Bab XI - You've never changed, my bastard
Women are from earth. Men are from earth. Deal with it.
Dia masih di sana. Duduk di antara tumpukan lego dan tumpukan gundam yang masih belum terakit sempurna. Ada dua bentuk pesawat kecil dari lego, yang kuyakini itu sejenis pesawat dari film transformers, dan satu gundam berukuran kecil di sampingnya. Benda-benda berbentuk kota dan hal hal yang kecil nampak berserakan di lantai. Satu hal. Ruangan ini sedang kacau.
Agaz masih menatap wajahku. Pertanyaanku tadi masih mengambang, tanpa sekalipun pria ini berniat membalasnya. Dia duduk diam di sana. Aku menatapnya. Dia menatapku. Tidak ada pergerakan dari kami berdua. Seakan-akan pandangan kami berdua melekat seperti gluten yang susah terlepas. Akhirnya, tatapan itu aku yang mengakhiri. Aku mengerjapkan kedua mataku, mengusir beberapa rasa yang membuat suaraku terdengar parau. Lagi-lagi, aku menepis itu dengan menelan ludah.
Baru kusadari, apartemen Agaz berdominasi warna putih dengan bauran warna coklat antara dinding dengan langit-langitnya. Beberapa walpaper timbul di dinding yang lebih berdominasi coklat cream. Aku tersenyum terasa nyaman saat penglihatanku dengan gaya yang dia pilih.
Saat suasana masih seperti tadi, senyap yang terasa, aku kembali memalingkan wajah sediakala, menatap pria yang sejak tadi tidak menimbulkan suara. Dan benar. Dia masih tetap di sana, duduk menyilangkan kaki dengan menatapku. Namun, ini beda.
Aku merasakannya. Tubuhku meremang. Udara AC yang tadinya tidak mengangguku, lambat laun membuatku semakin beringsut ketakutan.
Dengan cepat tanpa berpikir panjang, aku berkata, "Loe bisa nggak ngelihatin gue kayak gitu?"
Aku memprotes dari tindakan yang setengah mengangguku. Dia akhirnya melepaskan tatapannya. Dia beranjak dari lantai, membuat sebagian logo di pangkuannya jatuh ke lantai.
"Mau minum?" Dia bertanya, melewatiku begitu saja.
"Nope. I just want to tal-"
"Silakan duduk, Cha. Anggap apartemen loe sendiri." Dia menyangga laju kalimatku, menatapku sebentar, lalu menarik kakinya meninggalkanku.
Aku memutar kedua bola mataku ke atas. Nggak bakal. Gue nggak ada niat sama sekali menganggap apartemen ini milik gue, Gaz.
"Sabtu ini, loe datang buat bantu Nenek. Nanti gue bakal ngomong ke Nenek soal permintaan loe." Agaz telah kembali dari dalam dengan segelas air. Ia meletakkannya di atas meja. Duduk di sofa, tempat logo dan gundam berserakan.
Kakiku mengikuti jejaknya. Beberapa kali telapak kakiku menginjak benda benda yang berserakan di lantai iniz sesekali meringis sakit, sesekali meruntuki benda kecil ini.
"Kamu nggak ada niat buat beresin perintilan nggak jelas ini?" tanyaku setelah duduk di sampingnya.
Agaz mengedikkan bahunya. Tangannya tertuju pada puluhan rangkaian logo dan gundam yang bercecer di lantai, "Mereka itu benda yang bikin otak manusia cerdas. Jadi, gue biarin itu kayak gitu"
Aku mengangguk-anggukan kepalaku."Yaaaa, tapi...." Melihat wajahnya yang tidak akan mengindahkanku, aku memilih hanya menghela nafas. Permainan ini uda nyita seluruh perhatiannya. "Up to you lah. Itu buat aku?" tanyaku menunjuk gelas di atas meja.
Dia mengangguk."Minum aja."
Aku mengambilnya, mendekatkan ke bibirku, dan menyesapnya. Ada rasa manis dan kecut. Aku kembali meletakkan gelas ke tengah meja. Memiringkan tubuhku ke arahnya.
Ini memang harus berakhir. Hal yang paling nggak aku inginkan adalah berdua dengannya di tempat ini. Bahkan dalam jarak sesempit ini.
"Kapan aku harus ke sana?"
"Ke mana?"
"Acara yang kamu bilang." balasku menyilangkan kakiku.
Dia mengatuk-atukkan kepalanya. "Sabtu depan aku jemput, ya?"
Aku mengangguk. Beranjak dari kursi."Gue pulang."
Dia ikut beranjak. "Secepat itu?" tanyanya berdiri sejajar denganku.
"Kenapa?"
Keningnya terlihat melipat tegas, "Cuma tanya."
Aku membulatkan bibirku. Kemudian berjalan melewati celah sempit antara sofa dengan meja ini.
"Echa." Agaz memanggilku, membuat kakiku terhenti seketika. Aku membalikkan tubuhku. Dia masih di tempat sama. Antara jarak kursi sofa dengan meja. "Loe nggak mau cari jawaban kenapa gue nggak ngangkat telepon loe, nggak ngasih loe kabar setelah kita seperti itu?"
Ada nada hati-hati dari suaranya yang tadi kutangkap. Aku menghimpit kedua bibirku ke dalam. Menarik bibir yang berbentuk garis tipis. Kakiku tiba-tiba bergerak gelisah. Namun, bukan hanya aku saja yang seperti ini.
Sekarang, pria itu tengah menggaruk tengkuknya.
"Aku minta maaf." aku memulai pembicaraan. "Soal kebodohanku melakukan itu."
"Aku tahu itu kebodohan." Agaz membalas, bernada getir yang kutangkap di telingaku.
Aku menggaruk tengkukku. "Ini Jakarta, Gaz. Ada orang yang gampang melakukan hal itu. Dengan perasaan, ataupun tidak dengan apapun. " Aku menggerakan tatapanku menangkap wajahnya yang masih berdiri di sana. Yang kutangkap, dia tidak setenang tadi. Suara nafasnya bahkan terdengar menggebu keras di telingaku. "Aku tahu ini kesalahan. Maaf. Dan soal perjodohan ini, bisa kamu bilang kalau kita-"
Dia memotong kalimatku dengan helaan nafas yang begitu keras. Ada dengusan dari gelagatnya tadi. "Gue ngerti. Nggak perlu loe ulang. Gue bakal bilang setelah ulang tahun bunda gue."
Aku tersenyum tipis. Nada kalimat yang terlontar dari bibirnya, terdengar berbeda, ada nada tinggi dengan helaan nafas yang setengah tertahan saat dihembuskan. Agaz tidak dalam keadaan baik-baik. Bahunya menegang.
Aku lamgsung menarik diri, menangkis suasana yang semakin terasa buruk. "I'm sorry, Gaz." Hanya kalimat ini yang kubolehkan keluar dari bibirku.
"Untuk?"
"Semuanya." jawabku.
Dia keluar dari jarak sesempit itu, melewatinya begitu cepat, menginjak beberapa bagian gundam dan lego yang masih berserakan di lantai.
"Gue anterin loe keluar." Dia berkata di belakangku. Kemudian mendahuluiku ke pintu keluar.
Dia membuka pintu, menggeser tubuhnya sedikit agar aku bisa keluar.
"Sabtu ini gue bakal datang."
Agaz tersenyum. "Sabtu ini gue juga bakal ngomong ke Nenek tentang perjodohan kita."
Aku keluar. Dia tersenyum. Lalu menarik gagang pintu itu menutup tanpa sekat, tanpa celah, tanpa senyuman yang tidak terpaksa.
Helaan nafasku keluar. Aku mengambil ponselku. Mencari nomor yang selalu ada di panggilan nomor satu.
"Halo..." Suara itu menyahut dari dalam ponselku.
"Ibu maaf. Echa milih buat diruwat ketimbang harus nikah sama Agaz."
Aku menutupnya cepat.
#####
Seharusnya bukan di sini. Seharusnya kalau aku menginginkan untuk menandaskan hubungan kami, aku nggak perlu kemari. Berkunjung ke rumah sederhana dengan warna putih telur asin.
Sejak dua hari, aku dan Agaz tidak sama sekali berkabar, baik di telepon ataupum bertemu. Pertemuan kami nggak lebih dari waktu seminggu, tetapi, seminggu itu yang membuatku dengan gamang mengetahui tentang Agaz, bahkan dekat dengan satu orang yang dia sayangi.
Termasuk hal seperti ini. Aku sudah berdiri di dalam pekarangan rumahnya.
"Echa!!! Calon istrinya cucuku!" Nenek berjengkit histeris, berlari ke arahku, memelukku dengan hangat. "Kamu kok nggak bilang ke nenek mau ke sini, sayang?"
Nenek melepaskan pelukannya. Aku masih mengulum senyum.
"Nggak masalah. Pokoknya Nenek ketemu kamu. Mumpung ada bulek-buleknya Agaz di sini." Nenek masih bercerita seiringan dengan menarikku masuk ke dalam rumahnya.
Di dalam rumah nampak beberapa orang telah duduk di ruang tamu sedang membungkus beberapa makanan. Nenek mengantarkanku ke belakang kearah dapur yang juga telah terlihat tiga wanita paruh baya sedang sibuk dengan beberapa kegiatan.
"Echa, kenalin yang duduk di lantai itu, Budhe Santi, anak tertua saya. Terus yang lagi di deket kompor itu, Bulek Restu, anak bontot saya sebelum mamanya Putra. Yang sedang...."
"Saya tante Rulli, suaminya Mas Bowo, kakaknya Mbak Lira." sahut perempuan yang berdiri di samping meja makan. Tangannya memegang pisau, sebelah kirinya sedang memegang bawang putih.
Aku tersenyum ramah ke masing-masing keluarganya Agaz. Sebenarnya aku juga tidak menyangka bertemu dengan keluarga besarnya. Seharusnya juga aku berpikir panjang sebelum menjejakkan kaki di rumah ini. Banyak kata sesungguhnya yang menjadi alasan kebodohanku sendiri.
"Udah makan?" tanya Nenek mengalihkan lamunanku.
Aku menggeleng. Setelah pulang kerja, tanpa kupikir panjang aku langsung menghentikan taksi, menyuruh supir taksi melajukan mobilnya ke tempat ini.
"Mau makan apa? Tunggu bentar ya." Nenek memintaku. Aku mengganguk. " Li, wes mateng toh soto ayam e?" Nenek berseru, menarik perempuan baya bernama Ruli memgangkat kepalanya dari irisan bawang putih dengan gelengan kepala.
"Ono iku, Buk. Nasi goreng. Ndhek meja makan." Kali ini perempuan di dekat kompor, yang tengah memgaduk sesuatu di panci besar menyahut.
Nenek menelengkan wajahnya kepadaku, "Nggak apa, kan sayang?"
Aku tersenyum. Kemudian mengangguk.
Nenek mengantarkanku ke meja makan. Dia menyuruhku duduk. Nenek memgambilkan piring, menyerok nasi goreng, dan tidak lupa tersenyum padaku saat memberikan sepiring nasi goreng ini.
"Echa." Suara itu menghentikkan tanganku mengambil sendok. Kepalaku meneleng ke kanan. Pria dengan seragam kerja warna biru dan nampak kancing dua dari atas terlepas, tengah menatapku. Wajahnya masih terlihat lelah, rambutnya juga terlihat acak-acakan.
"Kamu kok di sini?"
Aku tidak menjawab pertanyaannya. Perhatianku teralih pada perempuan cantik setinggi bahu Agaz. Wajahnya terpoles make up tipis dengan pakaian celana kain dan baju batik setengah lengan dengan warna hitam membentuk pas tubuhnya.
Agaz dapat kutangkap melirik ke arah kirinya, lalu bagai orang yang baru ketahuan berbohong, wajahnya napak tergurat kegelisahan.
Dia tergagap. "Dia. Eum. Neina. Teman gue di sini." Agaz memperkenalkan perempuan itu kepadaku.
Aku melengos dari tatapannya. Aku dengan percaya diri berdiri, menggeser kursi ke belakang, dan mengulurkan tanganku. "Hai. Gue Echa. Calonnya Agaz."
Perempuan itu tersenyum. "Gue ngerti kok. Salam kenal. Ternyata, yang namanya Echa cantik banget."
Aku mengerutkan keningku, menatap Agaz dan perempuan ini bergantian. "Ternyata? Dalam arti, seseorang bilang gue jelek?"
Neina tergelak. Nenek juga. Hanya aku dan Agaz yang bergeming. Entah, aku sendiri kurang mengerti kenapa pria ini juga tidak ikut tergelak.
"Waduh. Saya salah ngomong, Nek. Saya sih yakin, yang diomongin Agaz itu nggak benar. Wong, Nenek bilang ke saya, Echa itu udah kayak srikandi yang punya banyak kecantikN 7 turunan nggak habis." Perempuan ini berkelakar yang terdengar dibuat-buat. Namun, aku terkekeh. Ikut menikmati kelakar perempuan bernama Neina.
Agaz kembali pada.pertanyaan yang sama, "loe ngapain di sini? Acaranya sabtu. Bukan kamis."
"Gue cuma mau main. Kangen sama Nenek." jawabku kalem. Kembali duduk di kursi.
"Nak Agaz, Nak Neina udah makan?" Nenek bsrtanya, telah memgambil dua piring diletakkan di atas meja, di sampingku.
"Saya sih belum, Nek." Neina menjawab. Dan jujur, aku benci panggilan Nenek keluar dari bibirnya.
"Nek. Agaz mau kasih ini. Terus mau balik." Agaz menyerahkan satu bungkus tas kertas ke arah Nenek.
Aku hampir melontarkan pertanyaan, hingga sebuah suara menarikku mengurungkan niat.
"Kok langsung balik?" Neina yang bertanya. Ini yang membuatku semakin sebal. "Tapi, thank you for tumpangannya, ya, Put."
Neina memanggil Putra. Neina memanggil Nenek. Sedekat apa mereka???!!!
Agaz tersenyum. Dia melewati punggung belakangku. Dia mencium pipi perempuan baya ini. Kembali melewati punggungku, memeluk Neina.
Aku memhtar bola mataku jengah.
"Kok nggak peluk calonnya?" sahut Nenek memggodaku. "Lagi mafahan beneran, ya? Marahannya jangan lama-lama. Nenek uda kepengen gendong cucu loh tahun ini."
Aku tersenyum samar. Tidak ada keinginan untuk menyahut guyonan Nenek.
Agaz tersenyum. Dia langsung kembali mengarah ke tempatku. Dia tiba-tiba setengah membungkuk.
Dan.
What the hell was he doing?!!!!!!
He kissed me.
On my forhead.
Lima menit...
Dia berhasil membuka ancang-ancang yang sejak dulu kutanam untuk tidak timbul ke permukaan. Dia menegakkan tubuhnya dengan santai. Tersenyum dengan lesung pipi yang membuat nafasku timbul-tenggelam.
Apa-apaaan ini!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top