XVI- No Response

Jatuh cinta sama perempuan itu rumit.
Tapi kodrat mereka mempelajari kalian.
Dan it's okay to be complicated, tetapi tidak merumitkan perasaan kalian.

###

"Kenapa harus sama Reza?"

Aku duduk di sampingnya, mengambil sendok dan garpu, kemudian mengelapnya dengan tissu. Setelah itu, kembali mencelupkannya di atas kuah bakso yang bening. Tidak sama sekali mengindahkan pertanyaannya.

"Echa." Agaz memanggilku.

Kali ini aku menelengkan wajahku kepadanya dengan kedua tangan masih mengaduk kuah bakso yang telah bercampur dengan kecap dan sambal.

"I asked you!" Agaz menekankan setiap kata yang dia lontarkan.

"Aku lapar, Agaz." Aku tersenyum kalem ke arahnya, kembali memutar kepala untuk menatap bakso. Aku menyendok bakso yang telah kuiris menjadi beberapa bagian, menambahkan sedikit kuah, dan sayur sawi lalu memasukkannya ke mulutku.

"Pak Agaz belum pulang jam segini?" Aku mengalihkan tatapanku setelah mengunyah bakso, melihat perempuan seperti seumuranku tengah menyapa pria di sampingku.

Agaz tersenyum, "Belum." Singkat. Dan malah tidak membuat perempuan ini puas dengan jawaban Agaz.

"Tumben Pak Agaz. Ini ceweknya?" Dia beralih menatapku.

Aku ikut tersenyum, menimpali senyumnya dengan ramah, masih tetap mengunyah bakso.

"Bukan."

Aku mengalihkan tatapanku langsung ke arahnya. Mataku membulat sempurna. Menuntut penjelasan sesegara mungkin, tetapi Agaz melengos dariku, beralih menatap perempuan itu.

"Saya balik dulu, Pak, Mbak. Malam." pamitnya kepada kami berdua.

Aku tidak memedulikannya sama sekali. Tatapanku masih sama ke arah Agaz, masih tetap menuntut penjelasannya.

"Kok bukan?!" seruku sebal.

"Kenapa harus Reza?" Dia malah bertanya balik.

Aku memutar kedua bola mataku dengan jengah. "Yaaa Tuhaan..., jawabannya itu pasti kamu juga tahu, Agaz. Aku sama Reza itu rekan kerja. Ya mau nggak mau kita itu punya connection satu sama lain." Aku mendorong mangkok baksoku, "aku ke Jepang juga kerja, bukan mau cheating atau apa."

Mangkok bakso yang cuma kumakan satu bakso besar, tidak kembali menarik minatku.

Kali ini, dia yang memutar matanya jengah. "Di kantor aku, rekan kerja bisa punya dua peran. Jadi rekan dan jadi rekan di atas ranjang."

Aku menyatukan gigi depanku, gemas sendiri dengan asumsinya.  Aku mulai beranjak dari kursi kayu, tetapi pria ini menahan tanganku, kembali mendudukanku di sampingnya. "APALAGI?!" geramku sebal kepadanya.

"Dia itu pria. Bukan pria yang udah ganti kelamin."

"Agaz!" Aku meghardiknya. "Omongannya disaring dulu."

Namun, pria ini sama sekali tidak menghiraukanku. "Dia itu homo, Echa.”

“Terus kenapa?”

"Dia itu masih punya nafsu.”

Aku mengerutkan keningku,”Iya emang. Nafsu ke cowok.”

Pria di sampingku menangkup wajahnya, menatapku dengan wajah yang tengah berang.

"Kamu cemburu sama Reza?" Aku tergelak kemudian,  ketika melihat pria di sampingku langsung mengerutkan keningnya.

"Gue anterin loe pulang." Agaz beranjak dari kursi kayu.

Mataku terpejam sesaat, menahan persaan dongkol karenanya. Aku memutuskan mengikutinya. Berdiri dan mengejar pria ini.

"Agaz!" Aku menarik tangannya. Mata kami saling berpaut sebentar, sebelum dia memutuskan untuk menatap ke arah lain. "Please, aku nggak mau kita tengkar cuma karena Reza, cowok yang dari lahir nggak pernah suka cewek."

Dia berusaha untuk menyahut, tetapi kembali tertelan di mulutnya. "Just keep it your promise."

Aku mengangguk

"Besok biar aku yang anterin ke bandara."

Aku menggeleng. "Aku harus ke kantor dulu." Aku menatapnya dengan bibir mencebik, "jam 5 pagi harus di kantor. Belum nyiapin apa-apa juga."

"Aku anterin."

Aku mengangguk, mempererat tanganku melingkar di pinggangnya sambil menuju ke parkiran mobil. Suasana kantor di jam 8 malam memang lenggang, tapi tidak terlalu sepi. Beberapa pekerja masih ada yang mengambil shift siang. Kadang Agaz bertegur sapa dengan karyawannya. Sesekali, dia semakin mempererat pelukannya saat kami bertemu karyawannya.

Aku menikmatinya. Seakan masalah kemaren siang, menguar terganti dengan hangat pelukannya.

###

"Udah baikan kau?" Pak Bos telah berdiri di sampingku.

Aku tersenyum. "Sure."

Pria ini terkekeh. Tangannya mengulurkan satu amplop yang masih tersegel."Ini semua keperluan kau. Ingat. Ke Jepang buat dapat klien. Bukan buat-"

"8 tahun jomlo nggak bakal buat saya nakal kok Pak Bos. Saya setia."

Dia kembali terkekeh. Pria tambun ini menggeleng beberapa kali. Sedetik kemudian wajahnya berubah serius."Kau udah maafan sama Agaz?"

Aku memggigit bibir bawahku. Heelsku terketuk di atas lantai bandara Soekarno di terminal 3. Aku menggeleng kemudian sebagai jawaban.

"Kenapa?"

"Dia nggak bahas. Lalu buat apa aku harus bahas?"

Pria tambun ini menghela nafas kesal. "Itu namanya manusia minta balas jasa. Minta maaf bukan berarti harus masuk ke dalam pembahasan dulu."

"Tapi-" Aku menatap ke sekitar, mencari keberadaan Agaz. Dia tengah berdiri di depan toko roti. "aku nggak pernah punya salah ke dia."

"Awak pengen bunuh kau rasanya." Pra tambun ini mengepalkan kedua tangannya di depanku, meremas remas kepalan tangannya. "Semoga di Jepang kau kebuka itu pikiran tumpul kau."

Dia kemudian berlalu dariku, menyapa Agaz yang kebetulan lewat di sampingnya. Agaz menghampiriku dengan mengulurkan bungkusan kertas coklat kepadaku. "Buat makan di pesawat."

Aku mengambilnya. "Thanks, ya?"

Pria itu tersenyum. Kami berpandangan sebentar. Tersenyum satu sama lain. Tidak ada satu kata pun yang keluar. Agaz masih di sana, menatapku tanpa sekalipun menarik matanya ke arah lain. Tatapannya ini yang membuatku menjadi kikuk. Aku akhirnya  memilih menatap ke arah lain, ke lantai bandara Soekarno.

Suara pengeras suara terdengar kemerosok sebentar, lalu terdengar suara perempuan menyahut, memberi aba-aba jadwal keberangkatan.

"You have to go." Aku menarik kepalaku kembali untuk mencari manik matanya. "Hati-hati." Dia menyerahkan koper kecilku.

"See you." Kali ini aku memberanikan diri menatap matanya, menyelami manik hitam itu lebih jauh sebelum meninggalkannya selama empat hari.

###

A

ku berada di bagian foreign passport setelah keluar dari pesawat. Pria dengan pakaian dinas berwarna hitam dan bermata sipit seperti Reza tengah membolak-balikkan pasportku.

"For bussiness?" Aku bisa mendengar logat kental Jepangnya yang tidak bisa berbaur dengan bahasa inggris.

"Yes." simpulku dengan mengangguk.
Dia menyerahkan kertas kartu kedatanganku, yang tadi kutulis di atas pesawat.

"Welcome to Japan, Mam and sir." Dia tersenyum, setengah membungkuk ke kami berdua.

Aku tersenyum juga, tetapi tidak ikut membungkuk sepertinya. Aku memilih langsung melangkahkan kakiku keluar dari bagian Foreign passport.

Reza yang mengambil trolli, memasukkan barang-barang kami di dalam trolli. "Kita naik kereta aja, ya, Cha? Entar malam kita harus segera ketemu klien." Aku menjawabnya dengan anggukan, masih tidak melepaskan mataku dari layar ponselku.

Sejak dari pemeriksaan passport aku memang tengah asyik dengan ponselku. Jemariku seakan bergerak lincah di atas layar, menekan abjad-abjad untuk menyampaikan pesanku ke Agaz. Tetapi, selama lima belas menit, pria ini hanya membaca, tidak sekalipun membalasnya

"Ihhh.. kok cuma di read sih. Gemes." Aku merancau sendiri dengan menyumpah serapah ponselku.

"Gue ngomong tadi, nggak loe respons?" Reza telah berdiri di sampingku bersamaan dengan beberapa koper di dalam trolli.

"I know. Gue cuma bentar doang kok." Aku mencoba membela diri, tetapi tidak sekalipun mengalihkan tatapanku dari layar ponsel.

"Bentar apanya. Barang loe ini gue yang angkutin." Reza geram menatapku dengan dongkol.

"Sorry. Yuk. biar gue yang bawa trolinya." Aku mengambil alih trolli, mendorongnya.

Dalam sekejap, Reza menahan tanganku. "Gue laki. Biar gue aja."

Aku mengerutkan keningku. "Ecieee... sok banget loe jaga image. Di sini, LGBT legal kok, Za." Aku berkelekar dengan memukul bahunya.

"Mulut, ya?" Pria itu menggantikanku kembali untuk mendorong troli. Aku megikutinya, menyejajarkan langkahku dengannya. "Kita naik kereta JR Narita Express aja, kali, ya, Cha?" Reza menimang sebentar.

"Terserah. Mumpung dapat fasilitas gratis." Aku berkata dengan gelakan tawa di akhir.

Kami akhirnya menaiki kereta Narita Ekspress, setelah membeli tiket. Beruntung Reza dengan otak cerdasnya bisa bertanya-tanya menggunakan bahasa ibu mereka ini.

Reza membantuku mengeluarkan koperku dari trolli. Sebab, di sini, trolli dilarang untuk dibawa. Kami menaiki Skyliner 52 hanya dalam satu pemberhentian ke Nippori Station. Dari Nipproi station, kami menuju ke platform 10. Kereta ini melewati jalur Yamanote dengan empat pemberhentian stasiun untuk sampai ke Akihabara. Tempat kami tinggal sementara.

Perhatianku sejak tadi terpaku ke layar ponsel yang masih menampakkan beberapa notifikasi dari media sosial, tanpa ada pesan darinya.

"Masih belum di jawab." keluhku sebal, memasukkan ponselku ke dalam tas.

"Sibuk, mungkin." Reza menyahut. Aku mencoba membalasnya dengan anggukan. Kembali tenggelam dengan pikiranku. "Boleh tanya sesuatu, Echa?" Reza menelengkan wajahnya kepadaku.

Aku yang duduk di samping jendela, mendongak ke kiri. "Iya. Silakan."

"Boleh tahu loe ketemu Agaz, gimana?"

Aku terkekeh, mendengat sikap kehati-jatiannya saat bertanya tentangku dan Agaz. "Sejak kapan loe pake izin buat tanya sesuatu ke gue?"

Pria di sampingku mengkerut.

Aku menyilangkan kakiku, memiringkan tubuhku ke arahnya, lalu bersandar di dinding kereta. "For your information, Mr. Kepo. Gue sama Agaz itu dulunya mantan."

Dia nampak terkejut mendengar penjelasanku.

Aku membalasnya dengan senyum kalem."Dia datang waktu gue lagi single mengenaskan selama 9 tahun. Sayangnya, dia datang jadi sosok yang luar biasa."

Dia menyimak dengan kepala terkatuk-katuk. Kemudian, dia mengajukan pertanyaan dengan heran, "Sayangnya?"

"Sosok luar biasa itu punya nokhta hitam yang besar ke gue. Dan sayangnya juga buat dia, Agaz punya peran sebagai Datuk Maringgi yang disutradarai Ibu dan Neneknya." Aku menjelaskan dengan kelakar yang malah tidak membuat dia tergelak.

"Loe Siti Nurbayanya?" tanya Reza, menebak, mengikuti kelakar kalimatki.

Aku mengangguk dengan senyum sumringah.

"Terus loe nggak cinta dong sama Si Datuk?"

Kali ini aku menatapnya bingung.

Mengetahui raut wajahku, dia kembali menjelaskan. "Di Siti Nurbaya, loe cintanya cuma sama Samsul Bahri. Bukan sama si Datuk."

Aku menggigit bibir bawahku, "Itu kan karya Merah Rusli." Aku menimang, duduk kembali mengarah ke depan. "Di cerita gue beda. Nggak ada Samsul Bahri."

"Belum ada mungkin." Dia menyahut pelan, membuatku menatapnya bingung.

"Jangan sampai." tampikku cepat.

Reza malah tergelak. Aku tersenyum miris. Dalam kecemburuannya, cuma dua pria yang selalu kami bahas.

Reza.

Ayahnya yang baru saja hadir dalam kisah kami.

###

Hotel dengan nuansa warna cream nampak mengisi di segala dinding ruangan. Dua ranjang berukuran medium dengan dilapisi oleh selimut tebal berwana biru dongker yang telah terlipat rapi di empat sudut ranjang.

Mulutku tersungging ke atas. Sederhana, tetapi perpaduan warna ini membuatku terasa tenang saat penglihatanku menilik ke seluruh sudut ruangan.

"Echa. Loe di dalam?" Aku memutar setengah tubuhku, menatap pintuku yang tengah digedor dari luar.

Aku melangkah ke luar. "Ya, Za?" Aku melongokkan kepalaku dari celah pintu.

"Tonight we have to meet our client."

Aku mengangguk. "Udahkan? Aku mau tidur. I've jetlagged."

Pria itu nampak terlihat menimang beberapa hal, tetapi dia mengangguk. "Have a nice dream."

Aku kemudian menutup pintu. Dengan cepat, tanganku mengambil ponselku. Lebih dari seharian, pria ini tidak sama sekali menanyai kabarku. Alih-alih bertanya, menjawab pesanku yang sudah sederet menghabiskan layar ponsel, tidak sama sekali dia balas.

"Agaz. Seriously? Ini kamu nggak lagi ngambek gara-gara Reza, 'kan? Oh come on. Don't be like a child. Kalau loe masih nggak jawab, gue beneran selingkuh sama si homo ini!"

Aku memgirimnya tanpa pemikiran yang cukup matang.

Bodoh amat!

###

"Thank you so much. Arigatou gozaimasu." Reza menyalami pria berambut setengah beruban.

Pria itu menyahut dengan gerakan kepala menunduk dan kembali semula, "kochira wa watashi no meishi desu. Jyaaa, Reza san otsukaree sama deshita."

Aku ikut tersenyum saat pria ini mengarahkan senyumnya kepadaku. Dia membungkuk setengah dengan beberapa karyawannya. Aku mengikuti dia.

"Akhirnyaaaaa...."

Aku bernafas lega ketika keluar dari ruang rapat.

"Orang jepang itu pinter. Jadi gimana caranya orang pintar bisa kita kelabui pake feeling. Bikin mereka nyaman. Gue yakin, mereka bakal oke buat kerja sama bareng kita." Reza menjelaskan dengan masih mengetuk-ngetukkan jarinya di layar ponsel.

Aku mengangguk.

"Laper?" tanyanya setelah memasukkan ponsel itu ke saku celana.

Aku kembali mengangguk.

"Have you already found Samsul Bahri?" tanya Reza memasukkan ponselnya ke saku belakang celana.

"Gue bilang jangan sampai dia masuk ke kisah gue." Aku mengikuti Reza masuk ke dalam lift.

Pintu lift terbuka. Kami melangkah keluar.

"Karena Agaz sama sekali gak respons loe. Jadi..." pria itu menghentikan langkahnya. Aku ikut menghentikan langkah. Reza tiba-tiba membungkukkan badannya, mencondongkan wajahnya, mendekatiku. Aku memundurkan kepalaku ke belakang, mencegah sesuatu terjadi. Pria itu tersenyum tiba-tiba, lalu berkata, "loe tahu, nggak? Without cameo, protagonist, and other players,  we can't make the biggest performances in the world. They can't enjoy with your story. So let me handle it."

Aku meneguk ludahku. Tanganku mendorong tubuhnya. "Do you mean, find Samsul Bahri in my life? No." Aku menggelengkan kepalaku tegas.

"Samsul Bahri was found it, Echa."

"Echa."

Aku mendongak. Pria dengan setelan kemeja dan celana jins itu berdiri tak jauh dari kami. Matanya menangkapku dengan guratan sama, seperti dua hari lalu, saat kami di Jakarta.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top