XXIV - We are not complicated

Senandika senandung dalam jiwa
Jiwa berperang rasa, hati lawan logika
Siapa yang benar salah, siapa yang menang kalah
Siapakah si pengalah, siapa si jawara
Siapa sang penguasa

Maliq & D'essentials

###

"Kenapa loe milih hilang waktu itu?" Anya menatapku dengan mengunyah es serut yang telah kami pesan lima belas menit lalu.

Tanpa mengindahkan pertanyaannya, aku menyendok es serut dari arah depan dengan sendok milik Anya.

"Awak jadi kau, mungkin awak tetap ada di sana." Pak Bos menimpali. Dia kemari hanya ingin melepas penat dari menunggu istrinya yang tengah mempercantik diri di sebelah restoran ini.

"Sayangnya kita beda pemikiran, Pak Bos." jawabku kemudian, bernada kalem, seolah hal ini bukanlah topik terpenting.

"Bukan beda pulak, Echa. Hati kau lagi ecek-ecek ngelawan kali." tukas Pak Bos, tersenyum menggodaku.

Anya mengangguk.

Aku menggeleng, kurang setuju dengan asumsi Pak Bos. "Sejak kapan aku menjalani hidup pura-pura? I'm not artist how can act look like idiot people. Paham?"

"Tapi kemaren, sandiwara loe hebat, sweatheart. Membuat rencana di atas rencana." Anya menyahut kalem, memasang wajah cemooh kepadaku dengan tepuk tangan singkat.

Aku menggeleng tegas. Sendok di tanganku kuletakkan di atas mangkok dengan sungutan kesal kepada mereka.

"Urusan kita udah beres." sanggahku mantap, menatap mereka bergantian.

"Urusan mereka. Bukan urusan kau dan Agaz." Pak Bos kembali mengulum senyum. "Kau tak coba, making a love and making a life with Agaz secara bersamaan?"

Aku menatap pak Bos dengan takjub. "Pak Bos..." Kedua tanganku terangkat, memberi arah agar mereka tidak lagi membawa topik ini. "Enough buat Agaz."

"Kapan sih loe ngaku? Perasaan loe itu belum enough sama Agaz. Jujur ke gue, Echa. Sekarang ini loe lagi patah hati, 'kan?"

Aku menggeleng tegas.

"Dia bukan patah hati. Kau udah cinta tengah mati, sampai tak tahu bedanya sakit hari cem gini, 'kan?" Asumsi Pak Bos membuat raut wajahku memucat. Seakan-akan omongan Pak Bos menjadi batu besar, memukul kepalaku, menarikku pada kesadaran tentang apa yang menyakitiku hingga seperti ini.

"Gimana?"

Aku mendongak untuk menatap Anya. "Apanya?"

"Jatuh cinta sama masa lalu?"

Aku menarik salah satu sudut bibir ke atas, menatapnya dengan keki. Tanganku mengusap wajahku, menggeleng dengan pasrah. "Rasanya itu sadis. Kayak gue punya peran jahat sama baik."

"Jangan lupa peran jadi orang bodoh, sweatheart." Anya menimpali. "Yang jelasnya kita tahu, masa lalu itu pembelajaran. Bukan diulangi di masa sekarang."

"Kalau endingnya di masa depan, cem mana?" Pak Bos menyahut, memotong asumsi Anya.

Anya menatapku. Mulutnya tengah terbuka, seakan jawaban yang akan dia keluarkan, ada sangkut pautnya denganku. "Nah itu, pembelajaran yang berakhir dengan pembenaran!"

"Pembenaran kalau mereka ternyata jodoh!" timpal Pak Bos ikut tersenyum padaku.

"Agak halus ya sindirannya." timpalku sebal menatap mereka berdua.

"Bukan sindiran, Echa. Ini namanya pedoman hidup." jawab Pak Bos kalem.

"Anggap kita motivator, yang suka banget nulis status sok, padahal hidupnya soak." kelakar Anya dengan mengangkat alisnya, yang baru dua hari lalu dia kembali menyulamnya.

Pak Bos tergelak. Perut buncitnya ikut bergerak seirama tawa kerasnya. Aku hanya menggeleng pasrah melihat perilaku mereka yang tidak ada bedanya dengan badut jalanan.

Pemahaman mereka tadi memang nggak seluruhnya salah, dan aku nggak pernah bilang mereka juga benar. Karena hal itulah, yang menarikku berada di ambang kebingungan. Antara menggunakan logika untuk menghentikan itu semua atau perasaanku yang seakan suka sekali memberontak, meninggikan egoku sebagai perempuan yang mengharapkan lebih dari itu.

Bukankah perempuan memang seperti itu, meminta lebih dari apa yang sebenarnya telah mereka miliki?

"Kalau gue minta lebih..." Tawa mereka terhenti setelah aku menyahut untuk menandaskan kebimbanganku. Mataku menatap mereka bergantian, kembali menambah laju kataku, "Apa pria bisa menanggapi permintaan kami?"

"Apa kelen juga bisa menanggapi naluri hewani kami?" Pak Bos kembali bertanya. "Kelen minta cinta, kami minta nafsu. Jika kelen minta cinta, kami bisa memberi nafsu sekaligus cinta."

"Lebih. Lebih dari itu Pak Bos." Aku menyanggah dengan antusias.

Pak Bos mengerutkan keningnya. Lipatan kening itu terlihat berkedut, seakan pria iti tengah berpikir keras.
Dan dalam sekejap, pria setengah baya ini mengulum senyum lebar, seakan pemikiran panjang itu telah membuahkan hasil.

"Lebih yang kelen inginkan, kami, para pria, lebih suka terikat dengan janji suci." Pak Bos menatapku, tatapan yang seakan menyiratkan bahwa dia tengah meneguhkanku dari kembimangan ini.

"Menikah?" Aku menggeleng tegas.

"Seperti apa yang kau pikirkan, Echa. Itu arti kebimbangan kau." jawab Pak Bos kalem, mengambil es serut yang telah menyusut, menjadikan es surut ini lebih menyerupai es susu milo.

"Bukan itu."

Pak Bos yang terlihat tengah mengangkat mangkok, hampir mendekatkan bibir mangkok ke bibirnya, ketika mendengar sanggahanku, dia meletakkan kembali mangkok itu dengan kasar.

"Echa, nyanggah boleh, tapi jangan terlalu munak." saran Pak Bos gemas.

Anya yang ada di samping Pak Bos hanya menatap kami datar, seakan yang lebih penting itu ponsel digenggamannya.

"Loe kenapa sih? Perempuan dimana-mana minta lebih ya, kalau nggak minta dinikahin sama minta transferan." Anya kali ini menyahut, tetapi tidak mengalihkan tatapan sedikit pun dari ponselnya.

"Kau ragu, Echa?"

"Karena menikah sama Agaz itu nggak segampang kalian omongin."

"Kita nggak pernah menganggap pernikahan itu gampang." Pak Bos menampik, memberi penekanan pada akhir kalimat.

"Maksud gue, gue nggak—"

"Loe takut buat berkomitmen sama Agaz?" tanya Anya, yang kali ini melepas tatapannya dari ponsel.

"Bukan gitu." Aku menggeleng. "Agaz dan keluarganya buat gue bingung."

"Awak mau kasih kau satu nasehat buat yang single." Pak Bos mencondongkan bahunya. Kedua tangannya berada di atas meja, menopang setengah tubuh tambunnya. "Nikah itu yang jalani dua orang. Suami kau dan kau sendiri. Orang tua kek kami menjadi orang ketiga dalam hubungan kelen. Kenapa?"

Kami berdua menggeleng.

"Dalam petuah Mandailing, anak gadis diumpanakan kek, mayup tu julu, hanyut ke hulu. Tau kelen apa yang awak cakap?"

Lagi-lagi kami menggeleng.

"Pengantin lelaki kami, kami semua ini, harus berada dan beradat. Ilokusinya, waktu meminang kelen, kami para orang tua menyerahkan anak gadis supaya jatuh ke pihak pria yang nantinya terpenuhi kebutuhan kelen semua."

"Orang batak enak, ya?"

"Semua prinsip suku di Indonesia sama. Buat kelen semua nyaman dengan yang namanya pernikahan!" Pak Bos lagi-lagi menimpali Anya dengan lirikan sebal.

"Termasuk kami?" tukasku.

"Termasuk manusia di seluruh dunia ini, Echa." jawab Pak Bos tegas, menatapku lekat, memberiku sebongkah kekuatan agar aku bisa menyimpulkan ini akan baik-baik saja. "Termasuk Tuhan kasih kau kesempatan untuk sekarang."

Aku mengerutkan keningku.

Maksudnya?

"Untuk satu hari ini saja, kau bisa tak berkilah sama orang di belakang kau?"

Aku memilih memutuskan kontak mata dari Pak Bos, memutar sebagian tubuhku menyerong ke kiri.  Ucapan Pak Bos terarah pada pria yang sedang berdiri di ambang pintu restoran.

"Kok bisa?"

"Loe pernah dengar rencana?" Anya menyahut, memberi senyuman tipis.

"Kau berencana berkilah, kami berecana menggagalkannya." Pak Bos berdiri, setelah menandaskan seluruh isi mangkok.

"Gue balik ya?" Anya ikut berdiri.

"Awak mau jemput istri dulu." Dia melambai, meninggalkanku sendiri dengan pria yang telah berdiri di sampingku.

"Kemaren ke mana?" tanya Agaz setelah mengambil duduk di depanku, menggantikan posisi Anya. Dia menggeser mangkok es serut ini ke sampingnya.

Aku masih terdiam, mencerna rupa manusia yang duduk di depanku. Menatap setiap jengkal tubuh atasnya hingga ke bagian dadanya.
Dia masih berseragam dengan kancing atas terbuka. Seragam biru yang tidak pernah kulupakan. Saat di jalan, bertemu dengan pria berseragam ini, memori visualku langsung mencerna rupa pria di depanku ini.

"Kamu kerja?"

Dia menatapku, kemudian melihat dirinya sendiri, dan mengangguk. "Kemaren ke mana?" Dia bertanya lagi, pertanyaan yang sama.

Aku menggigit bibir bawahku. "Lagi ada urusan."

"I am okay, itu maksudnya apa?"  Agaz memberi tuntutan lagi dari pertanyaan ini.

Alasan yang kuinginkan harus klasik dan masuk akal. Alih-alih mencari alasan, akalku seakan nyandet untuk diajak bekerja. Ini justru kondisi yang paling menyulitkan di antara kondisi-kondisi lain saat kuhadapi di kantor.

Astaga!

"Aku kebelet." jawabku panik.

"Kebelet kawin?"

Kalau reaksinya tersenyum menggoda, aku bisa tertawa dengan mengibaskan tanganku di udara. Namun, pria ini bertanya dengan respons benar-benar dalam keadaan not kidding anymore.

"Bukan." sanggahku cepat.

"Kamu nggak mau kawin sama aku?"

"Bukan gitu juga." tangkisku mulai terlihat panik.

Dia tersenyum. "Terus apa yang salah?"

Aku memejamkan mataku, menetralkan kepanikanku untuk kualihkan menjadi sebiasa mungkin.  Setelah itu, aku membuka mata, mencari manik mata hitam itu.

"Agaz, kamu tahu, aku adalah orang yang punya riwayat kronis nyakitin kamu dulu?" tanyaku dengan raut keraguan.

Pria ini mengangguk begitu kalem, seakan hal itu bukan masalah.

Nyatanya, ini masalah besar!

"Aku punya peran sama kayak Caturangga. Kamu ingat?"

Agaz mengerutkan kening. "Ayahku?"

Aku mengangguk dengan menipiskan bibirku. "Kami berperan buat nyakitin kamu. Dan kamu punya peran buat dendam ke kami."

Dia menghela nafas keras. "Oh tuhaan, Echa." Dia menggeleng tak percaya. "Asumsi darimana itu?"

"Nenek sama Ibu nemuin aku sama kamu, gunanya buat itu." desahku pelan di depannya.

"Agar aku bisa membalas dendam?" simpul Agaz mulai menampakkan raut tidak terima dengan pendapatku.

Aku mengangguk, tidak kembali memberi kata yang semakin bisa menyulut emosinya.

"Objektif dari obrolan ini apa, Echa? Kamu terlalu subjektif, sampai lupa menggunakan akalmu." Agaz mendesah lelah dengan reaksiku.

"Bukankan dalam hal ini, akal tidak kita gunakan?"

"Kamu salah. Cinta memang nggak. Tapi mencintai perlu akal, Echa." Dia menatapku tegas. "Perasaanmu perlu objektif untuk memilih kamu mencintaku atau malah sebaliknya."

"Aku menggunakan akal, Gaz." Aku menatapnya. Tanganku terkepal di atas kedua pahaku. "Jatuh cinta sama kamu itu hal yang terburuk aku impikan sejak dulu."

Dia diam.

"Dulu, aku takut, takut mencintai orang yang salah karena memandang dengan subjektif perasaanmu. Subjektifitas yang kupikirkan adalah kamu pria dengan masa depan buruk. Orang yang nggak patut masuk dalam kehidupan ini. Orang yang otaknya tertinggal. Namun, aku lupa satu hal."  Aku menghentikan laju kalimatku.  "Semua anak punya masa depan sendiri-sendiri, bukan? Dan ternyata, di masa sekarang ini, aku masih bisa memanggil namamu. Kamu tokoh yang bergerak maju tanpa aku. Kamu tokoh yang mendapat apresiasi tinggi tanpa aku."

Ucapanku tersenggal. Entah apa yang terjadi, kedua pipiku basah akan sesuatu yang aku sendiri tidak ingin mengakuinya.

"Kamu sampai ke tahap ini, bukan karena aku, Gaz. Justru aku adalah orang yang punya peran mendapatkan kebencianmu."

"Too much subjektivitas. Asumsi terburuk yang pernah gue dengar selama ini." sanggahnya dengan  berdiri dari meja.  Agaz menatapku, memberiku tatapan dingin dengan sekelumit kelelahan di wajahnya. "Gue cuma pengen loe objektif, Cha, untuk ngenalin perasaan loe sendiri. Sesusah itu?"

Aku mendongak, menatapnya. "Kamu mencintaiku, Gaz?"

Dia tersenyum. "Loe tahu jawabannya, jika loe masih gunain akal. Tapi jika nggak, loe hanya menemukan alasan tanpa logika, Cha."

Maaf Pak Bos aku berkilah lagi!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top