Bab XXVII - Saksi Masa Depan
Sudah jadi kodrat. Pemikiran perempuan itu sudah seperti daftar belanjaan. Too much for choosing men.
"Kamu pacaran tiga kali?!" jeritku frustasi.
Pria di depanku ini malah mengangguk enteng.
"Agaz, aku nggak mau bercanda." sanggahku mencoba kalem.
"Aku nggak pernah bercanda Echa kalau dalam berhubungan." tangkisnya kalem. "Emang kenapa?"
"Aku jomlo loh waktu kamu mutusin aku." semburku jengkel karena sikap acuh tak acuhnya.
"Oh ya? Aku baru tahu loh, Echa."
"Oh bulshit!" pekikku tertahan. Aku beranjak dari kursi dengan kepala mulai panas karena respon yang tidak sesuai dengan apa yang kuinginkan.
Dia hanya duduk di sana, menganga dengan wajah bingung. Matanya seakan mengisyaratkan jika dia tidak bersalah atau malah nggak salah sama sekali telah menjawab itu semua.
"Kamu kenapa sih?" protes Agaz, menatapku heran. Kerutan di kening itu mulai tercetak di wajahnya.
"Aku kenapa?!" tanyaku balik dengan meliriknya sebal. "Oh Tuhan, Agaz. Aku ini lagi tahap jadi perempuan PMS tapi belum PMS?!"
"Kamu PMS?" Agaz kemudian mengangguk. "Ohh, it's okay. Aku bisa pahami kok."
"Yatuhan," keluhku sebal dengan berkacak pinggang. "Kamu pacaran tiga kali itu adalah hal yang nggak paling bisa aku pahami, Agaz. Itu yang buat aku jadi PMS tiba-tiba gini."
Agaz hanya menganga menatapku. "Apa yang salah, Echa?"
"Kamu bikin aku punya persepsi beda soal cowok!" jeritku sebal kepadanya.
"Oke, oke. Yang salah apa? Karena kamu jomlo? Dan sebelum ketemu kamu, aku punya pasangan? Cuma ini yang bikin kamu jadi kayak gini?"
Aku menggeleng. "Nggak. Bukan itu. Ini lebih luas. Kamu pacaran tiga kali tapi ngaku cinta selamanya sama aku? Itu cewek tiga kamu sakitin, Agaz!"
Dia hanya mangut-mangut. "Karena aku sedang mencoba mencari pengganti cinta pertama."
"Ya ini, bikin perempuan punya persepsi buruk ke cowok!" tangkisku cepat.
Dia hanya menggeleng, terlihat pasrah dengan pendapatku.
"Jangan-jangan kamu nanti bakal nyoba lagi waktu lagi sama aku?" selidikku menatapnya.
Dia tergelak.
"Aku lagi nggak bisa diajak bercanda loh, Gaz." Aku menarik nafas, menatapnya dengan geraham gigi mulai bergemelatuk menahan kemarahan. "Kamu tahu 'kan wanita kalau lagi marah?" tanyaku, hampir memekik di depannya.
"Echa. Itu kami. Kodrat kami yang nggak bisa diubah." jelas Agaz mengulas senyum simpul.
"Kata siapa? Transegender itu apanya nggak berubah kodrat?"
"Thats upnormal. We are normal. You and me just people want to be normal and to be loved." Dia menyahutinya kalem. "Ini cuma masalah sepeleh yang kamu pikirkan tanpa disaring sama otakmu, sayang."
Aku menggeleng lemah, duduk kembali di depannya. "Bukan otakku, Agaz. Perasaanku kayak lebih dominan ketimbang jalan otakku sendiri."
"Aku cinta sama kamu, Echa. Tapi aku punya cara sendiri buat cinta sama kamu. Dan kamu punya cara sendiri untuk cinta sama aku."
Aku diam, memperhatikan segala penjelasan yang keluar dari mulutnya.
"Cinta itu nggak ada tolak ukurnya. Komitmen itu yang harus ada tolak ukurnya, sayang." Tangan itu menggenggam tanganku. Mata hitam pekat yang kunikmati sepanjang malam kemaren memikatku kembali dengan seulas senyum segaris yang membentuk lesung pipinya. Dengan mengusap punggung tanganku, dia berkata lagi, "Aku punya ukuran komitmen paling besar buat menjatuhkan seluruh perasaanku ke kamu, Echa. Kami memang pria dengan nafsu besar, tetapi komitmen selalu kami pegang."
"Jangan lagi kayak gitu." mintaku dengan memasang wajah paling tidak bisa diganggu gugat.
Dia mengangguk mantap. "Besok free?"
"Kenapa?" tanyaku langsung. "Besok ya kerja dong, Agaz sayangku."
"Nggak bisa pulang cepat kamu?" Pria di depanku masih memainkan jemariku dengan tangannya.
"Kamu mau ngelamar aku, ya?" godaku mengerling canda kepadanya.
"Bukan, Echa." Dia menjawab kalem dengan jemariku yang telah dia tarik ke dekat bibirnya.
Aku tersenyum menikmati dia mengecup jemariku. "Padahal aku ngarep loh." godaku lagi, membuat pria ini malah menggigit ujung telunjukku.
Aku meringis dengan melepas tanganku dari genggamannya dengan wajah memberengut jengkel. "Kanibal bener ya jadi pria!"
Pria ini kembali menarik jemariku, lalu mengusapnya pelan, kembali mengecupnya. " I am sorry, Sayang."
"Emang besok mau ke mana?" tanyaku lagi, meluruskan topik perbincangan kami.
"Kalau aku ajak ke Surabaya, gimana?"
"Eh ngapain?" jeritku kaget mendengar jawabannya.
"Besok juga kamu tahu."
Aku menatapnya dengan alis terangkat ke atas, memberinya tatapan selidik karena mencurigai sesuatu yang terlihat janggal. "Oh no! No, no, no."
Aku mengibaskan telunjukku yang telah dia lepaskan ke kanan dan ke kiri. "Oh Tuhan, Agaz. Jangan ngajak aku ke tempat aneh-aneh lagi dong. Dulu museum, terus stasiun, terus ngelihatin robot mainan kamu. Apalagi nanti?!"
Dia tersenyum. Tangannya terulur ke pipiku, mencubit pipiku dengan gemas. "Kamu kapan sih nggak negatif thinking? Tapi bikin gemes, bikin aku pengen bawa kamu ke ranjang lagi."
Aku memutar kedua bola mataku dengan jengah. "Binality nya Mas Agaza Putra bisa ditahan dikit? Dasar otak pria, ya, nggak bisa direm but talking about sex."
"Jangan bahas diskriminasi soal pria lagi dong, Echa Sayang." Agaz mengelus pipi yang dia cubit tadi. "Itu udah jadi otaknya pria, sayangku."
Aku menarik nafas, membiarkannya berlalu. "Aku balik, ya? Seharian nggak pulang."
"Aku anter ya? Sekalian silahturahmi."
Aku mengangguk dengan mengulum senyum dan menatap manik mata hitamnya.
"Agaz, No!" pekikku tertahan ketika aku mulai menyadari manik hitam itu kembali menguarkan keinginan naluriah sebagai pria.
###
Kalau pria itu memang pemegang peran terpenting dalam yang namanya nafsu duniawi, perempuan juga ikut berperan dalam penyalur kepuasan duniawi mereka. Atau perempuan juga punya naluri serupa dengan pria miliki.
Justru naluri duniawi bukankah sesuatu yang selalu merekat di setiap jenis kelamin, bukan?
Bagaimana dengan cinta?
Aku akui perempuan itu memang punya pemikiran paling nggak masuk akal untuk menentukkan mana kriteria tertentu untuk mereka singgahkan kata cinta kepada kaum pria.
Lalu, daftar kriteria yang telah menyerupai list daftar belanjaan kami ini terbuang sia-sia. Seakan otak yang bekerja keras untuk memikirkan ide paling tepat menentukan ancang-ancang menjatuhkan cinta ke pria malah disapu oleh takdir Tuhan.
Pria di sampingku ini juga bukan salah satu ide yang kucetuskan untuk menuliskannya sebagai kriteriaku.
Namun setidaknya, jenis kelaminnya merupakan kriteria sama yang kutulis di daftarku.
Seengaknya juga, dia pernah ada dalam doaku, walaupun dengan kalimat jelek yang kuucapkan saat berdoa.
Kami sampai dengan penerbangan siang setelah aku meminta izin dari Pak Bos untuk menambahkan hari ini sebagai cuti jatah akhir di tahun ini.
Surabaya berbeda dengan sembilan tahun yang lalu. Saat mobil sewaan Agaz berada di daerah Ahmad Yani, jalanan yang dulunya hanya sebatas dua arah berlawanan, kali ini aku melihat arah dua sebaliknya ini diperluas hingga dua kali lipat. Beberapa tanaman hias yang tak kuketahui jenisnya, terpancang indah di tengah jalan penyekat arah berlawanan.
Rekayasa jalan yang menurutku terlihat lebih selaras dari kota Surabaya yang dulu kuamati.
"Kamu dari tadi ngelamun, ya, Sayang?" Agaz berseru, membuyarkan lamunanku. Tangannya terulur mengusap pipiku, yang malah membuatku semakin risih.
"Gaz. Dari kemaren suka banget sih kayak gini?" keluhku sebal, menepis tangan Agaz pelan dari pipiku.
"Nggak boleh, ya?" tanyanya kalem, tetapi beralih menarik tanganku untuk membawanya dekat ke bibirnya
Aku menggeleng. "Nggak gini juga, Agaz." geramku gemas, meliriknya kesal.
Dia terkekeh, masih menciumi jemariku dengan tangan satu memegang kemudi. "Jemarimu ini udah canduku, Echa. Jadi nggak boleh protes."
Aku hanya memutar mataku bengah untuk menanggapi penyangkalannya. Dengan jemari masih berada di bibirnya, aku menatap keluar mobil, dan membiarkan pria ini bermain dengan tanganku.
Perjalanan yang tanpa kuketahui tujuannya, membuat kedua mataku mulai berat seiring dengan alunan musik dan kecupan ringan dari bibir Agaz. Aku memilih bersandar di samping pintu, mencari posisi enak untuk kepalaku. Membiarkan suara alunan lagu dari band Payung teduh dengan jemariku yang masih diremas hangat oleh Agaz, dan pendingin mobil seakan ikut andil menarikku semakin dalam untuk bermimpi.
"Echa, Sayang."
Aku membuka sebelah mataku dengan berat ketika mendengar suara Agaz yang sayup di telingaku.
"Kita udah sampai, sayang." desis Agaz pelan, entah apa yang dia lakukan setelah itu, karena aku bisa merasakan benda kenyal menyentuh bibirku cepat. "Ayo ke buru malem, Echa." imbuhnya lagi, kali ini tangannya ikut menyentuh wajahku.
Aku membuka seluruh kesadaran yang masih di ambang untuk menatap Agaz yang tersenyum dengan tangan masih membelai wajahku. Aku mendorong tangannya menjauh, lalu duduk tegak. Tanganku segera menurunkan kaca di atas mobilnya, lalu memperbaiki makeup polos yang kupakai saat ini.
"Udah dari tadi?" tanyaku.
"Cuma lima menit aja kok." jawab Agaz kalem.
Aku mengangguk, lalu melempar pandangan keluar mobil.
Sedetik kemudian, dalam keadaan yang masih kurang stabil karena baru saja bangun, aku berjengkit kaget melihat dimana kami berada.
"Kamu serius?!" pekikku tertahan, masih memandang ke sekitar.
"Ayo. Keburu malem, sayang." Agaz membuka pintu. Dia berputar untuk membuka pintuku. Dalam keadaan masih kurang gamang, aku memilih mengerjapkan mata, kembali menatap ke sekitar. Dan tetap, aku tetap berada di rumah masa depanku.
Saat aku keluar dari mobil, pria baya dengan sarung yang dia kalungkan menyamping di tubuhnya tengah tersenyum ke padaku. "Saya pak Tadi, Mbak Echa. Juru kunci di kuburan ini."
Aku mencoba menarik senyum, walaupun rasanya terasa kaku di urat-urat wajah yang masih terkejut melihat Agaz membawaku kemari, ke salah satu kuburan di Surabaya.
Kami terbang selama satu jam, dengan jarak tempuh yang cukup jauh, dia membawaku ke salah satu tempat yang tidak masuk akal?
Aku menarik lengannya, mendekatkan bibirku di telingaku. "Ngapain kita ke sini? Mending beli rumah buat kita dan anak-anak dulu deh, Gaz."
Pak Tadi masih berdiri di depan kami, masih mengulum senyum ramah padaku dan Agaz.
"Pak Tadi ke dalam dulu juga nggak apa kok." ujar Agaz sopan. Pak Tadi mengangguk, lalu meninggalkan kami berdua.
Pria di sampingku ini malah merangkul erat bahuku. Bibirnya mengecup puncak ubunku dengan gemas. "Tenang aja. Aku uda beli rumah buat kita dengan bonus tanah ukuran 2,5 m x 1,5 meter kok sayang." kelakarnya dengan membawaku masuk ke dalam.
Aku menarik diriku, membuat langkahnya sontak terhenti.
"Kenapa?" Agaz mengerutkan keningku dengan bingung.
"Kita mau ketemu siapa sih di sini?" tanyaku gemas kepadanya.
Dia tersenyum lebar, menyembulkan lesung pipi yang menjadi favoritku akhir-akhir ini. "Seorang yang ikut andil mempertemukan kita. Seorang perempuan yang dulu paling kupuja. Dan seorang perempuan yang ingin aku kenalkan ke kamu."
Aku bergeming tanpa kata di depannya. Mataku menangkap manik hitam itu tengah menahan sorot kesedihan dan kerinduan dalam satu penglihatanku. Aku meraih lengannya, melingkarkan tanganku begitu erat.
"Aku kayaknya tahu deh siapa dia." sahutku kalem menarik tangannya melanjutkan tujuan kami yang sempat tertunda.
Dan di sana, Pak Tadi berdiri dengan membersihkan rumput liar di sekitar makam. Dia menghentikkan tindakannya setelah kami mendekat. Agaz duduk bersimpuh di samping nisan dengan tulisan nama Sarita Devi Pratiwi.
Aku ikut duduk di sampingnya, merangkul erat bahunya.
"Saya tinggal dulu, ya, Mas, Mbak." Pak Tedi menyahut.
"Iya, Pak. Makasih." jawab Agaz sopan. Aku ikut tersenyum sebelum pria baya ini meninggalkan kami.
"Hai Bunda. Hampir dua tahun Agaz nggak ke sini. Agaz terlalu sibuk Bun buat ngejar perempuan." Agaz berseru di antara angin sore yang mulai menyapu wajahnya. Tangannya bergerak menyentuh tanganku, menarikku menyadari pusaran kecemasan yang dia tahan sejak tadi. "Aku membawa perempuan yang dulu aku kejar, sekarang aku dapatin lagi, Bun."
Aku tersenyum meliriknya.
"I want to introduce her to you Bun." Agaz tersenyum melirikku.
Aku kemudian mengalihkan tatapanku ke batu nisan itu. "Maaf." Aku menatap Agaz kemudian, lalu melanjutkan kalimatku, "Mungkin ini istilah aneh, tapi saya ngerasa dia berhasil ngeunboxing perasaan saya, Tante."
Agaz melirikku dengan heran. "Dapat istilah darimana itu?"
Aku mengedikkan bahu. "Jatuh cinta itu bisa dengan mudah nemuin istilah baru loh, Gaz."
Dia hanya tergelak dengan mendekap bahuku. Dan tidak kusangka sama sekali, pria yang tadi duduk bersimpuh, kali ini, mengubah posisinya dengan berlutut. Aku tersentak kaget ketika pria ini mengulurkan kotak beludru warna biru di tangan kanannya.
"Kamu ngelamar aku di kuburan?" tanyaku dengan wajah pias.
Dia mengangguk acuh tak acuh. "Di depan Bundaku, sayang."
Aku memijat keningku. Kemudian berdiri. "Kamu mau aku bilang apa?"
Kemudian melihat ke sekitar makam. Pak Tedi tengah melihat kami dan tersenyum kepadaku.
"Kamu nggak boleh nolak."
Aku mengalihkan perhatianku, kemudian mengerutkan keningku. "Kenapa?"
"Jangan sampai setan di kuburan ini gentayangin kamu."
Aku tergelak. "Oh good, Agaz." Aku menggeleng pasrah melihat semua tindakannya. "Romantis banget, ya kamu? Semoga para setan di kuburan ini nggak iri sama aku karena dilamar sama Founder Tekhnologi lokal terbesar di Indonesia."
Dia terkekeh. "Just tell me your feeling, Echa."
"I do." jawabku cepat, duduk di depannya untuk memeluk pria ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top