Bab XIX - Hardness Feeling

Kamu punya segalanya. Pria akan bertekuk untuk kamu. Bahkan pria juga punya naluri sebagai perempuan, mengubah jati diri menjadi perempuan. Jadi, bukankah menjadi perempuan sungguh sangat agung?

"Kamu yakin nggak apa-apa?" tanya Agaz melirikku, kembali menatap ke depan.

"I am okay." jawabku pelan, menyandarkan kepalaku di pintu.

Cukup lama kami terdiam. Sampai akhirnya, Agaz kembali membuka suara. "Sorry kemaren aku kelewat batas."

Aku menelengkan wajahku ke arahnya.

"Gue terlalu shock dengar Ayah ikut masuk ke liburan kita kemaren." Dia melanjutkan. Tatapannya kadang ke arahku, kadang ke depan. "gue nggak tahu harus gimana. Gue lari. Balik ke Jakarta."

Aku tertegun sesaat.

"Gue tahu ini cara nggak logis. Tetapi, lari dari masalah itu memang menyenangkan, sayang, bukan seorang pemimpin."

Aku menjilat bibir bawahku. Kembali menunggu dia berujar.

"Aku selalu kabur. Saat Bunda nggak ada, aku kabur ke Jakarta. Dua hari setelah Ayah menang dalam pilkada." Mobilnya berhenti. Aku menatap ke sekitar. Belum sampai. Hanya lampu merah yang membuat dia menghentilan laju mobil."gue nggak mau jadi pemimpin gagal, Cha. Lari dari tanggung jawab. Kayak bokap gue. Gue minta maaf."

Gue juga, Gaz.

"Gue salah udah seenaknya sendiri." Dia menyentuh tanganku, meremas pelan tanganku, memberiku kehangatan dari tatapannya.

"Aku-" mobilnya kembali berjalan.

"Aku kenapa?"

Aku menggeleng.

"Kamu kenapa sih? Kayak ada yang ngeganjal."

Aku kembali menggeleng. "Gaz. Anterin aku ke rumah Pak Bos, ya?"

Dia mengkerutkan keningnya. "Kenapa?"

"Laporan." jawabku singkat.

Kembali, kami terdiam tanpa kata. Suara lagu Senandung Senadika mengalun pelan. Jakarta masih sama. Tetapi, masalah bergerak dinamis.

Satu jam kemudian, mobil Agaz menurunkanku di depan rumah Pak Bos.

"Gue tunggu?" tawarnya dengan mencondongkan bahu ke arahku.

Aku menggeleng dari luar mobil. "Nitip koper, ya?"

Dia tersenyum. Setelah kepergian Agaz, aku langsung masuk ke dalam rumah berdominan putih dengan taman seluas 4m2 dengan tambahan kolam ikan kecil di ujung taman. Pot-pot tanaman berjajar di pinggir taman.

"Echa?" Suara perempuan berparas cantik nampak terkejut melihat kedatangan. "Saya lama nggak lihat kamu loh. Kata suami saya, kamu sudah nggak jomlo, ya?"

Aku hanya tersenyum menanggapinya. Menyium pipi perempuan cantik ini. "Pak Bos ada, Bu?"

Perempuan jtu kemudian berteriak. "Ayaang. Karyawan cantik kmu datang nih."

Dengn tergopoh-gopoh, pak Bos keluar dari rumah, menghampiriku dengan kaos singlet putih dan celana pendek. Perutnya nampak menyembul dari kaos singlet itu.

"Aduh, maafin suami saya, ya, Echa?" Perempuan itu langsubg mencubit perut Pak Bos. "Ganti, cepet? Atau nggak, aku gak kasih jatah." perintahnya langsung ditanggapi oleh Pak Bos.

Aku tersenyum kecil melihat tingkah Pak Bos yang selalu menciut dihadapan istrinya.

Semenit kemudian, Pak Bos telah memakai kaos oblong. Dia menatapku dengan heran. "Kau kenapa ke rumah awak?"

Aku masih tersenyum.

Pak Bos melirikku semakin heran saat melihatku memilih diam, tidak menggapi ledekannya.

"Sayang, awak mau cakap berdua dengan Echa, boleh?"

Perempuan ini mengangguk. Dia berlalu ke belakang.

Setelah kepergian istri Pak Bos, aku duduk di atas kursi berkayu mahoni, menatap ke depan, melihat ikan di kolam itu memberi suara gemericik dari air.

"Ada apa?" Pak Bos duduk langsung menayaiku

Aku memang memilih terdiam sebentar. Mataku masih melihat lalu lalang sepeda mtor, penjual bakso dengan kentungannya, dan angin yang berhembus dari arah selatan.

"I was kissed by someone."

Pak Bos tidak menanggapinya untuk sementara.

Aku kembali melanjutkan, kali ini aku menatapnya. "Bukan Agaz." Serentak, guratan keterkejutan dan beliakan mata lebar itu terarah umtukku. "Reza. He was kissed me."

Pria tambun ini tengah memejamkan matanya. Dia memijat kepalanya, menelsngkan wajahnya kepadaku. "Gimana?"

Aku mengerutkan keningku, bingung dengan pertanyaannya.

"Kau enjoy kissing by him?"

Aku tentu menggeleng keras.

"Tak cakap ke Agaz soal ini?"

Aku kembali menggeleng, tapi kali ini aku menunduk dengan lemas.

"Kenapa?"

"Saya takut, takut mengecewakannya lgi."

Pria ini menghela nafas. Terkekeh sebentar, lalu menatapku. "Pede kali kau cakap. Tak sadar kau, kau tak pernag mau minta maaf, mau cem mana Agaz tak kecewa?"

Aku tertegun. Lidahku tersekat di dalam.

"Sampai sekarang pun, awak tahu Agaz masih kecewa sama kau."

Dia masih kecewa? Dia tersenyum tadi kepadaku, bukan? Dia....

"Pulang kau." Pak Bos berdiri dari kursi. "Pintu awak tak lagi open buat kau. Perempuan yang sor kali membakar lahan gambut di hati pria. Kau dua kali Echa. Dua kali kau buat pria cem Agaz sakit."

"Echa juga sakit Pak Bos." Aku memekik, menahan tangis yang mulai membuncah. "Pak Bos selalu bela Agaz! Padahal kalian baru kenal beberapa hari! Agaz itu-"

Pria tambun ini menghentikan laju kalimatku dengan helaan nafas keras. "Tau kau, awak ini laki-laki?"

Tanpa ditanya pun aku tahu, walaupun juga tertutup lemak, pria ini adalah laki-laki.

"Tau kau kami punya satu ketakutan? Kehilangan logika saat sor ke perempuan." jelas Pak Bos berdiri di depanku. Tubuh tambunnya menghalangi matahari di wajahku.

Aku meneguk ludah."Apa yang harus saya lakukan?"

"Say something to him. But, this is your problems. It's all you, Cha. Kamu yang cuma punya keputusan. Bukan awak, atau yang lain." Pak Bos menatapku. "The first, you know what would we do after we got a mistake?"

Aku terdiam, menunduk. "Sorry."

Pria tambun ini menepuk kedua pundakku. "Cuma itu yang pria inginkan. Sama kayak kelen menginginkan kami untuk dimengerti. Just share your feeling, say love, say sorry, say thankyou, say something with your partner."

Aku berdiri dari kursi, menyejajarkan posisiku dengan Pak Bos. "Thank you."

"Tau kau? Kau ini telah kami anggap kek anak kami sendiri. Ibumu kami anggap kek ibu kami sendiri. Bapakmu juga, Echa. Kelen bagi kami ini macam keluarga terdekat kami di Jakarta."

Aku tersenyum. Pamit izin pupang ke istrinya. Aku memeluk istrinya, memeluk pak Bos, kemudian masuk ke mobil yang tadi Pak Bos pesankan melalui aplikasi online.

Aku menatap layar ponselku. Menekan beberapa kata, merangkainy sebiasa mungkin. Setelah menatap keluar mobil, dengan hembusan nafas sekali sentakan, mataku kembali beralih ke layar, tangabku juga ikut bergerak, menekan tombol send.

###

"Gimana, lancar?" Agaz bertanya dengan duduk di sofa, duduk di sampingku.

"Lancar?" Aku bertanya bingung di sampingnya.

Agaz malah meresponku dengan tatapan bingung. "Loh, kamu ke sana mau laporan kerjaan, kan?"

Aku mengangguk cepat, seakan baru dibangunkan oleh Tuhan untuk sadar arah perbincangan kami. "Lancar."

"Are you really okay, Cha?" tanya Agaz memiringkan tubuhnya, menghadapku.

Aku menggeleng, mengalihkan tatapan ke depan, melihat LCD besar di depan. Perhatian Agaz terlalu kentara, membuatku waswas dalam perhatiannya. Basa-basinya tadi juga terdengar jelas, jika dia tengah menuntut penjelasan dariku.

Seakan waktu cepat berlalu, terdiamnya kami berdua, menarik diriku keluar dari zona ternyaman.

"Gue mau ngakuin kesalahan."

"Apa?"

"Kamu nggak mau nyambar bibirku dulu, Gaz?"

Dia tidak menjawab. Mataku menangkap gurat kebenciannya. "Echa, Echa. Percuma kamu nyembunyiin semua ini dengan cara kamu memintaku menciummu."

Aku memiringkan wajahku tepat di depannya, menangkap manik matanya yang berputar tak tentu arah. "Aku nggak tahu, nggak tahu ini kenapa bisa terjadi."

Agaz memberi jarak duduk di antara kami. Dia menunduk, menenggelamkan wajahnya di kedua tangannya. Dia kembali duduk tegak, menelngkan wajahnya kepadaku, lalu berkata, "Kamu habis ciuman sama siapa?"

"Orang yang aku kira suka sama kamu." jawabku pelan, bergemetar.

"Aku nggak paham." Dia terdengar mendecih di akhir kalimat.

"Kiss me and I will tell you."

"Hate me what I want now, Echa." Dia kemudian berdiri, beranjak dari sofa. Aku bisa melihatnya tengah meremas kepalan tangan ketika berjalan melewatiku.

Buliran Air mataku mulai membanjir, meringkuk kembali seperti saat bertemu dengan Ayahnya. Seakan-akan, dunia tenggelam bersama pria ini ketika meninggalkanku. Aku memberi daya ketika mencoba beranjak dari sofa. Kakiku terasa lemas, seakan penyangga satu-satunya di kaki, terasa mati kaku di tempat. Aku memejamkan kedua mataku dengan keadaan setengah membungkuk, berpegang juga dengan punggung sofa, menarik nafas sebulat mungkin untuk mengambil sisa-sisa kekuatanku.

Setelah itu, aku melangkah, mengambil kekalutanku keluar dari apartemen ini dengan menarik koper yang masih berdiri di dekat pintu.

###

Hentakan heelku beradu dengan lantai di lorong hotel. Aku berhenti tepat di pintu berkayu putih. Tanganku terulur mengetuk pintu. Dengan tubuh masih berkalung kesedihan, aku memberinikan diri kemari.

Pintu berkayu putih tulang ini terbuka, menampakkan pria yang tadi pagi kulihat. Dia masih berpakaian sama seperti tadi. Dia nampak terpana melihat kehadiranku. Gabungan kebingungan dan wajah yang memucat.

"Echa?" Dia tergesa-gesa menarik pintu ke dalam, memberi celah agar aku masuk. "Gue kira loe mau nemuin gue besok." Dia masih menatapku dengan raut tak percaya.

"Gue perlu kepastian." simpulku masih berdiri di hadapannya.

"Tentang? Ciuman? Atau perasaan gue?" tanya Reza, kali ini berdiri di ambang pintu.

"Bukan." tandasku dingin. "Loe suka cewek, cowok atau dua-duanya?"

Dia tersenyum. "I'll do anything for her. Knowing her feeling, her habits, her favorite, her soul, her heart, how kissing that she wants, and how men that she wants."

"I am not others women, Reza." tukasku dengan nada terdengar bergetar.

"Yes I know, Echa. Hal itu yang buat gue mau pura-pura suka pria. To be your gay friend better than to be others men that you always judge we are bastard ever, Echa." jelas Reza

"Gee nggak suka."

"Gue suka. And I know you like my kissing, Cha."

"That's just desire. Not love. Like sex just with fore play, not for love."

"Gue udah bilang ke Agaz."

"Whatt?!!" pekikku tertahan.

"Gue bilang, gua mau jadi syamsul Bahri dalam kisah loe."

"Sorry to say, Za, Hidup gue udah bukan karya Marah Rusli. Ini karya Tuhan. Jadi loe nggak patut buat nyimpulin peran loe di cerita gue sama Agaz."

"He said okay, Cha."

"Dia. Bukan aku." sergahku, kemudian memutar tubuhku, kembali menarik koper ini menjauh dari kamarnya.

Tidak ada yang bisa membendung semuanya. Bahkan, Reza tengah menghentakkan sepatu fantofelnya ke arahku. Pintu lift terbuka dengan cepat, aku masuk, dan langsung menekan tombol. Dia datang tepat saat pintu lift akan tertutup, menahan dengan tangannya. Dia menatapku, begitu lekat. Seakan jarak antara bibir lift denganku yang terpojok di dinding lift, sama sekali tidak mempengaruhiku untuk tidak tersendat dalam perburuan nafas kami.

"Jatuh cinta membuat gue berada dalam tahap apapun." Dia berdiri di ambang pintu lift, seolah matanya tidak membiarkanku lepas dari perhatiannya. "Tahap gue dibenci sama loe, tahap loe bakal ninggalin gue, semua tahap itu udah gue pikiran Echa." Aku membeku di tempat ketika mendengar kalimatnya. Pria ini tengah asik memberiku beban penuh yang selalu mengikatku antara perasaan bersalah dan keberatan hati. "Gue nggak pernah bilang buat loe cinta sama gue. Gue nggak pernah nyuruh loe ninggalin Agaz buat gue. Gue cuma bilang. Gue mau berperan sebagai Syamsul Bahri. Yang suatu saat nanti, gue bakal mati hanya karena mencintai Siti Nurbaya."

"Gue bilang, gue bukan Siti Nurbaya." Aku menunduk, memberi penekanan pada setiap kataku.

Aku mendongak. Dia tersenyum. "Kalau gitu, izinin gue buat pertahanin perasaan ini. Hidup sampai gue ngerti sendiri, gue nggak cinta sama loe lagi."

Dan kalimat itu menjadi akhir Reza memundurkan tubuhnya. Membiarkan pintu lift tertutup, menepiskan senyum piluh itu dari wajahnya.

Di dalam lift, aku tidak kembali meringkuk untuk memeluk tubuhku. Menangkup wajahku pun, tidak kulakukan.

Helaan nafas tidak tsratur itu mengisi seluruh sudut dalam lift. Tanganku terangka ke dada, nafasku mulai terengah-engah.

Dan pintu lift terbuka. Aku menarik langsung koperku, menubruk beberapa orang yang berlalu lalang denganku.

Perasaan kalut ini seakan membuatku berjalan tak tentu arah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top