Bab XVIII - Perkara Setinggi Komitmen

Jatuh cinta sama pria punya ribuan tiang peninggi dengan bobot setebal pertahanan kebenciannya. Tetapi, jatuh cinta ke kami, punya penyekat tipis, yang berbentuk perasaan.

Aku menatap layar ponselku sejak pulang dari Gundam cafe hingga pagi kemudian. Mengecek sesekali jika dia membalas pesanku. Tetapi sejak pagi tadi, sebelum rapat menjelang, pria kemaren yang terkalut emosi tidak sama sekali membalas pesanku.

Kepalaku mendongak ke atas saat interaksi Reza dengan orang Jepang menyahut dengan Bahasa Inggris.

"We also hope that investor can come to the Indonesia. Shrimp, tuna, crab, and seaweed are some of the main products that are highly demanded in  your country. Of course, we ever known that Salmon is the best fish in your country. I love salmon. Hahaha." Reza tertawa di akhir penjelasannya.

"How about you, Echa san?" Pria setengah beruban ini bertanya tiba - tiba kepadaku.

Aku tersentak, menatap ke sekitar. Sebelum menjawab, aku mencoba melempar senyum. "I know someone told me about problems fishery in Japan that Suvendrini Kakuchi wrote in the Los Angeles Times, 'Low counts of other fish, along with a dwindling, aging group of fishermen---the average age is now over 60 and their numbers are shrinking an average of 5 percent a year---have threatened the industry and the livelihoods of those who depend on it.'"

Pria berwajah muda menggelengkan kepalanya takjub. "Do you know about Suvendrini Kakuchi?"

Aku mengangguk dengan senyum ragu.

"I have to say with your boss, they have a good employer."

Aku berdiri dari kursi, memberi hormat sebagai rasa terima kasihku mendapatkan sanjungan dari mereka.

Satu jam kemudiam, mereka setuju untuk bekerja sama dengan kami. Tanpa keraguan, mereka menandatangani kontrak, menjabat tangan kami dengan erat dan tegas.

"Akhirnyaa..." Aku bernafas dengan lega, setelah mengantarkan mereka berdua masuk ke dalam mobil. "We've got client. Big client!" Aku mengepalkan tanganku ke atas dengan senyum sumringah.

"Besok kita udah cabut dari sini, mau keluar nggak?" tawar Reza. Pria ini kemudian melangkahkan kakinya mendekati pintu lift.

Aku ikut berjalan ke arahnya, menunggu pintu lift terbuka. Bunyi dentingan terdengar, menarik kaki kami berdua untuk masuk.

Di dalam lift hanya sisa tiga orang, termasuk kami. Pria dengan mata sipit, tubuh sependekku, rambut yang lebih disasak seperti Harajuku, dan baju berwarna serba hitam. Dia turun di lantai tempat kami tadi mengadakan rapat.

"Heeemmm..." Aku menimang sebentar, setelah lift hanya menyisakan kami berdua, "gue masih belum ngerti."

"Kenapa?"

"Lihat nanti. Gue tanya ke Agaz dulu." jawabku kalem.

Pria di sampingku melipat tangannya, memiringkan tubuhnya kepadaku. "Agaz loe main seenaknya, ya?"

Alis sebelahku terangkat.

"Pernah bikin loe nangis di stasiun, ninggalin loe juga, 'kan? Gitu masih oke loe sama dia? Kalau gue, udah cari laki lain." nasehat Reza menggelengkan kepalanya berulang kali.

Aku tergelak."Masih beruntung gue cuma ditinggalin. Nggak direndahin."

Reza kali ini menatapku heran.

Aku menjawabnya, "Dulu, gue pernah rendahin dia. Lebih parah gue , bukan?"

Reza menjawab dengan gelengan beraut wajah iba.

Pintu lift terbuka. Aku tersenyum dan melambaikan tangan kepadanya, kemudian keluar. Aku melangkahkan kakiku menuju ke sebelah kamar hotelku.

Berulang kali aku mengedor pintu, tidak ada satu pun orang yang menyahut dari dalam. Sampai akhirnya, pesan yang kutunggu itu sampai di ponselku.

Gue pulang. I'm sorry, Cha for telling you so late.  Good luck for your job.

Aku mengeluarkan pesan dari Agaz. Jemariku mengetuk cepat, memberi pesan kepada Reza.

Za. Yuk sekarang. Gue lagi bete. Gue tunggu di lobby.

###

Di sini kami, saking ramainya area ini, ketika lampu lalu lintas berubah hijau, dalam sekejap gerombolan pedestrian dari ujung bertemu dalam satu titik. Di tambah dengan meriahnya lampu neon dan layar TV di gedung besar. Melintas di crossing line Shibuya juga telah menjadi destinasi keinginanku.

Berbaur dengan sekitar. Tenggelam dalam lautan manusia. Kadang nampak, kadang menjadi sama seperti ribuan orang yang tengah menyebrang ini. Di tempat ini, seakan apapun yang tengah menggaluti perasaanku hilang berganti mencari ujung crossing line ini.

"Kita mau ke mana?" Reza menarik tanganku setelah kami berhasil menyebrang. Sedetik kemudian lampu hijau berganti merah. Crossing line kembali sepi, yang kemudian dijejaki oleh pengendara mobil, bus, dan motor.

Aku melihat ke sekitar. "Shibuya 109, yuk?"

"Ngemall?"

Aku mengangguk dengan binar mata semangat.

"Jauh jauh ke Jepang cuma mau ngemall?"

Aku memutar mataku kesal. "Mall di Indonesia 'kan beda sama mall di sini." Aku melipat tanganku, masih mencebik kesal saat Reza sama sekali tidak mengindahkanku."Terus kita mau ke mana? Cuma di sini? Lihat patung Hachiko?"

Pria di depanku akhirnya menyerah. Dia pun mengangguk, menuruti keinginanku.

Aku menggandeng tangannya, menariknya mendekati bangunan besar yang telah berdiri megah entah sejak berapa tahun yang lalu. Di ujung paling atas, tulisan Shibuya 109 nampak begitu kecil dari bawah sini.

Kami memasuki mall. Begitu masuk, beberapa toko baju perempuan menyapa pemandanganku. Baju-baju yang dipakai oleh beberapa mennaquin terlihat menarik perhatianku. Dan berulang kali juga, kakiku melangkah masuk ke toko, mencoba beberapa sepatu dan accesoris ke tubuhku.

"Yang ini aja." Reza menunjuk kalung yang tengah kupakai. "Cocok."

Aku melepaskan kalung ini, menimang sebentar. Kembali tanganku mengambil kalung dengan warna biru laut dan pernak pernik bunga melingkar mengelilingi rantai ini.

"Kalau yang ini?" Aku menunjukkan kalung yang baru kuambil.

Reza mengerutkan keningnya, "Jangan. Bagusan yang tadi. To much pernak-pernik."

Aku mengangguk, mengambil kalung pertama. Tanganku menilik beberapa
Aksesoris yang dipajang di atas etalase kaca. Kaca mata kucing ini menarik perhatianku.

"Za..." aku memanggil namanya.

Pria yang tengah melihat beberapa topi, menelengkan wajahnya kepadaku. Dia menghampiriku. "Apa?"

"Try this one." Aku langsung memakaikan kaca mata kucing ke wajahnya. Aku juga mengambil kaca mata ini, memasangkannya ke wajahku.

Dengan cepat, aku mengambil ponselku, aku menjepret wajah kami yang tampak lucu menggunakan kaca mata kucing yang berbanding besar dari wajah kami.

Di dalam foto, hanya Reza yang belum siap. Dia tengah melongo, menatap ke wajahku.

Reza melepas kaca mata ini. "Gue belum siap. Jelek amet ini, Echa."

Aku menatap dengan senyuman tipis. Kemudian menunjukkan ponselku kepadanya, "Lucu, ya? Loe lucu, gue cantik."

Reza menaruh kaca mata ini kembali ke tempat semula. "Udah yuk? Jangan loe posting di medsos loh."

Aku menggeleng, "Inshaallah kalau nggak khilaf, ya?" jawabku kemudian melenggang ke meja kasir.

Hari ini, dari siang ke sore hari, kami menghabiskan waktu berada di dalam Mall. Kadang ketika Reza mengeluh bosan, kami keluar dari mall, melihat beberapa pejalan kaki yang melintasi Tokyo Dee-en Toshi Line, mengikuti trotoar yang menarik kami bertemu dengan patung Hachiko. Sesekali kami berfoto di sana, seolah menjadi wisatawan kuno yang berfoto ria dengan patung anjing. Namun, Jepang ini punya segala keunikan. Kebudayaan aneh yang malah diterima lapang dada oleh kalangan luas.

Shibuya, terkenal dengan patung hachiko, crossing line, Harajuku.


Dan Akihabara.

Aku kembali memghela nafas. Ingatan tentang Ahaz kembali merasuk, membangunkan segi Amgdala yang harusnya kubuat tenang.

"Kenapa?"

Aku menggeleng. Kami memang sudah berdiri di bahu Yamamote Line. Masih menunggu kereta jurusan kami datang.

Tepat sepuluh menit kami menunggu, kereta melaju, berhenti pelan-pelan. Reza terlebih dulu naik, diikuti denganku.

Pengisi suara mulai terdengar, sebelumnya membunyikan nada, lalu menyuarakan suara perempuan dalam bahasa Jepang. Selama 40 menit, aku dan Reza terdiam dalam pemikiran masing-masing. Aku menatap keluar jendela kereta. Reza sibuk dengan ponsel putihnya. Tidak ada satu kata yang keluar. Hanya gumaman beberapa penumpang yang berbaur dengan suara kereta.

Stasiun Okachimachi telah kami lalui. Satu menit lagi, stasiun Akihabara, tempat yang akan menjadi perhentian terakhir kami di Jepang.

Aku menimang sekejap, saat pengisi suara kembali terdengar. Tanganku mengambil ponsel dari saku jaket dan  menatap layar ponsel. Hanya ada pemberitahuan dari Ibu, Bapak, Anya dan pak Bos. Beberapa di antara mereka bertanya kapan pulang, dan sebagiannya menanyakan oleh-oleh.

Reza beranjak dari kursi. Aku mengalihkan tatapanku kembali ke luar jendela kereta. Stasiun Akihabara mulai dekat. Bahkan kereta ini telah berjalan lambat.

Selambat kisahku dengannya.

Sayang, Gaz, kereta punya stasiun untuk tempat pemberhentian. Ada tujuan. Kita? Seakan melaju tanpa tujuan. Bahkan, seseorang tidak setuju dengan laju kisah kita.

###

Nanti aku jemput, Cha.

Aku membeliakkan mataku setelah turun dari pesawat. Setelah tanganku mematikan mode pesawat. Pesan 7 jam yang lalu, dari orang yang membuatku berada dalam ambang ketidakwarasan, tiba-tiba memberiku kabar.

Aku menekan layarku, mengetuk-ngetukkannya cepat di lorong bandara Soekarno Hatta. Keluar dari Gate di terminal 3. Sebelum pengambilan koper, aku dan Reza ke bagian Immigrasi. Pengecekan passport dan Visa setelah balik dari Jepang.

"Gue anterin pulang, ya, ntar?" Reza menyahut. Tubuhnya miring ke arahku. Aku mendongakkan wajahku ke arahnya, lalu tersenyum menggelang. "Kenapa?"

"Ada yang jemput." jawabku singkat. Reza kemudian tidak menjawab, dia berpaling ke depan.

"Cha." Setelah ke pusat immigrasi, kami telah di hall depan bandara terminal tiga. "Jangan pualng dulu. Gue  mau ngomong sesuatu ke loe."

Aku memasukkan ponselku. "Oke. What?"

"Not in here." jawab Reza kalem.

Aku menimang sebentar. "Oke. Mau bicara di mana?"

"Mobil gue kan dititipin di sini. Si Agaz juga belum jemput. Loe nunggu di mobil gue aja, gimana?" tawarnya.

Lagi, aku menimang sesekali. Bibirku merapat, membentuk garis tipis. "Oke."

Dia membantuku membawa trolli yang lebih banyak dari keberangkatan kami kemaren. Kalau bukan karena titipan Pak Bos dan si Kunyuk Anya, nggak bakal aku menambah bagasi.

Di dalam mobil, aku duduk di depan. Tanganku kembali mengambil ponsel yang kutaruh di saku celana jeans. Agaz memberiku pesan tengah dalam perjalanan.

"Cha." Aku mengangkat wajahku dari layar ponsel.

Reza tengah memberiku satu kaca mata kucing yang pernah kupaksakan pakai di wajahnya.

"Ini apa?" tanyaku menunjuk kaca mata di tangannya.

"Kenangan." jawabnya singkat.

"Emang kita nggak bakal ketemu? Kok sampai loe bilang kenangan?"

"Memang." Dia kembali menjawab singkat.

Keningku yang terlipat seaa2amakin berkedut. "Apaan sih Za? Lebay."

Aku kembali menatap ponselku.

"Kita memang nggak bakal ketemu. Karena, loe bakal benci gue." Reza menyahut. Tatapanku beralih heran kepadanya.

"Dulu gue benci sama loe." tangkasku cepat, menjelaskannya. "Tapi sekarang, nggak."

"Tapi sekarang gue cinta sama loe, Cha."

Suasana yang tadi tidak menarikku pada kecanggungan, kali ini, terselimuti di antara kami. Dia menatapku. Aku menatapnya. AC yang tadinya terasa normal di aku, sekejap membuatku meremang saat tatapan itu menuntut.

Reza mencondongkan tubuhnya, mendekatiku. Tubuhku seakan terkunci, terbelit hanya karena tatapannya. Dan sekejap, sentuhan lembut ini mengenaiku. Tanpa lebih dari satu menit, dia melepaskannya.

Ponselku seketika berbunyi. Pandanganku yang tadi mengarah ke Reza, beralih ke bawa. Nama Agaz telah memyadarkanku. Tanpa pemikiran panjang pun, aku membuka pintu mobil Reza.

Di sana, Agaz memarkirkan mobilnya. Tidak lebih semeter dari jarak mobil Reza. Dia tengah melambaikan tangannya dengan senyum lesjng pipi itu datang menghampiriku. Aku bergeming dalam diam.

"Sorry. Lama." Agaz memelukku. Kemudian melepaskanku. "Are you okay?"

Aku mengangguk. "Agaz. Barangku masih di Reza. Aku pusing. Bisa tolong diambilkan?"

Agaz menjawabnya dengan angguka, masih menyembulkan lesung pipi itu.

Aku langsung berlalu ke dalam mobilnya. Duduk di depan.  Dari dalam mobil, dibatasi kaca mobil Agaz, aku bisa melihat Agaz tebfah berinteraksi dengan Reza.

Yatuhaaan...

Reza mengambil peran juga dalam kisah kami.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top