XXI - This not me, you, but ours
We may have our differences, but nothing's more than family
- Coco Movies
Kami berada di lorong rumah sakit. Hentakan heelsku dengan bunyi sepatunya berbaur dengan seisi lorong rumah sakit. Agaz masih sama seperti tadi. Perhatiannya seakan buyar dengan sendirinya. Sejak di mobil pun, dia hanya terdiam, kalut dengan pemikiran yang mampu membawa dia termakan hal buruk di otaknya.
Pintu dengan nomor 340F itu tertutup rapat. Terdapat satu jendela di atas pintu. Dari balik jendela itu, aku bisa melihat beberapa orang tengah berada di dalamnya.
Agaz menghentikan langkahnya. Tangannya yang tadi terulur, menggantung di udara. Aku bisa melihat keraguan dari balik tubuhnya.
Dia takut. Pria di depanku ini telah kalut dengan pemikiran buruk. Aku menghela nafas, mecengkram tangannya yang tergantung di udara. Aku meremasnya dengan memberi senyum hangat kepadanya. Setelah itu, aku melepasnya, dan dia dengan keberanian, mendorong pintu itu ke dalam.
Ada Neina. Ada Ayahnya. Ada beberapa orang yang pernah kukenal saat ulang tahun Bundanya kemaren. Mereka mengelilingi ranjang, dan menoleh seketika saat Agaz telah membuka pintu.
Bulek Rulli menggeser tubuhnya, membiarkan Agaz bisa melihat sosok wanita baya yang tengah terbaring lemah. Aku termangu di ambang pintu, tidak memilih melangkah seperti Agaz. Sebab, aku bisa melihat satu tatapan kebencian dari pria yang berdiri di ujung ranjang. Matanya seakan mengisyaratkanku agar aku segera pergi dari tempat ini.
Sayangnya, aku bukan perempuan yang dulunya meringkuk hanya karena ancaman dia.
Nggak semudah itu dia bisa mengendalikanku. Nggak segampang itu juga dia bisa menarikku keluar dari sini.
"Putra, kamu kok di sini?" Suara lemah itu menarik tatapanku ke depan. Walaupun terdengar pelan dan bergumam, aku bisa tahu jika Nenek tengah bersuara.
"Agaz dihubungin sama Neina kalau Nenek masuk rumah sakit." Dia menjawabnya. Nadanya terdengar bergemetar.
"Kamu ke sini sama Neina?"
Mungkin, Nenek baru saja sadar dari tidurnya.
"Bukan, Nek." Dia menelengkan kepalanya ke belakang, melihatku. Dia kembali menelengkan kepalanya ke depan. "Agaz sama Echa."
Yang aku tahu, wanita baya ini tidak lagi menjawab. Yang aku tahu juga, pria dengan tatapan kebencian ini tengah tersenyum remeh kepadaku.
"Echa?" Nenek kembali bersuara. "Dimana?" lanjutnya.
Aku bisa melihat Bulek Rulli menggeser posisinya, sehingga menampakkan Nenek yang tengah tertidur lemah dengan alat infus di kedua hidungnya.
Tangan keriput itu menggapai-gapai, seakan menyuruhku untuk mendekat ke arahnya. Sejujurnya, ada keraguan melintas, tetapi aku tetap mengikuti tangan itu yang seakan memanggilku tanpa penolakan.
Aku menatap ke Agaz setelah berada di dekat ranjang Nenek. Tangan Nenek kemudian menarik tanganku, membuatku setengah membungkuk.
Aku kembali menegak, melihat ke sekitar. Aku masih bergeming tanpa melepas tatapanku ke mereka.
Nenek kemudian kembali berbicara, "Saya mau berbicara dengan Echa."
Aku memejamkan mataku dan menunduk.
"Nek, maksudnya apa?" Kali ini, suara intrupsi itu dari pria setengah baya yang tidak sama sekali suka dengan kehadiranku.
Agaz juga terlihat berseru tidak setuju. "Putra nggak rela Nenek di sini sendirian. Kalau ada apa–"
Nenek menyentuh lengan Agaz, menghentikkan laju kalimatnya, "Echa. Ada Echa. Lima belas menit." Suaranya terdengar terpotong-potong. Namun, membuat Agaz tidak lagi bisa membantah.
Mereka semua meninggalkanku. Tidak dengan Agaz.
"Putra... kumohon..." Nenek memohon, mengusap lengannya.
Akhirnya, pria ini meninggalkan kami.
Aku duduk di samping ranjang karena Nenek yanh meminta.
"Echa nggak enak, Nek." ujarku pelan.
Nenek tersenyum. Masih dengan keadaan berbaring, tangan keriput itu menarik tanganku, meremasnya pelan. "Nenek boleh minta tolong?"
Aku menimang sebentar, kemudian mengangguk.
"Kamu tahu apa yang terjadi dengan Caturangga dan Putra?"
Aku masih diam. Tidak memilih menjawab.
"Aku tahu kamu mengetahui tentang mereka berdua. Tentang masalah mereka, bahkan kamu tahu jika dua orang ini tidak bisa terikat." Nenek menatapku begitu lekat. "Yang harus kamu ketahui, mereka sama seperti kamu, saling sayang, tetapi lebih memilih ego."
Aku terdiam, masih belum mampu melekatkan kalimatnya ke otakku. "Echa nggak paham maksud Nenek."
Wanita baya ini berusaha untuk mendudukan dirinya. Aku segera sigap membantunya.
"Pahami." perintahnya setelah berhasil duduk. "Seperti kamu memahami tentang perasaanmu ke cucu Nenek."
Lagi-lagi aku terdiam. Pikiranku seakan memilih keluar, merajalela tanpa arah.
"Echa..." Dia kembali memanggilku. Aku kembali menatap mata keriputnya. "Yang harus kamu lakukan, membuat mereka saling memahami. Sama dengan kamu yang ingin memahami perasaanmu tentang Agaza Putra."
"Perasaan Echa sudah dibuang sama Agaz."
"Sama dengan Caturangga." Nenek menimpali, masih menyungging senyum simpulnya. "Perasaan kalian itu punya tujuan sama. Sama-sama ingin ditanggapi oleh Agaz."
Aku terhenyak seketika.
"Perasaan yang pernah dibenci dan dicintai oleh Agaza Putra. Kalian sama." kata Nenek. "kalian punya beribu kisah awal menyakiti Agaz saat di Surabaya."
"Nenek tahu?" sanggahku cepat.
Mungkin aku pernah menyangka, dia akan murka. Namun, Nenek tersenyum kepadaku, bahkan tangannya menggenggamku hangat.
"Nenek tahu sebelum Nenek membuat kalian sekisah seperti ini." ujar Nenek kalem. "Maukah kamu bekerja sama dengan orang yang ingin perasaannya ditanggapi oleh cucu Nenek?
Aku terdiam, menunduk ke bawah.
Pak Caturangga sangat amat membenciku.
"Echa, kamu tahu 'kan, berkerja sama lebih baik daripada bekerja sendirian? Walaupun, kalian tidak setipe pemikiran."
Ada banyak tetapi yang ingin kusangkal dari kalimat Nenek, tetapi semuanya terasa sulit untuk keluar dari bibirku. Seakan-akan, Nenek tengah berhasil mengambil alih apapapun dari tubuhku. Kosentrasi, tubuhku, padanganku, seakan telah ditipu daya dengan wanita baya ini.
Dan lima belas menit itu telah selesai. Agaz langsung masuk dengan segurat wajah khawatir. Aku memilih berdiri dari ranjang saat pria ini tengah melangkah mendekati kami.
Nenek berujar pelan, "Nenek percaya Echa. Seharusnya kamu juga percaya Echa bisa menjaga Nenek."
Agaz terdiam. Aku hanya menatap bahunya yang terkulai lemas.
Aku tahu pria ini hanya khawatir. Bukan bermaksud tidak mempercayaiku.
"Nenek." Aku bersuara. "Echa balik pulang dulu?" pamitku mencium tangan itu.
"Biar aku antar ke depan." Kalimat itu terdengar mengejutkanku. Sebab, suara itu bukan dari Nenek, atau dari buleknya Agaz, tetapi dia, dia sendiri yang memberi ide untuk mengantarkanku.
Aku tersenyum, pamit kepada keluarga Agaz. Termasuk Neina yang berdiri di dekat Bulek Rulli. Dan baru kusadari, pria bernama Caturangga itu tidak kembali ke ruangan ini.
Seperti tadi, aku memilih untuk membiarkannya berlalu, menanggal di kepalaku.
"Maaf." Agaz berseru saat langkah kami telah menjauhi ruangan. Berjalan di lorong rumah sakit yang hanya segelintiran orang yang berlalu lalang.
"Untuk?"
"Menuduh jelek ke kamu." Agaz menjawab, tidak sama sekali menatapku.
"Aku nggak merasa dituduh seperti itu." kilahku kalem.
Dia menghentikkan laju langkahnya. Aku ikut berhenti, tetapi dengan posisi lebih di depannya.
"Nenek bicara apa ke kamu?" Dia bertanya, sedikit ragu.
"Rahasia." jawabku memberi senyum.
Dia tertawa kecil, "Hebat, sudah main rahasiaan."
Aku mengedikkan bahuku.
"Tentang aku?"
Aku menatap ke sekitar untuk mencari jeda cukup lama dalam perbincangan ini. Mengulur waktu juga untuk kumasukkan dalam-dalam ke memoriku.
Tentang tawanya.
Tentang rasa penasarannya.
"Tentang kita dan dia." jawabku kemudian.
Dia memgerutkan keningnya, "Kita? Dia? Siapa?"
Aku kembali mengedikkan bahuku. Kemudian berujar, "Aku balik dulu. Aku doain semoga lancar."
Semoga semuanya lancar, termasuk aku, dia, dan kamu, Gaz.
"Lancar?" Dia memang pria dengan otak penuh keingintahuan.
"Semuanya. Kamu, Nenek, tentu hidup kita dan dia."
"Jangan bikin aku mati penasaran, Echa."
Aku tersenyum miring. "Aku suka bikin kamu penasaran, tapi nggak suka bikin kamu mati." Aku menatapnya dengan lekat. "Dan..."
Kembali aku menggantungkan kalimatku.
Dia kembali mengerutkan keningnya. Lipatan keningnya nampak kentara begitu dalam.
"Dan apa?"
"Dan aku suka kamu ngobrol pakai Aku dan Kamu, Gaz." Itu senyuman tulusku, sebelum melenggang menjauh darinya.
Entah, kamu sedang apa saat aku mengucapkan hal itu, Gaz?
Entah.
Aku berjalan menelusuri ujung lorong rumah sakit yang mulai terlihat ujung pintu keluar. Sampai pada saat kakiku mulai menginjak ambang pintu, seseorang menarik tanganku, membuatku langsung berputar langkah.
"Pak Caturangga?"
Pria itu menatapku tajam. Tidak sekalipun memberiku aura keramahan.
"Saya ingin bicara berdua dengan kamu." katanya, tanpa basa-basi. "Ikut saya ke mobil saya."
Dan dia memimpin langkah. Anehnya, aku mengikuti langkahnya yang telah berada di parkiran. Aku duduk di belakang mobil dan dia duduk di sampingku.
"Jadi, cara busuk apa hingga membuat Nenek tidak membencimu, Echa?" Ada perasaan benci yang menguar saat pria ini berkata.
"Maksud Bapak?"
Dia tertawa remeh. "Kamu memang bukan perempuan biasa, ya? Membuat orang yang ada di sekitar saya bisa seperti kumbang yang menempel di kembang!"
Aku memejamkan mata, menetralisir kemarahanku.
"Saya tahu kamu punya niat busuk merebut semua dari saya. Termasuk anak saya, dan mertua saya!"
Cukup!
Tanganku terulur menggapai pintu mobil. Pergi mengikutinya sama saja membuat apa yang telah kurencanakan untuk berdamai, seakan terpental dari tubuh yang penuh keemosian yang merjalela ini.
Pintu terbuka. Saat kaki sebelahku telah menjejak di tanah, dengan tubuh masih di dalam mobil, aku memiringkan tubuhku kepadanya, "Jika anda ingin tahu cara licik saya, saya cuma melakukan satu hal ini."
Dia menatapku dengan perhatian terpusat menunggu kalimatku selanjutnya.
"Saya akan membuat anda dengan Agaz tak terikat dengan kebencian!" tandasku, kemudian keluar dari mobil, menutup kasar pintu mobilnya. Kakiku langsung berjalan lebar untuk menjauhi mobil ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top