Bab XII - Let me sent you in my life

Ya kalau salah, minta maaf. Bahkan jika kalaupun dia itu hanya mantan yang dulu kamu benci, pun kamu memiliki pasangan juga, kalau salah, ya salah. Kalau salah, ya harusnya minta maaf.

"Kau ketemu sama dia?"

Aku mengangguk.

"Cantik tak?"

"Alisnya tebel lebih dari kita. Dan parahnya, dia nggak sulam kayak kita!"Aku menggebu membalas pertanyaan dari Pak Bos.

Kami sudah ada di dalam mobil dinas, perjalanan menemui klien. Aku duduk di belakang. Pak Bos duduk di depan dengan sopir kantor.
Anya duduk di sampingku. Tangannya tengah mengetuk-ngetuk ke atas keyboard laptop. Matanya sesekali melotot, sesekali kembali seperti semula. Sesekali mengkerut, sesekali dia mendengus.

"I give up, ladies and gentlement." Dia begitu terlihat dramatis. "English mereka ini kacau balau. Dasar ya orang-orang asia! lagak banget mereka mau buat bahasa mereka ngalahin bahasa English!" gerutu Anya melepas tatapannya dari layar laptop.

"Balas nanti aja. Kita mau ketemu mereka juga nanti. Kelen harus siapin bahan buat chit-chat santai. Kita meet up with them jam 3 sore. Paham kelen berdua?"

Aku mengangguk. Anya menutup layar laptop lalu menggesernya dari paha ke samping duduknya. Dia melipat kaki, menelengkan wajahnya kepadaku.

"Loe oke, Cha?"

Aku menatapnya dengan kerutan di keningku. "Oke apanya, ya?"

"Hati loe kan lagi ke bakar gara-gara Neina." ledek Anya mengulum senyum lebarnya.

"Sok tahu!" tepisku cepat, mengibas-ngibas tangan ke Anya.

"Sok banget lupa ya kau? kissing sama Agaz, itu apa?" timpal Pak Bos melirikku. Alis mata tebalnya bergerak-gerak ke atas.

Tatapanku langsung terarah ke Anya yang kudapati tengah kikuk di tempat. Dia sesekali tersenyum, tetapi aku membalasnya dengan rahang yang terkatup erat. Bersiap untuk mencekik perempuan rambut panjang ini.

"Gue nggak sengaja-"

Aku meremas kedua tanganku di depannya. Sekalian saja bilang, mulut loe terlalu asik nyinyir!

"Kau beneran tak ke bakar itu hati?" pak Bos mengalihkan topik, masih bertanya dengan topik yang pernah terlontar dari mulut Anya.

"Nggaklah. Ngapain. Nggak penting. Gue juga uda bilang ke Ibu buat batalin perjodohan ini."

Pak Bos mengerutkan keningnya semakin dalam. Sedetik kemudian, sebuah rengkuhan kasar membuat tubuhku tersentak. Anya menggoyangkan kedua bahuku, menatapku dengan wajah gemas tak terbendung.

"Anya! Sakit tauuu!" Aku meronta, merengek untuk melepas diri dari rengkuhannya.

Anya menghentikan tingkahnya, menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. Tangannya mengusap rambutnya ke belakang. "Yatuhaaan. IQ loe berapa sih, Cha?! Gue jadi loe udah jadi kasur dia 24 jam! Kalau bisa, gue mau terus-terusan buka kaki buat itu pria."

Aku membelalakan kedua bola mataku. Heiiii!!! Omongan macam apa ini!

"By the way, Neina punya instagram, atau media sosial yang lain?"Pak Bos bertanya tanpa juntrung sama sekali.

"Malas gue. Buat apa gue kepo, tanya-tanya instagramnya dia." jawabku dengan menyandar acuh tak acuh ke kursi.

"Kok malah bicarain Neina sih?" sungut Anya.

Aku mengangguk sebagai pembelaanku untuk perempuan ini.

Pak Bos mengambil ponselnya. Tidak mengindahkan sungutan dari Anya. Tangannya bergerak-gerak di atas layar. "Awak nemu, Cha!"

Tatapanku beralih ke depan.
Pak Bos mengulurkan tangannya dengan menunjukkan layar ponselnya ke belakang, kepada kami berdua.
Anya langsung menyambar ponsel Pak Bos. Dengan gelagat seperti Pak Bos dia berkata, "Eh gila! Dia selebgram? Gaul abis. Lah followernya sama likersnya bejibun. Seimbang lagi, Cha!"

"Si Agaz beruntung. Si Neina juga beruntung." imbuh Pak Bos lagi kembali mengambil ponselnya dari Anya. "Kayak perusahaan. Kayak seller sama buyer, ada feedback yang jelas. Sama-sama menguntungkan, ya, Cha? Bayangin, kalau seller kasih wrong product, wrong value, wrong calssification of goods, and wrong payment information? Merugikan buyer. Perusahaan bisa buntung."

Nafasku tercekat. Kedua bahuku menegang. Mencoba memprotes. Namun pria ini kembali menyahut.

"Jadi, kalo kelen putus. Tak masalah. Agaz senang, kau senang pulak. Agaz dapat informasi produk jelas dari new seller." lanjut Pak Bos. "Agaz ada Neina. New seller yang mempunyai feedback menguntungkan di masa depannya. Bayangin, bagaimana majunya perusahaan itu?"

Benci, kesal, kecewa, dan sedih. Itu yang kurasakan saat mendengar ujaran menyindir dari Pak Bos. Aku benci mendengar nama Neina dalam dua hari ini. Aku kesal saat dua orang ini membicarakan Neina. Aku kecewa saat Neina lagi-lagi masuk dalam obrolan ringan dua sahabatku ini. Dan aku sedih, saat Pak Bos membandingkanku dengan Neina. Sebegitu hebatnya dia sampai membuat aku dibandingkan?

Anya mengusap dagu runcingnya. Tangannya sejak tadi bermain dengan ponsel. "Followers kau 'K', tapi dia 'M'. I agree with Pak Bos. Putus aja. Lebih baik."

Aku langsung menimpali, "Eh tapi Agaz told me that he always doesn't like a girl has more than 10.000 follower."

"Nah itu..." Pak Bos tersenyum.

"Nah itu, Cha." Kali ini, Anya menyahut.

"Kalian kenapa?" tanyaku bingung.

"Mbak Echa nggak sadar?" Pak Sukrin, supir kantor dinas ikut menyahut.

"Eummm... sadar apaan, ya?" jawabku semakin bingung.

"Kalau saran awak cabut aja itu, permintaan tak masuk akal kau tentang pembatalan perjodohan kau dengan Agaz." Pak Bos menjawab.

"Loe udah cinta. Teramat cinta. Sampai lupa buat sadar loe lagi napak di bumi. Sampai loe lupa, loe itu perempuan tengah dalam nafsu cemburu." Anya mengimbuhi dengan senyum simpul.

"Sadar. Cinta itu rumit. Jadi, jangan cengkunek kau gunakan logika. Cuma Agaz yang buat kau ngelawan perasaan kau sendiri."

Helaan nafas yang keluar begitu membuatku berada dalam ambang kegelisahan.

"Kau gelisah, juga karena kau ngelawan perasaan kau sendiri. Awak cakap, jangan kau pikir, kau rasakan itu cinta."

"Percuma..." desahku lemas.

"Dalam hal?" Anya menimpali.

"Dia udah benci sama aku."

"Kau tak minta maaf ke dia?" tanya Pak Bos.

Aku menggeleng sebagai jawaban. Lalu berkata, "For what?"

Pak Bos menghela nafas lebih dalam. "Awak bingung sama kaum perempuan."

"Lah?"

"Tau cem mana kau dia benci sama  dia?" tanya Pak Bos lagi. Pria itu semakin menyorongkan tubuhnya ke belakang. "Perempuan itu kayak pom bensin. Tapi hati pria lebih kayak lahan gambut. Dan kau nyulut api di hati pria berlahan gambut. Susah! Bahkan kau perlu empat kali usaha buat madamin mereka."

"Aku nggak pernah-"

"Kau nyulut Echa. Sebelum awak dengar kisah kau, sebelum awak tahu Agaz kau adalah mantan kau, saat pertemuan itu, siapa yang tak sadar, ecek-ecek (pira-pura) Agaz itu kek ecek-ecek benci sama kau?"

Nafasku tersendat.

"Kau cinta. Dia cinta. Apa masalahnya?"

Ada. Perempuan dalam keluarganya.

Impianku hanya satu. Jatuh cinta tanpa mendengar aib. Bahkan, aib yang kutangkap di telingaku begitu sangat buruk.

"Kalian salah. Pak Bos, maaf, tapi anda salah. Sejak kapan aku mau mencintai pria yang bahkan tidak pernah masuk ke dalam masa depanku?" Aku menatap Pak Bos. Rahangku mengetat. "Dalam hal ini, saya yang tahu. Kalian hanya menerka. Aku dan Agaz itu orang beda. Pemikiran yang beda. Dan perasaan yang berbeda."

Pak Bos diam. Anya menghembuskan nafasnya lelah. Selama perjalanan ke tempat klien, kami diam.

Aku diam, tetapi, otakku lebih bekerja dua kali lipat mencerna asumsi dari Pak Bos.

###

Aku duduk di atas karpet, bersebelahan dengan Nenek dan Bulek Rulli. Agaz duduk di seberangku, bersama dengan beberapa saudaranya. Lantunan shalawatan, doa untuk Bunda Agaz, dan rangkaian acara yang lain mengudara hingga membuat jam bergerak cepat. Satu jam kami mendoakan Bunda Agaz, melakukan rangkaian doa bersama anak yatim.

Mataku sejak tadi menangkap segala gelagat Agaz. Dia berjalan, tersenyum, bergumam doa, dan menyalami anak yatim terekam keseluruhan di mataku.

Beberapa kali mata kami juga bersitatap. Namun, dia yang selalu memilih melepas tatapannya dariku. Aku tahu pria ini terlihat sedang menghindar dariku. Dia tadi memang mengantarku. Saat di dalam mobil pun, Agaz tidak sama sekali membuka mulut.

"Echa..." suara itu menarikku untuk menoleh ke belakang. Bulek Rulli yang tadi duduk di sebalahku, ada di belakangku. "Bisa minta tolong bantu, Bulek?"

Aku tentu tsrsenyum, memgangguk sebagai jawaban.

Sesampai di dapur, aku membantu bulek memasukkan kotak berkat ke dalam tas jinjing kecil. Di dalam tas terdapat satu kotak kecil dan kotak besar. Kotak kecil itu terdapat beberapa kue, dan yang besar merupakan hidangan berupa nasi.

"Rulli. Di depan, makanannya mau habis. Cemilan buat ibu-ibu sama bapak-bapak juga enthek (habis)." Suara Budhe Shanti terdengar tiba-tiba. Dia berdiri di ambang pintu dengan gelagat kebingungan.

"Di dapur ada." jawab Bulek Rulli masih dengan sibuk memasukkan beberapa berkat ke dalam tas.

"Ya mbok diambilkan."

"Sibuk iki. Ora ngerti toh wong sibuk?" Kali ini Bulek Rulli terdengar mendengus sebal.

Aku memilih berdiri."Biar Echa aja yang bawa. Ke luar, 'kan, Bude?"

Budhe mengangguk. Bulek Rulli menatapku dengan raut penyesalan.

"Biar ini budhe sama bulek yang atasin."

Aku mengangguk.

"Agak berat. Mau minta dibantuin?"

Aku menggeleng.

Nampan besar itu berisi lima kaleng isi makanan ringan. Aku mengantarnya ke depan dengan hati-hati. Melewati beberapa sanak saudaranya. Di luar, aku meletakkan ini di atas meja panjang yang tertata banyak toples yang amblas tanpa sisa.

Memilih untuk kembali masuk, suara dari belakang menarik keingintahuanku. Ada pria dengan seragam safari tengah berdiri di depannya. Punggung itu dengan sekali lihat dapat ketahui siapa pemiliknya.

"Saya nggak pernah menganggap anda Ayah saya!" Suara itu kencang. Bahkan dalam jarak semeter pun aku bisa mendengar. Apalagi orang-orang di dekatnya.

"Putra. Saya ke sini hanya untuk menemui Nenek dan mengucapkan selamat ulang tahun ke kamu dan istri saya."

Pria dengan nada tinggi itu adalah Agaz. P Aku mencoba mendekat. Mendengar setiap kalimat yang membuatku penasaran.

"Anda sudah menalaknya Bapak Bupati!" Agaz memekik histeris. "Bahkan saat Bunda terkapar di hotel, anda sudah bukan jadi suaminya!"

Nenek tiba-tiba muncul di antara pertengkaran mereka berdua. Tangan Nenek mengelus punggung Agaz.

Aku menyaksikan adegan setiap detik yang tertangkap di mataku. Nadanya yang tinggi. Kedua bahu yang bergemetar hebat. Kedua tangan yang terkepal erat di sisinya.

"Saya belum sama sekali menalak istri saya!" Kali ini pria baya itu ikut berteriak.

Mereka dalam ambisius kebencian.

Aku menarik kakiku semakin mendekati mereka. Semakin aku dekat, aku bisa dengan jelas menangkap aura pria ini.

"Pergi!" Agaz menunjuk ke pintu keluar. "Rumah ini nggak pantas diinjak oleh Bupati yang lupa keluarganya sendiri!"

Agaz membalikkan tubuhnya, menangkis tangan Nenek yang sejak tadi menjadi pertahanannya. Saat dia membalikkan tubuhnya, mata kami saling tersudut. Dia menatapku dengan air muka yang begitu jelas.

Dia nampak terkejut. Tubuhnya kembali kaku. Pertahanannya hampir roboh. Dia melewatiku begitu saja. Nenek mencoba mencegatnya. Tanganku sigap menghentikan Nenek. Aku tersenyum.

Sekarang, aku tengah beralih peran untuk mengganti posisi Nenek tadi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top