Bab VI - Hold

Percayakan saja dengan Tuhan yang memberimu alur maju-mundur. Tapi, kamu juga punya pilihan.Berdoa saja, pilihanmu tidak salah bergelut dengan masa lalu.

"Bu..." Aku merajuk dalam pelukan Ibu dengan kantung mata yang begitu tegas. Tanganku melingkar erat di pinggangnya saat dia tengah memasak sesuatu yang kucium sangat harum. Ibu yang merasa risih memutar tubuhnya, dan menarik tubuhku darinya.

Matanya memicing begitu sipit dengan kerutan kening yang berkedut dan kedua tangan yang menyikap wajahku, memiringkannya ke kanan dan ke kiri, lalu berkata, "Yallah. Ini dakochan atau siapa sih? Jelek amet ini muka."

Aku mengedikkan bahu acuh tak acuh. Lalu menurunkan tangan ibu dari wajahku. Langkahku menuju ke kursi meja makan. Aku menarik kursi, lalu duduk menghadap Ibu.

"Buk..., untuk membuat otak kita nggak memikirkan satu hal yang nggak diinginkan, gimana, ya, buk? Echa lagi mau nutup otak Echa dari hal-hal yang nggak Echa pengenin."

Ibu menghela nafasnya begitu keras. Dia berjalan ke arahku, mengambil tempat duduk di sampingku. "Itu hal yang nggak kamu inginkan, bukan?"

Aku mengangguk sebagai jawaban.

"Gampang. Seharusnya, kalau itu hal yang nggak kamu inginkan, kamu nggak perlu takut. Dia hanya terlintas sebentar, tetapi kemudian menghilang. Kecuali—" Ibu menghentikan laju kalimatnya. Aku menggigit bibir bawahku. "kecuali kamu sedang mengelabui pikiranmu sendiri, sayang. Otak dan hati itu selalu kerja sama. Sekarang, kalau hatimu sendiri bilang iya, otakmu mau nggak mau akan mengiyakan."

Aku menarik nafas begitu dalam, kemudian menelan ludahku begitu kelu. Kebiasaanku saat sedang dilanda perasaan tak menentu, aku menggigit bibir bawahku.

"Malah bengong?" Ibu menjentikkan jemarinya di depanku. Mengerutkan kening, tangan Ibu mengusap dagunya berulang kali, menatapku dengan tatapan selidik,  "Kamu nggak bikin ulah ke Agaz, 'kan?!"

Mataku terpejam sesaat sambil menghela nafas berat, lalu kembali aku membuka mataku."Ibu mikirnya aku yang ngapain Agaz? Aku yang buat masalah ke Agaz, gitu? Ibu lagi bercanda, ya?"

"Ibu bercanda, Echa? Sejak kapan Ibu bercanda?! Ibu itu tahu kalau nggak kamu yang bikin masalah, ya sih Echa Revallina yang bikin masalah." jelas Ibu  berdiri dan tangan bersendekap di dada.

Aku geram bukan main mendengar tuduhan Ibu yang selalu menyudutkanku jika berkaitan dengan pria yang bernama Agaza Putra. Karena nyatanya, Agaz itu tersangka utama. Siapa lagi coba yang buat aku bermake-up kayak Peter Parker, atau kayak yang Ibu omongin tadi, kayak dakochan?

­­­­­­­Berniat untuk membela diri, sebuah suara menarikku kembali mengurungkan niat untuk membantah pemikiran Ibu. Mungkin, aku harus berterima kasih kepada orang yang pagi-pagi bertamu ke rumah, sebab jika dia tidak datang sepagi ini, dosaku pun akan bertumpuk lebih karena topik yang selalu kami bahas sama, tentang aku dan Agaz. Ibu yang selalu menang, dan aku yang terus membantahnya.

"Biar Ibu yang buka. Kamu mandi sana. Itu baju dari kemaren belum ganti. Make-up juga belum dibersihkan. Nggak risih, kamu?" tutur Ibu melepas apronnya, menaruhnya di punggung kursi.

Aku menjawabnya dengan gedikan bahu, memutuskan beranjak dari kursi, menghampiri masakan ibu yang mendidih di atas kompor menyala. Ibu yang melihatku hanya menggelengkan kepalanya, memilih untuk melangkahkan kakinya mengarah keluar pintu, untuk menemui siapa gerangan yang bertamu sepagi ini.

Semenit kemudian, Ibu kembali ke dalam rumah. Berbeda dari tadi, Ibu berjalan dengan langkah gontai menujuku sambil berkata, "Kamu mandi. Kalau nggak nanti nyesel." Itu kalimat Ibu yang kudengar samar, lalu dia kembali memutar tubuhnya keluar rumah. Ada sesuatu yang ganjal dari tingkah Ibu barusan.

Aku masih tak acuh dengan mengaduk-ngaduk masakan Ibu. Mencicipi dengan sendok besar. Sampai akhirnya, sebuah teriakan Ibu dari belakang membuatku mampu mengartikan gelagat anehnya tadi.

"Itu Echa. Lagi masak gule ikan. Pagi-pagi, anak tante ini sudah ke dapur. Hebat kan? Calon istri idaman banget." cetus Ibu dari belakang punggungku.

Aku tertegun. Sendok yang berada di bibirku terhenti seketika, hanya menempel tanpa berhasil kusesap. Begitu hebatnya kalimat Ibu, membuat tubuhku yang setengah membungkuk, kaku seketika. Pelan-pelan, aku menurunkan sendok dari bibirku sambil mengambil tutup panci besar ke atas wajan, dan kemudian menaruh sendok itu di atas tutup panci. Kutelan ludah begitu susah payah, secara pelan dan kaku, aku menegakkan tubuhku, memutar ke belakang.

That's him. His smile just makes his dimples deeper.

"Echa!" Aku mengerjapkan mataku, melihat Ibu yang telah berada di sampingku. Begitu lihainya Ibu berpindah tempat, atau begitu tercengangnya aku melihat pria ini datang ke rumah, pada hari Minggu, tanpa memberi kabar.

Kembali, mataku melihat Agaz yang masih berdiri di sana. Tidak lagi menyungging senyum, tetapi nampak heran melihatku. His dimples was gone.

"Nak Agaz mau makan?" tanya Ibu memecahkan suasana kikuk antara kami berdua.

"Saya rencana mau ngajak Echa sarapan, Buk. Tetapi—" Omongan Agaz langsung ditimpali oleh Ibu.

"Ohhh, nggak apa. 'Kan ini bisa dimakan kapan aja. Tinggal dihangatkan, semuanya beres. Ibu ijinin kalian berdua pergi kok." Ibu menepuk bahuku, melirikku sekilas saat aku tengah menatapnya, meminta penjelasan. Tapi, Ibu memang berhasil bertindak sesuai dengan keinginannya.

"Nak Agaz tunggu di ruang tamu saja, ya?" tutur Ibu lembut. Agaz mengiyakan dengan menjauh dari dapur, menuju ke ruang tamu. Ibu menatapku, memberiku tatapan tajam, lalu aku mengiyakan perintahnya.

***

"What will we do in there?!" pekikku tertahan setelah melepas sabuk pengamanku. Dia hanya tersenyum kalem, mengambil kunci mobil dan menaruhnya dalam tas kecil, tas yang sering dia gunakan saat bersamaku.

Seriously? Dia ini punya otak seabsurd apa, hingga membuatku harus terdampar di stasiun kereta api, dengan memegang dua tiket kereta api jurusan Jakarta-Bogor.

"lima belas menit lagi keretanya mau berangkat. Cuma sehari, setelah itu kita pulang." jawabnya kalem, membuka pintu mobil.

Mau lima belas menit, lima menit, atau mau telat sekalipun, aku nggak peduli.

Dia membuka pintuku, menyuruhku untuk turun, lalu berkata, "Kamu mau turun, atau aku gendong?"

Dia mau mengancamku, silakan. How could I want to go to Bogor mendadak seperti ini dengan sarana kereta api, padahal kita bisa naik mobilnya, yang menurutku, its more comfortable than this one.

Saat dia menunduk, menjulurkan tangannya, membuat mataku langsung membeliak tak kuasa. Aku mendorong tubuhnya, lalu memilih untuk keluar dari mobilnya. Aku menghentakkan kakiku kesal, melangkah terlebih dulu masuk ke dalam stasiun Kota Baru. Agaz mengikutiku dari belakang. Entah bagaimana perasaannya sekarang, tetapi, yang kupastikan dia tengah tertawa bahagia melihatku kesal di Minggu pagi ini.

Jam 09.15, kereta api jurusan Bogor sudah membunyikan pluitnya di udara. Aku telah masuk ke dalam kereta. Duduk bersandar di jendela, mengambil tempat di dekat pintu. Kepalaku bersandar ke besi yang menjadi peyangga kursi ini ketika Agaz telah mengambil posisi duduk di sampingku. Tubuhku sedikit miring ke arah pintu keluar, bersikap merajuk saat pria ini menyunggingkan senyum tidak berdosanya padaku.

"Gue nggak tahu kalau loe masih suka ngambek, ya, Cha?"

Mulutku menganga lebar dengan tubuh berbalik kearahnya, menuntut maksud dari ucapannya tadi, "Yang bikin gue ngambek kayak gini, ya siapa lagi, kalau nggak elo, Agaza Putra."

Dia tersenyum segaris yang begitu lebar. Seakan tidak ada rasa bersalah sedikitpun melihatku sedang kebakaran jenggot karena ulahnya.

"Pusing gue ngikutin jalan pikiran loe yang nggak pernah bisa ditebak. Loe kalau dendam, nggak usah kayak gini." desisku kesal melihatnya yang hanya tersenyum segaris seperti tadi.

"Loe tahu nggak bedanya kereta api dulu sama sekarang?"

Rahangku bergemelatuk seketika mendengar jawabannya yang tidak sejuntrung dengan arah pembicaraan kami berdua. Dia malah balik bertanya. Alih-alih bertanya tentang keadaanku, dia malah bertanya selayaknya juru kuis. What the hell was he thinking, heh? How could I know what the different kereta jaman dulu sama sekarang? Yang aku tahu sekarang, what the different between you 'today,' and the past, Gaz!

Aku ingin menangkasnya, tetapi, pria ini kembali membuka mulutnya. "Kemaren kamu nggak tidur, Cha?"

Aku mengerutkan keningku.

"Mata loe apalagi, Cha. Tadi pagi juga, gue lihat pakaian kemaren masih loe pake." jelasnya kemudian, menjawab semua pertanyaan yang belum sempat aku lontarkan padanya.

Tanganku mengambil ponsel dari tas kecilku. Aku meraba bagian bawah mataku sambil menatap bayanganku dari kamera depan ponselku. Terlihat sekali cekungan mata hitam yang tidak dapat tersamar walaupun aku sudah menggunakan foundation cukup banyak di bawah mataku.

"Gara-gara omongan gue kemaren, ya?" tanya Agaz lagi, membuatku mengalihkan tatapanku dari kamera untuk melihatnya.

"Jangan geer!" tandasku padanya, kembali memasukkan ponsel ke dalam tasku, "Gue kemaren itu kecapekan. Siapa juga nggak capek, diajak keliling Jakarta, dari Timur ke Utara. Sekarang, loe ajak gue naik kereta dari Jakarta ke Bogor. Did you ever eat real breakfast before you pick me up, heh?"

Pria di sampingku hanya terdiam dengan tatapan masih sama. Senyum tipis itu membentuk lekukan cekung di kedua pipinya. Aku memutar mataku jengah. Pria ini sedang kurang asupan nutrisi sepertinya.

Satu jam lebih, kereta commuter yang kami naiki telah sampai ke stasiun Bogor kota. Agaz turun terlebih dahulu, aku mengikutinya.

Perbedaan dengan stasiun Jakarta lumayan jauh. Walaupun, sekarang, stasiun kereta api di Indonesia mengalami perkembangan yang pesat. I have never ever seen where pedagang asongan was.

Agaz berhenti tepat di depan restoran soto ayam Lamongan. "Kita makan di sini sambil nunggu kereta selanjutnya lewat."

Jadi, kami ini seperti orang yang tengah transit dari satu stasiun, lalu melanjutkan perjalanan lagi dengan kereta berbeda, begitu? So, what the hell will we do next, Gaz?! Hanya menumpang makan soto ayam lamongan, atau hanya ingin mengetahui apa bedanya stasiun kereta api Jakarta dengan Bogor? Serious, how could he have weirdness thought like that one? Namun, seakan menjadi orang paling linglung, aku mengikuti seluruh gerakannya.

Duduk di depannya, makan sesuai dengan apa yang dia pesan, mengobrol, dan yang paling aneh, aku tertawa dan tersenyum mendengarkan kata-kata yang nggak di masuk akal dari mulutnya. Mungkin, mayoritas orang transit, turun dari pesawat, they will get jetleg. So do I. I get trainleg.

I know this is kinda what an odd.

Trainleg, Cha? what have you thought before?

Kurang lebih satu jam, kereta jurusan Jakarta yang akan kami naiki datang. Aku duduk di gerbong dua bersama Agaz. Lama kami memilih terdiam dengan pemikiran masing-masing.

Sampai akhirnya, Agaz yang memulai obrolan dengan pertanyaan teraneh. Pertanyaan yang tadi tidak sempat ia lanjutkan.

"Kamu tahu bedanya kereta jaman dulu dengan sekarang?"

Aku menjawabnya dengan helaan nafas, lalu menggeleng lemas.

"Dulu, sarana ini tidak menjadi prioritas mereka. Bukan menjadi salah satu sarana yang paling diminati. Dulu, kereta selalu dilempar, dicoret-coret, tidak sekalipun mendapat simpati dari publik. They wanted to choose transportation which make them comfortable. Kapal, pesawat, dan jika itu pun harus dilalui oleh darat, and they don't have private transportation, they will choose patas bus, taxi, or if they have much money, the will choose executive train. But, now, semua kereta diberlakukan sama. And I like It, Cha."

Dia terdiam, mungkin sedang mengatur nafas. Mata hitam menatapku, kembali menatap ke depan. Kereta komuter berhenti di salah satu stasiun yang tidak aku ketahui. Beberapa penumpang berjejelan masuk, menempati jejeran kursi kosong di sekitar kami. Aku kembali meliriknya, yang ternyata dia tengah menatapku.

"Kenapa aku suka dengan transportasi ini, karena, with no take off, salt belt signs, or maybe, we don't need turn of our cellphone, doing whatever you want. That's why I like riding by train more than anything. Dan sekarang, train is the best tranpostation, make everyone thinking that this transportation has to become their priority. Aku ingin seperti kereta ini, bahkan dicaci maki, dilempar dengan batu, tidak mendapatkan empati pun, aku ingin seperti dia, mengangkut semua orang yang dulu membencinya, mungkin juga, mengangkut orang yang dulu pernah melemparinya."

"Loe ngomong apa sih?" selaku dengan raut wajah heran, yang hanya ditanggapinya dengan senyuman.

"Tentang kereta yang kita naiki." jawabnya kalem.

Mataku mengerjap penuh keterkejutan dan keheranan yang bercampur aduk. Bibirku ingin terbuka, berusaha untuk mencoba menanggapi asumsinya. Namun, pria itu tiba-tiba mengambil ponselnya. Terdengar suara dering begitu nyaring memecah suasana kereta yang tadinya hanya terdengar desas desus obrolan penumpang beriringan dengan suara mesin.

"Halooo... Iya. Oke gue ke sana. Setelah ini gue sampai. Sekarang? Dua jaman gue sampai. What?! Itu kesalahan besar. I count on you, Rulli. Damn. Itu nggak bakal bisa bener dalam waktu sehari. Itu kompenen yang rusak. Shit. Gue ke sana. Segera!" Dia menatapku dengan ponsel masih menempel di telinga kanannya. Dia kemudian menghela nafasnya begitu keras. "Give me one hour, please. I have to—" Dia memejamkan matanya. Tangan bebasnya meraup wajahnya, lalu kembali menatapku. "Oke. Setengah jam. Gue masih di kereta ini."

Dia menutup teleponnya. Aku menunggu dia mengatakan sesuatu.

"Gue nggak bisa anterin loe pulang. Gue pesenin ojek online, ya?"

Bibirku tiba tiba merapat, bersusah payah membentuk senyuman. Dan berhasil, aku tersenyum kepadanya, bahkan mengangguk patuh di depannya.

Lima belas menit kemudian, kami sampai di stasiun Jakarta. Dia meninggalkanku begitu keluar dari kereta. Aku menatap punggungnya yang menjauh. Pemikiran Agaz memang nggak berubah, tetapi, sifatnya yang brengsek, entah kenapa, kali ini membuatku beringsut sakit.

"Echa?"

Aku menelengkan kepalaku ke kanan, setelah mendengar namaku tersebutkan di antara kerumunan orang. "Reza?" tanyaku dengan mata membeliak lebar.

Suara ponselku tiba-tiba berdering. Reza yang tadi ingin melontarkan kalimat, kuhentikan dengan isyarat tanganku. Aku menggeser layar.

"Iya. Saya sendiri. Oh. Pak ojek online. Bentar, pak." Aku menjauhkan ponselku dari telingaku dengan tangan bebas yang tengah menutup layar, lalu menatap Reza yang berdiri dengan kerutan di keningnya. "Boleh nebeng?"

Dia tersenyum, lalu mengangguk.

Aku membalasnya dengan senyum. "Pak. Maaf, ya. Saya nggak jadi naik ojeknya. Nanti, kalau pria yang namanya Agaz menelepon bapak, bilang saja, saya sama bapak. Untuk pembayaran, diambil saja."

Aku menutup sambungan telepon.

####
BERSAMBUNG

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top