Bab X - Let me go

Cinta itu rumit. Jangan dipikir dengan logika.

"Coba sekali ciuman bisa bikin perempuan langsung bunting." Aku menyangga tubuhku, bertumpuh kepada pegangan troli pengangkut berkas.

Anya yang tadi bermain dengan Hpnya, mendongak menatapku dengan kerutan kening yang berkedut, "Kenapa sih, loe?"

"Kalau ciuman udah bisa hamilin perempuan, mungkin gue punya hak buat minta pertanggungjawaban ke Agaz." jawabku ngawur, asal bicara.

"Loe habis ciuman sama Agaz?"

"Tapi ditolak." timpalku dengan memberengut sebal.

"Maksudnya?" tanya Anya memasukkan ponselnya ke dalam saku celana kainnya.

"Dia nggak ngerespon ciuman gue." jawabku dengan menegakkan tubuhku.

"Bibir loe kurang ditambahin filler kali."

Aku hampir mengambil tumpukan berkas dari troli ini untuk kutebas di leher perempuan satu ini. Dia ini nggak tahu sikon, mana bercanda, mana yang serius.

"Serius deh. Loe habis ciuman sama Agaz? Maksud gue, loe duluan yang nyambar?" Anya bertanya dengan air muka yang menuntut. Aku mengangguk sebagai jawaban. Sedetik kemudian, decakan lidah terdengar di dalam lift, "Gila, ya lo. Lama jomblo, agresifnya ngalahin kucing minta kawin."

Bunyi dentingan di lift membuat kami bersiap mengambil ancang-ancang untuk menarik geledekan berkas yang lumayan berat ini. Anya mendorong, aku menarik. Kami bersama-sama menarik troli berkas yang lumayan berat ini untuk keluar lift.

"Kayaknya gue memang kayak kucing minta kawin, deh, Nya." Aku menyahut di antara hentakan heels kami yang beradu di lantai.

Anya menghentikan langkahnya. Dia menarik pegangan trolli, menahanku untuk menarik ke depan. Aku berhenti, menangkap wajah Anya bergurat kebingungan.

"Ini gara-gara kelamaan jomblo. Dan kalau Ibu nggak nyuruh jadiin Agaz datuk maringgi gue. Mungkin, nggak gini. Kemaren nggak bakal jadi kayak gitu." Aku meracau dengan wajah gusar.

Anya menghela nafas dengan keras. Lorong kantor kami sepi jika di atas jam 9 pagi. Kalau bukan disuruh Pak Bos untuk mengantar berkas data klien yang dulu, aku dan Anya berada santai di dalam ruangan, tidak perlu mengangkut berkas-berkas sebanyak ini.

"Loe suka sama si Agaz?" tanya Anya tiba-tiba.

Aku membeliakkan mataku sebagai jawaban.

Anya mendnegus sebal. Dia melipat tangannya ke depan dan berkata, "Kenapa sih loe nggak ngakuin perasaan loe sendiri? Segitu susahnya buat ngaku? Loe itu emang nggak suka, Echa. Tapi udah cinta. Mana ada nggak cinta tapi nyosor duluan."

Kali ini aku berdecak meremehkan. "Gue cinta sama Agaz? Kok bisa? Dalam pertemuan singkat kok bisa loe ngira gue cinta sama—"

"Ini Jakarta, Echa." Anya menyanggah cepat kalimatku. Tangannya yang terlipat, sebagiannya menopang di atas sandaran trolli ini dengan kaki sebelah terlipat ke depan. "Di Jakarta segala hal harus cepat. Kalau nggak, loe bakal telat."

"Dalam urusan cinta sekalipun?"

Alis sulamnya bergerak-gerak ke atas, "bahkan dalam urusan ranjang, honey."

Aku menggelengkan kepalaku berulang kali. Telunjukku bergerak ke kanan dan ke kiri, menampik asumsinya. "It doesn't make any sense, Anya."

"Learning a love is going to take any minutes. But, feeling a love is going to take one second."

"Love at first sight itu nggak ada, Anya!" tampikku kesal.

"Nope. You're not, Echa. Loe sama Agaz bukan sekali ini ketemu. Kalian itu dua orang yang dulu pernah terlibat kehidupan, tapi kemudian loe kelarin. Dan ternyata, Tuhan nggak mau bikin kisah loe kelar. It's simple, honey." Anya menarik nafasnya. Dia tersenyum segaris begitu lebar. "Love at last sight mungkin,"

"Apaan sih! Sok tahu. Tatapan terakhir gue belum tentu Agaz!"

"Tatapan terakhir loe juga bukan loe yang nentuin, honey."

"Sayang, tebakan loe salah! Agaz nggak suka sama gue!" Aku mengakhir argument ini. Bisa gila kalau kerjaanku maish disangkut pautin sama Agaz. "Dia bahkan nggak ngangkat telepon gue dari kemaren malam sampai sekarang! Kayak berasa gue ini, perempuan yang—"

Anya tersenyum begitu lebar. Gigi depannya yang putih tergambar penuh wajah kebahagiaan. "Nah ini, loe jujur. Itu dalam hati loe udah ngerasain. Kalau loe nggak percaya cinta. Anggaplah ini, soal perasaan loe yang udah setia ngikat Agaz. Mungkin dia udah komitmen penuh ke Agaz."

"Loe kok jadi pakar cinta sih?!" Aku mendengus sebal.

"Loe aja yang nggak tahu." Anya mendorong trolli berkas ini kembali melaju di lorong berkeramik batu pualam. Aku mengikutinya, menggantikan posisi Anya tadi yang mendorong trolli. "Gue gini-gini udah berpengalaman ke sagala hal yang namanya cinta."

"Cinta? Loe aja ngerasain cuma sama bule. Bedalah sama yang lokal. Agaz ini pria lokal. Jadi beda."

Anya tergelak. Beruntung, dia langsung meredam tawanya begitu mengingat kami dimana. "Honey, semua pria, mau yang kualitas impor, atau ekspor, itu sama. Nggak ada yang beda. Yang beda ya cuma their size."

Aku memutar kedua bola mataku dengan jengah.

"By the way, loe kenapa nggak ke rumahnya Agaz aja sih. Emang sih loe nggak dibukain pintu hati sama si Tuan handsome itu, tetapi, loe punya kartu as loh, Cha. Keluarganya dia dukung loe. Kenapa nggak dengan cara itu?"

Aku menghentikan langkahku. Anya berbelok ke arah ruangan penyimpan data. Sebanarnya, Anya ini jago dalam segala hal yang berkaitan seperti ini. Namun, aku masih belum mengatakan jika aku mempunya perasaan ke pria itu. Nggak. Sekejap itukah cinta berproses? Mana ada!

###

Kakiku mengetuk jalan beberapa kali. Tanganku telah terlipat di dada sambil bersandar di pagar.

"Echa." Panggilan itu menarikku membalikkan tubuh.

Aku melihat wanita yang kutemui dua hari lalu. Aku tersenyum dengan melambaikan tangan kearahnya.

"Nek!" Panggilku.
Nenek Sri melangkah cepat kearahku setelah membukakan pagar. Kami berpelukan sesaat sebelum Ia menarikku masuk ke dalam rumahnya.

"Gimana kabar Kamu, Echa?" tanya Nenek sembari merangkul bahuku masuk ke dalam rumahnya.

"Alhamdulillah baik Nek." jawabku tersenyum dengan mengikuti langkahnya masuk.

Kami masuk ke dalam rumah sederhana dengan dominasi warna putih telur asin. Rumah Nenek tidak bertingkat, hanya ada satu tingkat yang memanjang ke belakang. Nenek mengantarkanku duduk di ruang tamu. Beberapa menit kemudian, Nenek memanggil seorang ibu baya dengan baju daster ke arah kami, yang kuyakini dia adalah pembantu dari keluarga ini.

"Agaz ada, Nek?" tanyaku setelah Ibu baya itu kembali meninggalkan kami berdua.

Guratan keriput di wajah Nenek semakin terlihat kentara apalagi saat dia mengerutkan keningnya. "Putra, bukan?" tanya Nenek.

Aku mengganguk.

"Putra ya..." Nenek nampak menimbang-nimbang. Matanya ke atas, kemudian kembali kepadaku.
"kalau hari biasa gini, palingan tidur di apartmentnya, sayang. Kamu nggak tahu?" tanyanya lagi.

Aku menjawabnya dengan anggukan pelan. Bersamaan itu, ibu baya itu kembali dengan dua cangkir teh dan beberapa kue lumpur tersaji di piring kecil.

"Terima kasih." Aku membantunya meletakkan piring yang ada di nampan ke meja. Dia tersenyum. Setelah itu kembali ke belakang.

Aku meneguk ludahku. Lebih cepat lebih baik. "Nenek, Echa boleh tahu nggak alamat apartmennya Agaz?"

Nenek tersenyum. "Ngapain pakai tanya ke Nenek? Kan bisa langsung tanya ke Putranya. Lagi marahan, ya?" Nenek tersenyum menggodaku.

"Nggak. Cuma mau kasih surprise." jawabku kalem, menyungging senyum ramah.

"Sebentar. Nenek ambilkan kertas sama bolpen, ya? Nenek juga sedikit lupa. Yang tahu, cuma Bi Nah. Yang tadi bawa ini ke sini."

Aku mengangguk lagi.

"Nenek tinggal dulu. Jangan lupa jajannya dimakan. Jangan dianggurin." Nenek kemudian beranjak dari sofa.

Aku melihat punggungnya menjauh dari ruangan ini, menghilang sekejap dari balik tembok itu. Mataku memilih mengamati seluruh ruangan. Ada beberapa pigora tergantung di dinding, menempel erat satu sama lain. Kaki bergerak, beranjak dari sofa ini menuju ke pigora-pigora itu. Mataku mengamati pelan demi pelan. Ada satu pigora besar dengan orientasi horizontal, yang kuyakini keluarga besar Nenek terpotret di dalam pigora itu. Satu perempuan cantik dengan baju kebaya menjadi incaran kedua mataku.

Dia seperti seseorang yang pernah kukenal. Seseorang yang mungkin tidak asing untuk penglihatanku. Wajahnya nampak tertandai warisan Belanda, Asia dan Indonesia. Dia cantik, bahkan saat tersenyum tipis seperti itu. Ada lesung pipi di wajahnya. Serupa dengan—

"Dia anakku. Pratiwi. Bundanya Putra." Nenek berseru tiba-tiba, menarikku langsung menelengkan wajah ke sumber suara.

Nenek tengah tersenyum dengan menyodorkan satu kertas. Aku mengambil. "Sekarang Bundanya Agaz kemana, Nek? Se-apartmen dengan Agaz?"

"Kamu nggak tahu?"

Aku mengerutkan keningku. Tidak memilih untuk menjawab.

"Bunda Agaz sudah meninggal waktu Putra SMA, Kamu nggak tahu, Echa?" tanya Nenek lagi.

Aku menelan ludahku. Hanya ini titik dimana aku mampu menampis kegugupan, keterkejutan, dan ketidakpahaman aku tentang Agaz. "Tahu, Nek. Echa cuma lupa. Udah lama nggak ketemu, jadi rada lupa." Aku terkekeh aneh, terdengar sumbang didengar.

Beruntungnya nenek ikut tertawa. Seiringan dengan tawa Nenek yang terdengar, aku mengalihkan lagi tatapanku ke perempuan dengan pakaian kebaya menyungging senyum yang membuat kedua lesung pipi itu kentara.

Senyumku terculas samar. Ada perasaan tidak enak yang merasuk dalam-dalam perasaanku. Sesuatu yang tak bisa kugambarkan. Nafas yang tadi berhembus normal, kembali timbul tenggelam. Dengan cepat, aku menangkis itu semua. Tubuhku miring ke samping, menatap Nenek yang telah menghentikan tawanya dan tengah menatapku.

"Echa, pamit, ya Nek?"

"Cepet banget." Nenek sedikit terdengar memprotes. Namun, dia akhirnya mengangguk kemudian setelah aku memberi alasan yang cukup logis. Alasan mengenai keinginanku untuk bertandang ke apartment cucunya.

Nenek mengantarkanku keluar hingga ke teras. Nenek melepasku dengan genggaman hangat di kedua bahuku. Sebelum, aku menjauh dari Nenek, perasaan gelisah yang sejak tadi kurasakan setelah melihat foto perempuan itu, menarikku memutar tubuh.

"Echa boleh tanya sesuatu, Nek?"

Nenek tersenyum, lalu mengangguk

"Boleh tahu nama Bundanya Agaz?" aku bertanya dengan hati-hati.

Nenek tetap mengulum senyum dan berkata, "Sarita Devi Pratiwi"

Aku duga, bukan hanya aku saja yang mengenalnya. Semua orang kuyakini pernah mendengar nama itu. Aku membalas Nenek dengan pelukan hangat. Kemudian berlalu meninggalkan rumah sederhana berdominasi putih telur asin ini.

###

Overdosis istri Bupati.

Istri Bupati, diva cantik, meninggal karena ekstansi.

Tubuh bupati cantik, meninggal di atas kasur dengan kapsul ekstansi.

Tanganku mengscroll seluruh tajuk berita dengan kata kunci Sarita Devi Pratiwi. Aku mengusap wajahku dengan lemas. Punggungku ambruk di sandaran kursi mobil.

Kepalaku miring menatap keluar mobil.

Suasana Jakarta pada malam memang hanya nampak gedung-gedung pencakar langit berlomba-lomba menunjukkan bakat lampu masing-masing. Malam seakan hilang lampu alaminya, berganti beberapa gemerlap lampu dari gedung pencakar itu. Anehnya hal itu membuat mataku memilih memandangnya, mengamati ribuan gemerlap lampu dengan kemacetan Jakarta yang masih terlihat semakin semrawut.

Suara berat itu mengalihkanku dari keluar jendela, lalu menatap ke depan. "Saya lewatin daerah Sudirman, ya Mbak?"

"Iya pak. Terserah Bapaknya. Enaknya lewat mana." jawabku pelan, kembali memejamkan mata, menikmati wewangian yang menguar dari parfum mobil ini.

Tidak sampai setengah jam aku sampai ke tempat tujuan. Perasaanku masih sama. Gelisah. Melihat deretan tajuk tadi, membuat kepalaku semakin berdenyut nyeri. Ada keinginan menarikku keluar kembali, meninggalkan apartment ini. Namun, ada satu keinginan yang secuil kelingking, masuk merayapi seluruh tekad bulatku.

Aku mengambil nafas dalam. Masuk ke dalam lift. Memejamkan kedua mataku saat pintu lift tertutup rapat. Lima menit kemudian, lift ini sampai ke lantai yang kutuju. Dengan tingkat perasaan gusar bercampur dengan tekad yang secuil kelingking, aku mengarahkan kakiku menuju ke nomor yang sekejap kuhafal lekat-lekat di pikiranku.

Kusen berwarna coklat kayu menganti terbuka saat aku menekan tombol di dekat pintu. Pria dengan balutan celana pendek dan kaos oblong berdiri dengan raut keterkejutan begitu gamang.

"Ada yang ingin gue bicarain."

Dia masih diam dengan mulut menganga lebar.

Tanpa memedulikannya, aku menyerobot masuk, membuat tubuh besar itu terhentak ke dinding.

"Soal perjodohan kita." Aku memotong kalimatku."Batalkan. Aku mohon, Gaz."

Akhirnya, secuil kelingking itu adalah ini. Keinginanku untuk menjauh dari masalah.

Dia tiba-tiba menutup pintunya. Mata hitamnya menatapku sekejap, kemudian berjalan melewatiku.
Beberapa lego dan salah satu gundam berukuran 30cm ada di lantai.

Agaz duduk di sana. Tidak mengindahkanku sama sekali.

Aku memberanikan diri bertanya, "Agaz, loe dengar kalimat gue tadi?

Agaz melepaskan tangannya dari merakit sesuatu yang tidak kutangkap. Dia menelengkan wajahnya kepadaku. "Besok, Nenek memintamu membantunya untuk acara ulang tahun Bundaku."

"Kenapa aku?" Entah, kenapa aku bertanya seperti ini. Dan memang, kenapa harus aku.

Karena aku sekarang, sedang dalam ketakutan dengan riwayat keluargamu, Gaz.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top