandangan megah, semegahnya Jakarta dari atas sini. Gemerlap lampu dari gedung pencakar langit langsung tertangkap dari kedua mataku saat Agaz menarik tanganku pelan keluar dari lift. Pelayan dengan seragam hjtam langsung menyambut kami, membawa kami duduk di dekat jendela besar penyekat kemegahan Jakarta dengan gedung ini.
"Kamu lagi nggak bercanda, 'kan?" tanyaku masih kurang gamang dengan keadaan sekitarku.
Alunan musik klasik, pemandangan Jakarta yang terkihat menarik di atas sini, dan tentu suasana romantis yang diciptakan antara segala pemandangan di luar dan pemandangan dalam gedung yang begitu sangat artistik.
Agaz tersenyum, kemudia. mengenggam tanganku hangat. Matanya menguar kelembutan dan kehangatan yang menjukur di seluruh tubuhku. "Kapan aku bilang bercanda buat berhubungan sama kamu, Echa?"
Aku menggeleng. "Aku cuma kaget. Kamu terlalu susah ditebak." jawabku haru dengan menggeleng bahagia.
"Lebih enak susah ditebak. Ketimbang kamu, susah didapet." Agaz tersenyum menggoda di depanku.
Aku hanya menanggapinya dengan kekehan pelan. Dia melepaskan tanganku, menyuruhku memesan menu apapun sesuai keinginanku. Aku mengamati segala gerakannya dari balik menu. Dari membaca buku menu, berganti mengarah ke ponselnya, kembali lagi ke buku menu dengan sesekali mengerutkan kening bingung ketika pelayan menjelaskan menu dinner malam ini.
Dia bertanya sesekali pada pelayan, lalu kepadaku. Dia mengangguk dengan tangan mengusap hidungnya, lalu beralih kembali menatap ponselnya. Dia kemudian menyerahkan buku menu ke pelayan dan menatapku.
"Udah tau mau makan apa?"
Aku mengangguk. "Ngikutin kamu aja."
Pria di depanku mengangguk, lalu berkata kepada pelayan dengan seragam hktam yang terliht rapi dan klimks di rambutnya. Pelayan pria ini mengangguk, lalu kembali umtuk meninggalkan kami.
Aku senang mengamati apapaun yang dilakukan pria ini. Entah sejak kapan.
"Ayah ngechat, bulan baiknya buat pernikahan kita bulan Oktober. Gimana?"
"Secelat itu?" tanyaku kalem, setelah puas mengamati segala gerakan dari lria ini.
"Kamu nggak mau kita nikah cepat-cepat?"
Aku mengggeleng. "Bukan gitu. Ini itu kayak kita lagi nikah by accident tau, Gaz."
Agaz menghela nafas. "Memang kita nikah by accident."
"I am not pregnant yet, Agaz sayang."
"No, accudent kan banyak macamnya. Bukan cuma karena kamu hamil, ayang aku maksud accident yang namanya cinta. Kalau nggak adak, ggak bakal kamu mau sama aku." jelasnya acuh dengan menatapku sebal.
"Lucu banget deh kalau lagi kebelet." godaku dengan mengerling nakal kepadanya. "Iyaudah, aku sih oke aja. Asal nggak ada yang namanya nikah without planning, loh, Sayang."
"Sebelum kamu kasih tahu ke aku, aku udah nyiapin semua. Tinggal ya penghulu sama dekor yang kamu mau."
Aku mendelik kaget mendengar penjelasannya. "Undangan? Catering? Yatuhan Agaz, nikah nggak sekedar satu kali comot, banyak comotan yang harus kita pikirin."
"Echa, aku ngerti. Maksudku, aku udah nyiapin semuanya. Kamu minta apapun, aku kasih. I mean, jangan yang terlalu to much buat wedding. Aku nggak suka yang kayak gitu."
Aku mengangguk. "Tapi, please... Jangan terlalu terburu-buru."
Agaz mengangguk bersamaan dengan pelayan telah mebawa trolli yang penuh dengan makanan pesanan kami. Pria itu menjelaskan mengenai menu kami. Dia mulai memotong steak daging yang Agaz pesan pemasakan yang medium cooked.
Pelayan kemudian menaruh steak daging satu persatu potongan ke dua piring sembari menjelaskan daging yang mereka simpan selama 31 hari.
Pandanganku kembali menatap Agaz, yang terkihat seirus mendengar penjelasan pelayan. Sepuluh menit kemudian, pelayan meninggalkam kami berdua dengan menu santapan daging medium cooked yang katanya disimpan selama 31 hari ini.
"Kamu serius banget dengerin dia jelasin menu tadi?" tanyaku dengan menusuk dagung ini dengan garpu, mendekatkannya ke mulutku.
Agaz sejenak diam karena terlihat tengah mengunyah makanan. Setelah menelannya, dia menjawab pertanyaanku. "Kalau nggak serius ditanggepin nanti bakal jadi kayak aku, dibuat Understimates for women that I loved."
Aku tercekat. "Jangan nyindir lagi dong. Kan aku udah minta maaf."
Pria ini hanya terkekeh, lalu membiarkan tangannya terjulur ke wajahku. "Pokoknya kamu still woman i loved."
Kedua pipiku merona merah seketika. Jemarinya yang mendarat di wajahku segera kutepis, lalu menyamarkannya dengan meneguk segelas air minum ke mulut.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top