Bab V - They were couple
Perempuan marah mampu mengaum seperti macan. Tapi pria saat marah, jangan harapkan untuk mengaum, mereka diam, bahkan, ada luka yang membekas yang tidak mampu mereka ceritakan.
Kami keluar terlebih dahulu, sebelum beberapa pengunjung beranjak dari kursi mereka. Aku berjalan di depan, melewati wayang Ramayana dan Mahabrata, diikuti oleh Agaz yang mengekor di belakangku. Otakku masih mencerna kalimat Agaz tentang Gatotkaca yang telah menaruh hatinya kepada Pragiwa. Sebenarnya bukan karena topik yang dia ceritakan, tetapi mengenai raut wajahnya yang nampak mengguratkan emosi begitu dalam saat dia tengah bercerita tadi.
"Echaa??"
Aku menghentikan langkah mendengar namaku menggema di lorong museum.
Mataku membeliak lebar setelah menangkap sosok pria berwajah tegas dengan mata menyipit, seiring dengan kedua sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman.
"Ngapain loe disini?!" tanyaku langsung, tanpa menyuarakan kesan ramah kepadanya.
"Siapa, Cha?" Agaz telah berdiri di sampingku, begitu melewati pria bermata sipit ini.
Tanpa menghiraukan pertanyaan Agaz, aku langsung berkacak pinggang dengan memasang raut wajah yang tidak senang, "Loe ngapain di museum? Loe nyasar arah, ya? Tempat dugem yang di Jaksel masih belum pindah, ya? Atau loe lagi mabok?"
Pria di depanku malah tergelak keras. Dia bahkan tidak memedulikan beberapa pengunjung mulai melihat ke arahnya dengan tatapan risih. Kuhela nafas berulang kali sambil menatap wajahnya dengan sebal.
"Gue lagi nganter klien, Echa. Dia lagi pengen ke tempat-tempat bersejarah." jelasnya dengan senyum tipis, dan menunjuk sosok pria yang tengah berdiri tak jauh dari kami.
Wajah pria itu nampak berbeda dari kami, seperti tertandai oleh warisan yang nyata oleh orang-orang Belanda, dengan bertubuh tegap dan tinggi lebih dari kami bertiga, yang saat ini sedang melihat-lihat wayang Ramayana. Dia tersenyum kepadaku, lalu kembali melihat wayang dan memfoto satu persatu wayang tersebut dengan kamera digitalnya. Aku cukup mengenalnya, salah satu klien dari Negara Eropa yang berdedikasi tinggi dengan perusahaan kami.
"Elo sama siapa, Cha?" Reza kembali bersuara, menarikku melenyapkan pikiran yang selalu melantur.
Aku meruntuki diriku sendiri. Bagaimana aku bisa lupa jika Agaz masih berdiri setia di sampingku. Bahkan pertanyaanya tadi sempat kuhiraukan.
"Gue Agaz." Agaz tiba-tba mengulurkan tangannya, dan dalam sekejap, Reza menyambar tangan Agaz dengan senyum penuh arti.
"Gue Afrezal. Loe bisa manggil gue, Reza. Gue serekan kerja sama cewek loe."
"Gue bukan pacarnya Echa." tangkas Agaz cepat setelah melepas jabatan tangan mereka.
Sekejap, bibirku mencebik samar. Namun, pria di depan kami kembali dengan senyum lebarnya sambil berkata, "Just friend?" Reza melirik kearahku dengan pandangan selidik, "I think there is someone wants to be more friend with you."
Mataku membeliak sempurna. Bibirku terkatup rapat, membentuk segaris tipis dengan pandangan mata telah mendelik mengecamnya agar diam.
"Siapa?" Agaz bertanya dengan pertanyaan simple yang berhasil membuat kedua lututku lemas.
"Hahaha, nggak ada. Yang pasti orang di sebelah loe lagi melototin gue."
"Echa?" Agaz melirikku dengan kerutan keningnya.
"Gue? Ngapain? Loe kira gue suka sama dia? Ngarep more than just friend ke dia? Ihhhh. Sorry, No!" jawabku cepat dengan bersungut sebal ke arah mereka berdua, dan tanganku mulai menyendekap ke depan, memelototi mereka berdua.
"That what I mean, Gaz. There is someone wants to be more friend with you." Senyum Reza menggoda dengan telunjuknya mengarah kepadaku, "Gue juga nggak pernah bilang, kalau loe tersangka dari kalimat gue barusan, Echa Revallina."
Seriously, Reza?!
Aku melemparkan tatapan tajam kepada Reza, tetapi pria ini hanya tersenyum penuh kebanggaan. Reza memang pantas kujuluki sebagai manusia setengah pria. Perilakunya saja tidak mencerminkan what any men did. Dan dua pria ini tertawa dengan begitu bahagia. Sedangkan perempuan cantik ini, memilih bergeming, mengamati dua lelaki yang sedang tertawa terpingkal-pingkal, sambil meruntuki dirinya sendiri melakukan kebodohan.
Tawa mereka terhenti setelah pria dengan warisan Belanda ini memanggil nama Reza.
Bolehkah aku berterima kasih pada kompeni satu ini untuk menyelamatkan kekekianku gara-gara si setengah pria ini?
"Gue cabut deh. Daripada gue besok kena damprat sama Nyi Kanjeng Ratu." Reza berkelekar, "I am so happy to meet you, Echa." jawab Reza mengerlingkan mata sebelahnya kepadaku.
Aku menepis gerlingan itu dengan kepalan tanganku tertuju kepadanya. Reza tergelak kemudian, setelah itu melambaikan tanganya pada Agaz.
"Dia suka kamu. Aku yakin." ujar Agaz berasumsi tiba-tiba setelah punggung Reza telah menghilang dari pandangan kami berdua.
Mataku menatapnya degan kerutan kening yang berkedut, "Maksudnya apa, ya, Gaz?"
Pria itu memutar matanya, terlihat kesal dengan jawabanku. "Kamu yang nggak tahu atau pura-pura nggak tahu?"
Semakin dalam kerutan keningku saat menanggapi kalimatnya barusan. Selang semenit, aku memutar mata begitu jengah mendengar kelakarnya yang tidak lucu sama sekali. "Loe ini kalau punya asumsi jangan ngawur, yang agak informatif dikit. Sejak kapan gue bisa punya hubungan sama si setengah pria itu? Dan sejak kapan si Reza bisa suka sama gue?"
"Kelihatan, Echa. Gue laki. Gue yakin banget dia itu punya rasa—"
"Dia itu nggak suka sama kaumku. Nggak suka sama perempuan." tandasku cepat, menyanggah kalimatnya yang sempat kupotong.
Sedetik kemudian, wajahnya berubah pias.
Oh Tuhan, kenapa wajah setegas itu, bisa juga menampakkan ekspresi lucu yang menggemaskan? What were you thinking, Echa?
Aku menggeleng cepat, menandaskan pujian yang baru saja sempat kupikirkan.
"Loe kenapa, Cha?" Agaz menarikku dari alam bawah sadar. Matanya menyipit. Tubuhnya mencondong ke depan, menatapku begitu lekat. "Loe sakit? Oh Tuhaaan—" Dia kemudian berseru dramatis dengan tangan menepuk keningnya, "Gue sampai lupa makanin loe, Cha."
Mulutku menganga lebar, "Fisik emang berubah, tapi nyebelinnya persis."
Pria di sampingku malah tersenyum tipis. "Loe suka yang mana, suka gue yang dulu atau sekarang?"
"Ya sekaranglah, tapi ini lebih nyeb—" Aku mengatupkan bibirku rapat. Mataku menangkap senyum tipis itu berubah membentuk cengiran yang begitu lebar. "Gue nggak suka. Gue cuma. Loe itu nyebelin, ya, Gaz." Pria itu malah tergelak keras, membuat beberapa pengunjung mengalihkan tatapannya kepada kami berdua. " Maksud gue, loe itu. Aduhhhh—"
"Makan yuk. Gue lapar." Begitu kalimat yang dia tandaskan kepadaku, menangkis kekekianku. Dia menarik kakinya mendahuluiku, meninggalkanku sendiri yang masih bergeming diam akan salah ucap yang barusan kukeluarkan dari bibirku.
Dia ini sedang ngapain?
Begitu hebatnya pengaruh dia hingga membuatku bisa berpikiran hal yang tidak masuk akal, seperti tadi.
Aku memilih mengekorinya dari belakang, memutuskan untuk berjalan di belakangnya. Namun, Agaz memelankan laju langkahnya, membuat langkahku seiring dengan langkahnya. Matanya yang hitam pekat tengah menatapku dengan menyunggingkan senyum begitu indah kupandang. Dengan cepat, aku mengalihkan tatapanku ke samping kiri, membuang wajahku darinya. Senyum yang dulu aku lihat biasa-biasa saja, entah kenapa, menjadi cambuk terbesarku saat senyum itu tersungging.
Aku mengalihkan pembicaraan saat langkah kami telah sampai di pintu keluar, dan juga tengah menyadari kami berjalan bukan ke arah mobilnya, tetapi berlawan arah. "Nggak naik mobil? Kita mau makan di mana sih?"
Dia menghentikan langkahnya, menelengkan kepalanya ke arahku. "Sepuluh menit dari sini, Echa. Jadi mending kita jalan kaki. Kalau naik mobil lebih ribet."
Aku mangut-mangut.
Kami melewati trotoar pejalan kaki. Beberapa orang berlalu lalang melewati kami. Beberapa Museum telah kami lewati, dari Museum Bank Indonesia, Museum fatahilla, Museum Sejarah Jakarta, dan beberapa kedai kopi yang terlihat begitu kolonial. Sebenarnya, selama sembilan tahun tinggal di Kota Jakarta, Kota Tua belum pernah menjadi destinasi yang ingin aku kunjungi. Bahkan, bisa dibilang, ini baru pertama kalinya aku mengunjungi Kota Tua.
Mataku yang saking fokus pada daerah sekitar yang menyajikan beberapa pemandangan massif yang begitu kental akan kolonial, membuatku tak sadar jika Agaz tengah menghentikan langkahnya. Hal itu membuatku tak sengaja menabrak tubuhnya. Aku menyesali perbuatanku dengan kepala yang cukup berdenyut nyeri akibat kepalaku yang tak sengaja menubruk dadanya.
Aku mendongak ke atas dengan mulut mencebik ke bawah, "Kalau berhenti ngomong dong, Gaz." sungutku kepadanya.
Pria itu berdehem, lalu mengalihkan tatapannya dariku.
"Dih, malah melengos." Aku menggerutu setelah menjauhkan tubuhku darinya. "Jadi kita kemana? Makan apa?"
Dia kembali berdehem, berbatuk kecil, lalu menarik nafasnya. "Di sini. Kita makan di Kedai Seni Djakarte."
Aku melirik ke samping kanan. Suasana kedai ini masih nampak tua, mungkin karena letaknya tak jauh dari Kota Tua Jakarta. Ada frame-frame lukisan yang nampak menggambarkan suasana Jakarta pada zaman dulu. Kami berdua masuk ke dalam, lalu menarik tangan Agaz dan berkata."Gue cari duduk di luar, ya?"
Agaz mengangguk. Dia kembali masuk ke dalam untuk memesan makanan untuk kami berdua. Aku memilih duduk di dekat bahu jalan. Tersenyum merekah melihat Jakarta yang berbeda dari sudut pandangku di tempat ini. Mungkin, New York memiliki julukan The big apple, tapi Jakarta, juga memiliki juluskan menarik, The big durian.'
Rasa-rasanya, Kota Jakarta ini punya 1001 keunikan yang mampu kuceritakan dari hal penting hingga hal sepeleh. Di Jakarta mereka bisa dalam sekejap mengubah rasa benci menjadi rasa cinta, atau sebaliknya. Seperti durian, segelintir orang benci aromanya, tapi mayoritas orang suka dengan buah ini. Atau mungkin, rela menyukainya hanya untuk kebutuhan 'hidup.'
Agaz kembali, mengambil duduk tepat di depanku, menarikku mengalihkan tatapanku ke arahnya.
"Loe nggak apa-apa, Cha?"
Aku mengerutkan keningku setelah mendengar pertanyaan yang tidak ada juntrungnya sama sekali.
"Gue? Nggak apa-apa tentang, apa ya?" tanyaku menunjuk ke diriku sendiri.
"Kemaren loe jatuh dari sofa." Dia telah menyilangkan kedua tangannya di atas meja dengan menatapku.
Oh good. Setelah 24 jam berlalu, dia baru bertanya, dimana permasalahan sakit punggungku tengah berganti dengan sakit kepala karena kebodohanku mengiyakan kencan yang absurd ini.
"I was good enough now." jawabku datar, mengambil ponsel dari dalam tasku. Puluhan notifikasi terlihat bermunculan saat aku menyalakan mobile dataku. Tidak lebih semua pesan dari group absurd antara aku, Pak Bos, Anya, dan kabar Mama yang menanyakan keberhasilan kencan ini.
Bersamaan dengan hal itu, aku melihat pelayan pria tengah mengantarkan dua pesanan kami. Mataku menengadah ke atas, melepas pandangan dari ponsel genggamku. Pelayan ini meletakkannya pelan-pelan di hadapannya Agaz. Tangan Agaz mendorong piring itu ke sampingku dengan sendok dan garpu telah ia usap menggunakan tisu.
I am smiling now, Gaz.
Sedetik kemudian, hanya dentingan suara garpu dan sendok yang beradu dengan piring. Kami hanya menyuap secaruk nasi dengan sendok dan kadang garpu. Melahapnya kemudian dengan pandangan kadang-kadang mengamati ke sekitar. Tidak ada percakapan di antara kami berdua.
"Gue ngerokok ya, Cha?" Dia berseru setelah dia mendorong piringnya ke depan, setelah menyelesaikan santapannya. Agaz telah menyelipkan batang rokok di bibir bawah dan atas dengan mendekatkan korek api ke ujung batang rokok.
"Masih suka ngerokok ternyata ya loe?" ujarku dengan sedikit bernada sarkas.
"Nggak boleh?" Aku menggeleng sebagai jawaban, menyuap nasi ke dalam mulutku lalu mengunyahnya. "Bukannya loe nggak suka cowok ngerokok?"
Aku menelannya, lalu berkata, "Ya iya sih. Tapi nggak masalah kalau dia nggak keterusan. Gue ngeiyain asal dia bisa jaga dirinya."
Agaz menghembuskan asap rokok ke samping kiri dengan tangan kemudian mengibas-ngibas ke udara, seakan sedang mengusir asap rokok itu tidak mengarah padaku.
"Jadi, kenapa loe setuju dengan perjodohan ini, dengan kemaren siang pura-pura nggak kenal aku? Dan tadi, loe tanya apa gue baik-baik saja? Did you like doing some stupid act, Gaz?" tanyaku kemudian setelah menghabiskan nasi bakar seafood yang tadi sempat kupesan.
Tanganku menopang di dagu dengan kepala miring menatapnya.
Agaz menaruh rokoknya di atas bibir piring. Tangannya bersendekap lagi d atas meja, menatapku begitu lekat, lalu berkata, "Jalan gue udah maju sekarang. Jadi, apa gue udah masuk kepikiran loe, Cha?" Dia memundurkan tubuhnya, mengambil putung rokok yang telah padam oleh kuah makanan piringnya, memain-mainkannya di atas kuah. "gue harap di pikiran loe sekarang ini, gue sudah nyelip di salah satu daftar kesukaan loe."
Kamu ngapain sih, Gaz? Nggak masuk akal kamu mengatakan hal itu. Karena, aku sendiri juga nggak ingin menaruh namamu terus di pikiranku. Nggak akan.
Tapi, kalimat yang dia ucapkan, berhasil membuat tangan yang tadinya menopang dagu, kehilangan tumpuhan begitu saja.
Senyumnya kembali menyungging sembari berkata, "Sepertinya, gue benar-benar masuk di pikiran loe, ya, Cha?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top