Bab VII - Anger Around Sin Is Okay

Masa lalu datang tiba-tiba, itu memiliki dua kemungkinan. Dia memang mau memperbaikinya atau ingin menunjukan jika masa lalu memang masa lalu. Tapi, datang dari mana, kalau Tuhan saja tidak ikut campur. Tapi, anehnya, kamu mau diikut campurkan dalam masa lalu.

With no take off, landing or seat-belt signs, you're not stuck in your seat for endless amounts of time. Makna kereta yang kamu maksud seperti ini, ya, Gaz. You don't want to stuck in our relationshiop for endless amount of time. Segitu susahnya kamu mengatakan hal itu kepadaku. Nggak perlu kamu berputar putar mencari kata yang tepat untuk mengatakan we never ever getting back again.

If you want to free, I can let you go.

"Dari tadi ngelamun terus, ya, loe, Cha?" Begitu suara ini menyahut, aku memutar leherku dengan kaku ke samping kanan. "Seriously, itu muka nggak bisa dicantikin dikit, ya? Jelek banget ya loe, kalau lagi galau."

Aku menggigit bibir bawahku. Cukup lama membiarkan mataku menangkap wajahnya yang kadang melihatku, kadang kembali menatap lurus ke depan.

"Kamu kok ada di stasiun, sih?" tanyaku mengalihkan topik.

"Tadi gue nganterin klien yang kemaren. Dia mau ke Jogja. Liburan."

Aku mengangguk.

Mobilnya telah ada di persimpangan lampu merah daerah Kemayoran. Aku memilih mengalihkan tatapanku keluar jendela. Mengamati padat-rayap di sekitar persimpangan ini.

Terdengar dengusan nafas dari sebelah kananku, "Orang yang sedih kalau nggak perlu tempat curhat ya perlu tempat nyandar. Jadi, gue mau loe jadiin apa, tempat curhat atau tempat sandar di kasur?"

Kali ini, aku menyampingkan tubuhku kepadanya. "Loe itu kalau ngomong suka bener, ya? Gue mau bikin loe jadi sandaran heels gue. Mau, loe? Dan please deh, loe itu suka siapa sih, suka perempuan atau laki?"

Reza kembali tertawa. Bersamaan itu, lampu merah telah berganti warna, menarik tuasnya ke depan membentuk huruf L

Aku menggigit bibir bawahku tiba-tiba, "Za. Loe lebih suka bagian top atau bottom, kalau berhubungan?"

Reza melirikku, mengkerut sesaat, lalu kembali menatap lurus ke depan dengan tangan kirinya mengusap dagu. "Bottomlah, gue kan cewek dalam hubungan perGAYan."

Aku memutar mata jengah. Tetapi kembali meneruskan pertanyaanku, "Gimana jadi cewek, Za?"

"Rumit, tapi gue enjoy." jawab Reza kalem, memutar kemudi setir ke kiri.

"Harusnya laki kayak loe itu jadi kesayangan para wanita ya? Loe ngerti banget kita, bahkan belain jadi bottom. Para pria normal nggak gitu. Eh... nanti itu belok kiri, ya?" Aku mengalihkan pembicaraan saat mobilnya tengah sampai di depan perumahanku. "Ikutin jalan, terus belok kanan. Terus aja, sampai nemu pagar biru." lanjutku kemudian dengan diikuti oleh anggukan kepalanya.

"Yaaa gimana, ya? Gue ngelakuin juga buat satu orang." jawabnya dari pertanyaanku tadi.

"Ini dari kalangan kami atau pria?"

"Kamu."

Mobilnya sampai di depan pagar biru, tepatnya rumahku. Aku menatapnya, dia juga telah menatapku dengan tatapan yang kurang mampu kudeskripsikan.

Dengan cepat, aku mengambil kesimpulan, "Dengan kamu ini, maksudnya aku, atau kaum perempuan, sih?"

Reza tersenyum begitu lebar. Mulutku berusaha kembali terbuka, hingga suara getaran di ponselku mengalihkan pandangan kami berdua. Aku menatap layar ponselku dengan helaan nafas yang keras. Agaza Putra, begitu cepatnya memori visualku menangkap namanya di layar ponselku.

"Echa, loe di mana?" tanya Agaz tanpa basa-basi.

Aku menatap Reza yang telah memilih menatap keluar jendela. "Barusan sampai, Gaz. Kamu di mana?" tanyaku balik, masih tidak melepaskan tatapanku dari wajah Reza yang nampak samping.

"Naik apa?" Dia bertanya balik, tidak mengedihkan pertanyaanku. "Echa, kamu naik apa?!" ulangnya lagi.

"Ojek yang kamu pesan." jawabku menggigit bibir bawahku, pun dengan Reza yang melemparkan tatapan bingungnya kepadaku. Aku tahu, Za, kenapa aku memilih berbohong, tetapi aku sendiri kurang paham dengan jawabanku.

"Dari dulu, kamu memang nggak pernah berubah, ya, Cha? Seharusnya, sikap buruk selama sembilan tahun itu, bisa lenyap sama waktu. Sayang, nggak." Dia terdengar menghela nafas keras dari dalam ponselku, "Atau itu memang sifat aslimu? Sebagai seorang pembohong?"

Padahal dulu, aku yang selalu memutuskan sambungan ini dengan sepihak. Aku masih mengingatnya, aku yang memilih meronta agar dia tidak lagi meneleponku. Sekarang, saat aku mencoba menyambungkan telepon kami, dia tidak sama sekali menjawab.

"Agaz marah sama gue, Za." seruku tiba-tiba dengan menelengkan kepalaku ke arahnya.

"Ngapain sih loe bohong?"

Aku mengedikkan bahuku dengan lemas, "Gue nggak bisa jawab dan kalau loe maksa, gue pasti bakal jawab nggak tahu."

Reza menghela nafasnya dengan melepas sabuk pengaman. Dia memiringkan tubuhnya kepadaku. "Berbohong loe itu aneh. Orang bohong itu pasti ada alasannya. Dan kayaknya nih, loe itu sudah nemuin what the reason you were doing that. Tapi, loe milih bohongin gue, Agaz, dan tentu loe sendiri, sweatheart."

Aku mengangkat wajahku, menatap ke depan. Pandanganku tiba-tiba beralih ke samping kiri. Sosok pria setengah baya tengah berdiri di depan teras. Tanpa memedulikan Reza, aku keluar dari mobilnya. Aku berlari membuka pagar dengan suara teriakan Reza dari dalam mobil. Langkahku hampir mendekati pria itu, dan dengan satu loncatan, aku berada dalam gendongan depannya.

"Bapak, kok nggak ngabarin, Echa, sih?" rengekku manja dengan mengalungkan kedua lenganku di lehernya.

"Yaallah, iki opo-opoan. Wes gerang kok sek njalok gendong. Mudon." hardik Ibu di belakang Bapak.

Aku memberengut di gendongan Bapak. Lalu mengikuti perintah Ibu turun, tetapi masih dengan tangan melingkar erat di lengan kokohnya.

"Assalamualaikum." Sebuah suara menarik kami bertiga mengalihkan pandangan.

Reza memutuskan turun dari mobil untuk mengikutiku.

"Loh, kok nggak sama Nak Putra?" tanya Ibu kemudian.

Aku masih terlihat asik menyiumi bau Bapak, sampai jeweran Ibu menarikku kembali melepas pelukan Bapak. Ibu mengecamku, sedangkan Bapak malah tergelak, dan pria di depanku terkikik sopan, atau sedang dibuat-buat sopan.

"Agaz tadi ada kerjaan Ibu. Dan mumpung, Echa ketemu teman kerja. Oh ya, Pak, Buk, ini Reza, satu divisi marketing sama aku. Tapi, dia lebih senior."

Ibu menyalaminya terlebih dulu, diikuti dengan Bapak. Ibu tiba-tiba mendekatkan tubuhnya kepadaku, bibirnya mendekat di telingaku dan berbisik begitu pelan, "Ini ganteng. Ibu nggak nyangka kamu bisa bawa pria selain Pak Bos kamu."

Aku memutar mataku jengah. Sampai sebuah suara Bapak dengan ide gilanya, membuatku menganga tak percaya.

"Nak Reza, udah makan malam? Sekalian yuk, makan. Setelah itu baru boleh pulang."

Anehnya, Reza mengangguk dengan semburat rona malu-malu yang dia buat-buat terlihat dari gelagatnya. Ibu melirikku dengan senyum sumringah, begitu sumringahnya hingga membuat gigi-gigi depannya terlihat. Bapak mengiring Reza ke dalam rumah, lalu Ibu menarik lenganku untuk melingkar di lengannya.

Jejeran lauk tadi pagi yang dimasak Ibu tersaji nikmat di atas meja lonjong berkayu mahoni. Ada gule kepala ikan, sayur bening dan sambal terasi kesukaan bapak, dan buah pencuci mulut ikut menambah menu malam ini.

Bapak selalu berujar sebelum menyantap makanannya, mengatakan mengenai segala suka-duka pekerjaannya. Satu kutipan yang selalu ia lontarkan untuk kami berdua, 'Jatuh cintalah pada negaramu sendiri. Seperti, kamu jatuh cinta pada orang yang membuatmu mau menjadikanmu sebagai pimpinan dalam rumah tangga.'

Sedetik kemudian suara dentingan sendok, garpu, dan piring yang beradu bersamaan di saat hujan datang tanpa kabar. Suara sesapan air dari mulut kami ikut menjadi akhir dari kecapan lidah kami dan geraham gigi kami yang telah selesai mengunyah makanan. Reza meletakkan gelasnya, diikuti dengan gumaman doa hamdalah keluar dari mulutnya. Raut wajahku berubah takjub tak percaya. Reza dengan gelagat pria jadi-jadian, masih bisa melafalkan kalimat hamdalah?

"Assalamualaiku—" Suara itu tergantung menguar di udara. Namun, secepat itu pula telingaku menangkap suaranya. Melihatnya yang tengah berdiri tak jauh dari meja makan dengan rambut basah dan sekantong plastik separuh basah terkena bekas hujan malam, menarikku dengan perasaan tidak enak. Dia menatapku, berganti menatap Reza yang duduk di sampingku. "Reza? Kamu kok—"

Dengan gugup, aku berdiri dari kursi. Tidak memedulikan gerakanku ini menimbulkan bunyi dentingan piring yang beradu keras dengan meja. Tubuh Agaz membuatku hilang fokus.

"Kok nggak ngomong mau ke sini, Gaz?" tanyaku, memundurkan kursi, lalu menghampirinya.

"Loh, Nak Agaz? Kok nggak ngabarin?" Ibu bertanya, menimpali pertanyaanku.

Tak ada jawaban. Bapak memutar tubuhnya ke belakang, lalu kembali menatapku dengan kerutan kening begitu dalam. Kerutan kening Bapak berkedut setelah melihat Reza yang terdengar berdehem kikuk di sampingku.

Suara Reza menyahut di tengah suasana canggung, "Om, saya pulang dulu, ya? Terima kasih dengan jamuan makan malamnya. Maaf, saya langsung pulang. Ada keperluan mendadak."

Bapak beranjak dari kursi, menyalami Reza dan mengantar Reza keluar.

Entah apa yang dipikirkan pria ini, aku langsung menariknya ke ruang tamu dengan membawa kantong plastik berwarna putih ini ke atas meja ruang tamu. Bapak telah kembali dari mengantar Reza, lalu duduk di depan Agaz. Sempat Agaz menyalaminya sebelum Bapak beringsut duduk di depannya.

"Ini nak Agaz? Ibu sering cerita soal kamu." Bapak memulai pembicaraan setelah Agaz menyalaminya. Ibu datang dengan membawa tiga gelas teh hangat, lalu duduk di samping kami berdua.

"Saya bawa martabak manis kesukaan Echa dan Bapak."

Aku mengerutkan keningku.

"Semua orang suka Martabak manis. Apa bedanya?" tanya Bapak menatapnya lekat dengan nada terdengar serius.

Aku menelan ludah kelu, melirik Agaz yang masih menyungging senyum. Dengan percaya dirinya, dia berkata, "Mungkin, cuma Bapak dan Echa, yang suka Martabak manis dengan jagung dan keju parut."

Bapak yang kali ini mengkerutkan keningnya, "Kamu ini suka banget toh sama anak saya? Sampai segitu hafal." Bapak kemudian tertawa, diikuti dengan aku yang tiba-tiba bernafas lega. Ibu juga terdengar menghembuskan nafas.

Oh Tuhan, aku kira cuma aku, Ibu juga, ternyata.

"Bapak, boleh saya ngobrol berdua dengan Echa?" tandas Agaz langsung, begitu membuat aku yang tadi bernafas lega, kembali menahan nafas.

Ini apa-apaan?

Bapak tersenyum, kemudian mengangguk. Bapak beranjak, Ibu juga ikut beranjak, mengekori Bapak setelah menyuruh Agaz mencicipi teh buatan Ibu. Setelah kepergian Ibu dan Bapak, hanya terdengar suara hujan deras di luar sana. Agaz masih terdiam, sedangkan aku separuh menunduk, menatap ubin keramik rumahku. Agaz berdehem, tersabur bersamaan derasnya hujan yang sejak satu jam lalu belum mau berhenti.

"Jadi ojek onlinenya ganti nama, Echa?" tanya Agaz, begitu sarkas, melebur bersama guyuran hujan di luar sana.

Aku mendongak, menelengkan wajahku dengan lidah mencapit bibir atasku, masuk kembali ke dalam rongga mulut, dan kali ini gigi atas ikut andil menggigit bibir bawahku, menepis rasa gugup yang tak main-main.

Agaz berseru, "Gue nggak peduli. Bahkan loe mau bilang ini bukan kebohongan, gue nggak peduli. Loe mau kasih penjelasan sekalipun gue nggak peduli."

"Agaz..." panggilku, menyanggah ucapannya.

"Gue udah salah menaruh sesuatu ke loe, Cha. Gue salah memberi kesempatan ke gue sendiri buat ngeyakin ini akan berjalan sempurna."

"Gazzz, dengerin gue dulu." mintaku, menatapnya dengan pandangan memohon.

"Boleh gue tanya satu hal ke loe?" Agaz bertanya tiba-tiba. Aku memilih diam, karena saat ini yang aku inginkan menjelaskan bagaimana aku bertemu dengan Reza. Dia menarik nafas lebih dalam ketimbang tadi, menghembuskannya begitu keras, "kenapa loe berbohong ke gue, Cha? Kenapa loe takut untuk ngomong, loe sama Reza tadi?"

Kali ini, pertanyaan itu membuatku terdiam berates-ratus bahasa. Tubuhku terhentak begitu kaku ketika pertanyaan ini terlontar dari bibirnya dengan mata menatapku begitu lekat. Dia berhasil mengunciku, menarikku begitu dalam ke salah satu perasaan yang tak mampu kepahami. Pelan, dan tanpa kusangka, deru hujan yang lenyap, kembali timbul ke permukaan, mengguyur jalan-jalan Jakarta, menghantam seluruh atap rumah warga, dan menghantam sesuatu dalam hatiku.

"Gue nggak tahu, Gaz. Gue —" aku nggak bisa ngomong ini ke kamu. Mengatakan hal ini sama saja dengan membuatku takut memahami itu. Bahkan 'itu' sendiri membuatku takut melontarkannya dari perasaanku, Gaz. Kalimat itu hanya menguar dalam kebisuanku sendiri, tanpa mengudara didengar oleh Agaz dan hujan malam ini.

Agaz beranjak dari sofa. Hujan di luar semakin mengguyur deras.

"Loe mau ke mana?" tanyaku, menarik tangannya. Aku ikut beranjak dari kursi, menyeimbangi tatapan mata kami. "Masih hujan. Tunggu hujan reda." mintaku masih memegang lengannya.

Dia tersenyum, "Hanya hujan, Echa. Kenapa gue harus takut dengan hujan, jika yang paling gue takuti sendiri nampak di mata gue, Cha?"

Aku mengerutkan keningku. "Loe bisa ngomong lebih jelas, Gaz?" mintaku. Kali ini aku melepaskan tanganku dari lengannya.

"Bahkan loe sendiri nggak bisa menjawab pertanyaan gue tadi dengan jelas, Cha. Padahal, loe tahu jawabannya." tegas Agaz, menatapku begitu tajam.

"Kalau loe tahu, kenapa loe tanya?" Aku bertanya kalem, menyambut tatapan mata tajamnya itu.

"Karena gue ingin tahu, bagaimana calon istri yang dipilih oleh Tuhan kepadaku." Dia nampak mengguratkan emosi yang dapat kubaca. Benci, kesal, sedih dan kecewa. Hembusan nafas keras itu menarikku berasumsi, Agaz memang kecewa denganku. "Beruntung, Nenek yang memilih, bukan Tuhan, Echa."

Sarkas, satu hal yang dapat kupahami sebelum dia membunyikan sirine mobilnya. Dia berbalik, menembus hujan dengan guyuran yang begitu deras, meninggalkanku kaku diam di dalam rumah.

Hujan, selalu begitu pas sebagai pengiring segala perasaan. Bahagia sedih, marah, atau apapun, hujan selalu menjadi penegas seseorang itu semakin terpaut ke dalam perasaan. Bahkan, hujan juga hadir, menarikku semakin dalam menyelami perasaan yang tak pernah kucerna, karena aku selalu bertanya dengan pertanyaan yang sama, sedang apa perasaanku sekarang ini? Kamu bahagia, sedih, atau marah?

Atau aku sedang menyalami perasaan kecewa karena kalimat terakhirnya?

####

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top