Epilog
I MEAN HOW COULD MEN BEING IN LOVE WITH ONE GIRL THAT SHE NEVER HAD RESPECTED WITH YOU?
Bisa. Semua orang bisa. Selogikanya para pria, kami bisa dibilang akan menjadi bodoh kalau ketemu apa itu cinta. Dia memang ngedumped gue, tapi dia juga bikin gue ngerti kalau mencintai itu nggak semenyeramkan para pria pikir. We are thought that women could take control of world, so we will become their dominate. Tapi nyatanya, mereka begitu hebat melakukan apapun. Dan dia juga hebat membuatku menjadi pria terbangga menjadi dumped men ever.
WHY DID SHE NEVER RESPECT TO YOU?
Perempuan itu makhluk astral yang gampang berubah wujud, apalagi mood. Jadi, gue ngira dia masih ada diwujud setan, belum diwujud malaikat. Baru-baru ini, waktu gue balik lagi di hidupnya, wujud setan itu sudah berubah jadi malaikat. Sayangnya, malaikat yang punya milyaran
AND NOW WHAT DID HAPPEN WITH THAT GIRL? KALIAN BAIK-BAIK SAJA?
She has already became my wife.
SERIUS PAK PUTRA?! YOU MARRIED WITH SOMEONE HAS BEEN DUMPED YOU?
Dia nggak pernah ngedumped gue. Gue yang bego mau saja dia giniin. Yang salah bukan dia, tetapi takdir aja yang belum mau nyatuin kami.
DO YOU HAVE ANYTHING TO SAY, PAK PUTRA?
Ada. Gue mau bilang ini ke dia saat dia tanya tentang doa gue. Gue pernah bilang ke Tuhan, kalau seandainya dia bukan buat gue, ijinkan gue sekali menjadi seseorang yang pernah ada di pikirannya. Sekali, walaupun itu sementara. Seenggaknya, gue pernah mencintai dia tanpa ada penolakan. Seenggaknya gue pernah menjadi mantannya, walau mantan yang paling dia benci.
Sebelum selesai, beberapa kalimat untuk dumb-ass girls atau perempuan lain mengenai kedudukan mereka di mata anda.
Kedudukan mereka, ya? Seharusnya sih mereka patut disebut sebagai queen of anything.
Yes, mereka bisa melakukan apapun ke kami, bahkan menjadi orang yang paling berdosa sekalipun.
Ada Pesan Untuk Para Wanita?
Jangan berhenti mengenakan sulam alis dan filler bibir jika itu untuk kami. Jika itu membuat kalian menjadi the prettiest women.
"Shit!" Aku meletakkan majalah di depanku dengan keras. "Gila, dia ngomongin gue bitchy dump-ass!"
Anya terkekeh di depanku. Pak Bos hanya tersenyum kalem sembari menyeruput minuman segarnya. Jakarta memang sedang panas-panasnya, apalagi melihat majalah bisnis yang tiba-tiba menarik perhatianku.
"Gue nggak nyangka, ya, majalah keuangan kayak majalah gosip!" gerutuku sebal dengan mangganti posisi duduk tegak, menetralkan perasaan sebalku.
"Loe kalau lagi bunting suka nggak terkontrol, ya?" timpal Anya mencemooh, menarik majalah di depan kami. Dia ikut membuka halaman dimana ada foto Agaz terpampang besar ditengah-tengah tulisan.
"Gue gemes aja lihat majalah sok ngasih gue jululan dump-ass girl!" tangkisku cepat, mengaduk salad buahku yang mulai mencair karena terlalu lama tidak kumakan.
"Majalah yang kau baca nggak ada salahnya. Kau aja yang nggak mau ngaku." tampik Pak Bos kalem dengan perhatian ke buku menu, memean satu gelas minuman soda. "Awak haus banget, Jakarta ini rada gila kalau musim panas."
"Gue nggak suka pokoknya! Gue bukan dumb-ass ya?! Gue cuma cewek yang nggak peka." Aku masih nggak mau kalah.
"By the way, si majalah ngomongnya dumb-ass girls loh, Cha. Bukan loe." sahut Anya dengan menunjukkan kata girls kepadaku.
"Sama aja!" sungutku sebal. "itu jelas ngarah ke gue."
"Tapi Agaz romantis loh. Dia bilang loe segalanya. Sampai dia bangga buat di dumped asal sama loe."
Aku memutar bola mataku, kurang terima dengan pergantian topik dari Anya.
"By the way, yang ngajak awak ke sini, kau, Nya? Kenapa?" tanya Pak Bos kemudian, setelah menandaskan minuman sodanya.
Anya tersenyum kaku. Dia menggaruk tengkuknya tiba-tiba. Bibir tebal itu merapat, membentuk segaris senyum tipis. Setah cukup lama, dia kikuk di depan kami, Anya beralih mengambil sesuatu di dalam tasnya. Dia mengulurkan dua kertas ke kami berdua.
Aku masih belum memahami maksud kertas tebal yang dia ulurkan hingga membalik sampul depan.
"What the hell were you doing, heh?!!!" pekikku histeris.
Pak Bos melirik Anya dengan kerutan di keningnya. "Sama Afrezal? Kok bisa?"
"The longest story, Gays." jawab Anya dengan menghela nafas keras di depan kami.
"Gue masih ada waktu buat dengerin, Nya." tampikku cepat, menuntutnya bercerita.
"Tapi loe udah dijemput." Anya menunjuk ke belakang. Memang benar, mobil Agaz telah terparkir di depan pekarangan kafe ini.
"Gue bisa nyuruh Agaz nunggu." Aku masih keukeuh.
"Tapi, gue nggak mau ceritain ke kalian untuk sekarang." Anya mengambil kesimpulan, menatapku dengan penuh harap agar aku tidak lagi membahas semua ini.
Pak Bos menyikut lenganku, menatapku dengan kepemilikan pandangan sama seperti Anya.
"Oke. Kami akan siap dengerin kau sampai kau mau cakap sama kami tentang apapun yang ingin kau bagi ke kami, Nya." nasehat Pak Bos, menengahi kami. Dia menepuk punggung Anya, memberi segala kekuatan yang dapat kuyakini Anya memang tidak ada keinginan untuk membuat undangan ini atas namanya dan Reza.
Pria itu...
###
"Anya nikah sama Reza. Tau kamu, Gaz?" tanyaku setelah duduk di dalam mobil dengan menyerahkan undangan bersampul coklat susu.
Agaz hanya meliriknya, tanpa sekalipun ingin membuka atau bahkan mengambilnya dari tanganku. Dia hanya mangut-mangut kalem, lalu menjalankan mobil, seakan tidak tertarik sama sekali.
"Aku kaget." komentarku kemudian, memilih menaruh undangan ini di atas dashboard mobil.
"Reza nikah sama Anya?"
Aku mengangguk, mengambil posisi dengan duduk tercondong ke depan, lalu kembali bersandar ke kursi. "Nggak nyangka aja mereka bisa gitu."
"Kenapa?"
"Ini Anya dan Reza, Agaz?!" jeritku sebal, meliriknya. "Mereka itu dua orang yang nggak patut bareng!"
Agaz terdengar mendesah. "Ini karena kamu nggak tega Anya nikah sama Reza? Atau Reza nggak jadi nikah sama kamu?"
Aku mengerutkan keningku, memiringkan tubuhku kepadanya. "Maksudnya?"
"Kamu cemburu, 'kan?"
Aku menghela nafas keras. "Jangan ngawur kalau ngomong. Aku cuma kaget kok bisa mereka bisa kayak gitu?"
"Mungkin mereka setakdir, Echa sayang." timpal Agaz, melirikku, kembali menatap ke depan.
"Tahu darimana kamu kalau mereka punya takdir sejalan?"
Agaz mengedikkan bahunya.
"Mungkin, mereka punya takdir sejalan, tapi memang jalannya mereka bisa nyambung? Oh takdir itu hanya pemikiran orang yang udah lelah sama hidup mereka."
Agaz menggeleng. "Mungkin bukan takdir yang nyambungin mereka, tapi mungkin nasib yang nyambungin mereka."
Kerutan di keningku semakin terlipat dalam. "Apa bedanya?"
Agaz menggenggam tanganku, menaruhnya ke pangkuannya sambil berkata, "Takdir memang bisa kita belokin ke kanan dan ke kiri. Tapi, nasib itu udah tertutup, nggak ada yang bisa ngubah." Agaz mencium punggung tanganku. Dia menghentikan mobilnya di bahu jalan.
Agaz melepaskan sabuk pengamannya, memiringkan tubuhnya ke arahku. Tangannya terulur merengkuh bahuku."Kita punya takdir yang sama. Atau kita punya takdir yang beda. Tapi yang namanya menikah itu bukan takdir, Echa, itu nasib. Menjadikan kamu nasibku itu yang namanya takdir." Pria itu tersenyum. "Sekarang jangan ngomongin nasib orang, ngomongin takdir kita yang ngebawa nasib kamu mau sesatu nasib sama aku."
Bahwa menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kamu dapat berencana menikah dengan siapa, tapi tak bisa rencanakan cintamu untuk siapa - Republika Jancukers
Aku tergelak. "Kamu pintar, ya kalau ngomong."
Agaz tergelak juga di sampingku.
"Tapi, kamu rada nyebelin di wawancara, ya?!"
"Eh loh kok kamu bisa baca?!" Agaz terkejut bukan main. Wajahnya terlihat memerah dan memucat.
"Oh bisa. Jangan kira bacaanku sekarang cuma majalah gossip, sekarang majalah bisnis juga aku makan!"
Dan semua itu kulakukan agar setakdir dan senasib sama kamu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top