Bab IX - Ini namanya langkah hidup
Imagination is unlimited. Seems like your moving on is unlimited. But girls, your life is limited. Don't be so heartbreaking. Image anything for keep away your heartbreaking.
Bekerja sebagai Marketing eksport, jika tidak mengurusi bagian EMKL (ekspedisi muatan kapal laut), harus mengetahui keadaan Negara klien, mengetahui seluruh jadwal shipping liner, termasuk pelabuhan-pelabuhan jikalau salah satu negara tidak memiliki pelabuhan, mengetahui ukuran container, dan banyak hal yang lainnya.
Ribet, bahkan jika aku membandingkan dengan permasalahan kemaren malam, pekerjaanku saat ini begitu sangat amat meyusahkan, yang berarti tidak kuanggap sebagai pekerjaan yang harus kusampingkan. Tapi, kenyataannya, aku menukar prioritasku.
Dia itu sepeleh, hal yang nggak harusnya kupentingkan, tapi dia mampu masuk ke segala penjuru hidupku, menggantikan yang penting menjadi sepeleh. Memenuhi segala memoriku. Termasuk gelagat bodohku yang mengikuti omongan Pak Bos.
"Ada urusan apa ketemu gue? Sampai belain datang kemari." Aku menggiring kami keluar dari warung nasi padang, menjauh dari Anya dan Pak Bos.
"Gue ada acara nanti malem. Mau nemenin?"
Aku mengerutkan keningku, "Loe bisa sms, 'kan?" Aku berbalik bertanya. "Kantor lo ke gue itu jauh. Nggak usah sok-sokan deh."
Dia tersenyum. Lesung pipi itu yang kembali tertangkap oleh kedua mataku. Lesung pipi yang sempat membuatku berada di atas awang-awang. "Nggak sopan kalau ngajak orang lewat sms. Jarak tempuh nggak sampai setengah jam, apa bisa disebut jauh, Echa Revallina?"
Sejak kapan panggilan namaku sepanjang itu terdengar begitu menarikku ke dalam kerumun kepuasan. Dari bibirnya, lidah yang membelit di antara langit-langit mulutnya, keluar sebuah suara yang membuat nafasku timbul-tenggelam dalam waktu bersamaan. Beberapa orang pernah memanggilku, memanggil kepanjangan namaku, meneriakkan dengan nyaring, kadang pelan, kadang bergumam, berbisik, dan apapun yang tidak membuatku seperti perempuan saat ini. Dimabuk gelora kepuasan!
Aku berdehem, menangkis segala hal yang membuatku lupa diri. Tanganku terlipat ke depan. "Sudah, 'kan? Sana gih pulang." Tanganku mengibas-ngibas ke arahnya, menyuruh pria ini segera lenyap dari pandanganku.
Agaz tiba-tiba tertawa. Aku langsung memalingkan wajahku untuk menatapnya. Kedua lesung pipi yang menjadi imajinasiku di warung tadi, nampak kentara di wajahnya. Aku menelan ludahku yang tiba-tiba kelu. Aku menghembuskan nafasku begitu keras. Jangan lagi, Gaz!
"Loe bisa berhenti?" tampikku cepat dengan tegas.
Dia menghentikkan tawanya.
Suasana Jakarta semakin mengganas. Suasana terik di atas ubun-ubunku nampak membakarku, mengiring buliran keringat di punggungku.
"Jadi, kamu oke, 'kan?" tanyanya lagi mencoba memastikan.
Aku harusnya menggeleng. Bukankah, sehari yang lalu pria ini memiliki noktah hitam? Kemungkinan besar, ajakannya akan kembali seperti dulu, menyudutkanku dalam segala sisi. Aku menelan ludahku lagi, untuk ke sekian kalinya, tanpa komando dari otak, aku mengangguk.
###
Nggak ada yang salah dengan convention hall yang berdiri megah di Jakarta Pusat. Ini bukan stasiun, atau museum, atau sesuatu yang aneh untuk dikunjungi oleh sepasang pria dan wanita. Ini normal jika dalam dua pihak pasangan itu menyukai acara megah membahan yang ada di dalam convention hall itu. Namun, aku bukan perempuan yang sepihak menyukai acara di dalam gedung besar itu.
Dua wanita melewatiku. Rambut mereka di cat warna warni. Pakaian mereka mirip dengan siswa-siswi. Rok berwarna merah kotak-kotak, kaos kaki yang panjang hampir selutut, dan rompi senada dengan warna roknya melapisi kemeja putih.
Mataku menangkap tiga pria. Tubuh mereka setinggi Agaz dengan pakaian yang tidak sama sekali kupahami. Salah satunya berpakaian rompi merah, topi jerami dan celana jins pendek. Salah keduanya, dia memakai tempelan seperti robot-robot yang kurang kupahami. Hanya satu yang kupahami, kostum power ranger tengah berjejer di depan stan.
"Di sini aneh, ya? Aku kayak ada di dunia yang beda." Aku berseru di tengah keramaian.
Agaz memiringkan kepalanya, menatapku dengan bingung.
"Ini mereka lagi pada ngapain? Kayak orang-" Aku mengigit bibir bawahku. Bibirku mengucap beberapa kata dengan pelan, bahkan tak terdengar.
Beruntungnya, kalimatku bisa tertangkap dengan jelas oleh Agaz. "Nggak aneh kok. Mereka ini lagi cosplay. Meniru anime kesukaan mereka. Mungkin bagi kamu aneh, tapi bagi kami, ini hal yang terlampau biasa di event kayak gini."
Bahuku mengedik acuh tak acuh. Sama saja. Orang-orang di tempat ini sudah kayak orang nggak waras. Melebihi orang gila yang sering di pinggir jalan Jakarta. Mengais sisa-sisa kelogikan mereka yang tercecer di segala penjuru bahu jalan Jakarta.
Bukan bermaksud mengomentari jika mereka ini gila, tetapi lebih tepatnya, aku masih kurang paham dengan yang namanya meniru. Kartun ditiru? Kenapa nggak tiru orang yang lebih jelas, gitu?
Agaz mengiringku ke stan yang dijejali beberapa mainan yang tidak kupahami.
"Ini apaan?" Aku menunjuk ke salah satu robot kecil yang memiliki sayap.
"Ini namanya action figure gundam. Atau kami menyebutnya, Gunpla." jawabnya kalem.
Agaz menggiringku ke dalam bilik stan yang lumayan ramai penuh sesak. Tangannya melambai ke atas, setelah namanya terdengar mengudara. Seorang pria bertubuh gemuk berjalan ke arahnya. Pria gemuk ini berpakaian normal layak Agaz dengan aku. Dan beberapa pengunjung lain.
Jujur, belum hampir satu jam aku di sini, aku sudah merasa panas dingin hanya karena melihat lalu lalang perempuan dan pria dengan pakaian yang tidak jelas dan dandanan yang teramat aneh. Jika aneh itu memang kesannya unik. Kalau mereka, kesannya bikin setengah pusing.
"Seri gundam rakitan gue uda ada?" Aku mendengar Agaz berbincang dengan pria tambun ini.
"Sudah. Noh di atas meja." Aku melihat pria tambun ini nampak menatapku dari balik tubuh Agaz. Aku mengulum sneyum menanggapi senyuman ramahnya. "Dia cewek loe, Gaz? Masyaallah, cantiknya. Mbak, saya kaget Agaz bisa bawa perempuan ke tempat kayak gini."
Agaz membalikkan tubuhnya ke belakang.
"Mbaknya, suka gundam?" imbuhnya dengan mengganti posisinya di tengah-tengah kami.
Aku menggeleng.
Pria tambun ini memekik histeris dengan bulatan mata lebar, "Busseeet... kalau nggak suka, kok mau ke sini, Mbak? Setia amet sama Bang Agaz." Pria ini mengerling nakal ke belakang. Matanya menatapku, kemudian menatap Agaz bergantian.
Aku hanya menanggapinya dengan senyum tipis. Sedikit kurang tertarik dengan gerlingan menggodanya menanggapi hubunganku dengan Agaz.
"Pacar loe beneran, Gaz?" Pria tambun ini kembali bertanya dengan pertanyaan yang sama.
"Bukan. Cuma teman." jawab Agaz kalem, menatap pria tambun ini, kemudian menatapku.
"Masa sih?! Cocok banget, padahal. Bilang aja loe lagi proses pdkt. Gue dukung. Kalau kawin sama dia, siap-siap uangnya habis buat beli rakitan gundam, ya, mbak." Celetuk pria gemuk ini dengan gerlingan nakal ke arah kami berdua.
Tanpa mengindahkan kalimatnya, aku menatapnya, menangkap kedua bola mata itu untuk tidak bergerak ke mana-mana. Tatapan kami terpatri sejenak. Entah apa yang terjadi, aku menguarkan kekecewaaan dari mataku karena kalimatnya barusan. Dia terlihat menghirup nafas, menarik tatapannya dari tatapanku dengan begitu susah payah. Aku bisa melihatnya begitu jelas di mataku.
"By the way, berapaan gundam perfect grade gue, Nok?" Agaz seakan keluar dengan cara ini, mengalihkan topik pembicaraan pada suatu hal yang tak kumengerti.
"5 juta ajalah buat loe. Hanya untuk temen gue yang gila banget sama gundam. Dan untuk calonnya yang cantik banget ini." Pria gemuk ini mengkedip ke arahku.
"Aku kirim sekarang ya uang transfernya. Sama 'kan nomer rekeningnya?" Agaz seakan tidak memedulikan ledekan dari pria gemuk ini.
Pria tambun itu mengangguk. Agaz mengambil Hpnya. Tangannya bergerak-gerak di atas layar ponsel. Aku melihatnya, bahkan saat dia beranjak untuk mengambil pesanannya. Di tangan kanannya nampak kotak besar berwarna putih tengah ia tenteng kembali ke arah kami.
"Aku cabut dulu, ya?" Agaz Pamit. Pria tambun itu mengangguk, kemudian menyalamiku setelah menyalami Agaz. Aku masih memperhatikan tangannya yang menenteng kotak putih besar dengan susah payah.
"Itu gundam? Besar banget ya kotaknya?" Aku bertanya dengan penasaran, melirik bungkusan di tangannya.
Agaz menatap bungkusan kotak putihnya, "Ini belum dirakit. Nanti setelah ini, gue rakit." jawab Agaz, masih berjalan mengiringiku.
Aku mengangguk lagi. "Dirakit?? Bukan barang jadi kayak tadi?"
Agaz menggeleng.
"Ini yang kamu bawa paling gede?"
Agaz menelengkan kepalanya ke arahku. Dia menghentikan langkahnya. Aku ikut menghentikan langkahku, mensejajarkan posisiku dengannya. "Nggak sih. Masih ada yang lebih besar. Namanya Mega grade. Yang itu, yang di belakangmu." Dia mengarahkan pandanganku beralih ke belakang, menangkap jejeran gundam yang ada di etalase. "dan itu, yang aku beli ada di atas Mega Grade, yang warna putih, namanya gundam Unicorn RX 0, masuk ke perfect grade. Ada banyak macam tipe Gundam. Dari yang kecil, yang first grade sampai yang mega grade." lanjutnya begitu menggebu menjelaskan beberapa deretan robot-robot yang berjejer di dalam etalase kaca.
Senyum sumringah terbit di wajahku. Entah karena apa, tapi saat melihat Agaz menjelaskan kesukaannya dengan raut yang menggebu-gebu, aku merasa seperti berada dalam kebanggaan yang ikut menggebu sepertinya.
Aku memalingkan wajahku lagi. "Itu berapaan?"
"Paling kecil itu 300 ribu." jawab Agaz mengarahkan telunjuknya ke jajaran gundam di dalam etalase bagian bawah.
Aku melihat action figure yang kecil, seperti gantungan kunci. Bahkan lebih kecil dari gantungan kunci. Seketika, aku membulatkan mataku begitu terkejutnya mendengar kalimatnya, "Segitu 300ribu? Di pasar banyak. Malah murah. Udah jadi lagi." Aku berasumsi dengan nada cukup keras, menarik kawanan pemburu Gundam melirik sinis ke arahku.
Aku lupa dimana aku sekarang.
Agaz tersenyum. Dia tiba-tiba mengulurkan bungkus kotak yang dapat kuyakini di dalam terdapat rakitan Gundam. "Aku ajarin gimana menariknya merakit benda ini. "
Tanganku ditarik menjauh dari kerumunan orang. Dia menuntunku kembali ke parkiran mobilnya. Dia menyuruhku duduk di belakang kemudi. Dia juga ikut duduk di sampingku. Aku memiringkan tubuhku ke arahnya. Dia dengan pelan membuka bungkusan putih. Aku memperhatikan seksama bungkusan itu. Ada hologram yang tercetak di sana, mengukir bentuk Gundam berwarna putih dengan tambahan emas di sayapnya. Aku mengamati Agaz yang mengeluarkan satu per satu bungkusan.
"Ini apa? Kamu beli 5 juta hanya buat benda perintilan kayak gini?" Aku bertanya setengah memekik keheranan. Aku mengambil salah satu benda di dalam kota yang berwarna hitam. Membolak-balik seakan tengah membaca buku. Namun, sama sekali tidak kutemukan keistimewaan dari perintilan ini.
"Itu bagian kakinya, yang ini bagian tangan. Tubuhnya ini, senjatanya ini. Ada juga bagian sayapnya. Memang dipisah. Namanya juga rakitan. Nanti kalau udah dirakit, kamu juga bilang ini keren." jelas Agaz tersenyum simpul kepadaku
Berbeda denganku, yang masih tetap menampakkan wajah yang sama. Bingung sendiri apa enaknya merakit hal seperti ini, padahal dia bisa beli jadi.
"Kamu kok suka hal yang ribet-ribet sih?" komentarku dengan mengembalikan bungkusan di tanganku kembali ke dalam kotak bungkus Gundam.
Agaz mengulum senyum. Dia membereskan perintilan itu kembali ke dalam kotak. "Gundam itu gagah, Echa. Alasan aku menyukainya karena membuat gundam punya langkah-langkah yang mirip dengan hidup. Merakit nggak semudah dilihat, nggak sengawur imajinasi. Hidup orang nggak semudah dilihat, nggak sengawur bayangan manusia. Ada step by stepnya. "
"Iya, beda dong. Gundam itu mainan. Hidup itu nyata. Sejak kapan hidup disamakan dengan mainan?" Aku kembali berasumsi, menimpali pendapatnya yang tidak kusetujui.
"That's your assumption. Aku hargai itu. Gundam itu hal yang aku sukai. Sama kayak kamu menyukai make up. Aku apresiasi. Begitu hebatnya kalian mengenali segala macam warna. Lalu, apa salahnya? Seseorang punya kegemaran masing-masing." Agaz menghentikan laju kalimatnya.
Jakarta memang sedang dilanda hujan baru-baru ini. Bunyi dentaman keras dari badan mobil dengan hujan beradu menjadi pandamping irama kebisuan kami berdua. Wajah Agaz terhalangi silau lampu dari temaram lampu jalan. Namun dengan mudah, aku mengetahui raut wajahnya itu. Ada gurata kekecewaan yang tergores jelas dari wajah yang setengahnya tidak terpantul oleh bayangan lampu.
"... Bahkan kamu memiliki kegemaran yang sama seperti dulu, Echa."
Aku sadar, kata panggilan Agaz kepadaku berubah dalam sekejap. Tidak ada loe dan gue, hanya ada kata aku dan kamu.
Hujan di luar mobil membentur kaca mobilnya. Suara petir di luar sana menggelegar nyaring, mendengung di antara dinding-dinding mobil. Dengan sekali tarikan nafas, aku berkata, "Kamu salah. Aku memiliki kegemaran baru, Gaz."
Setan darimana menarikku melakukan hal seperti ini.
Dari temaram lampu jalan yang menyorot wajahnya, aku bergerak ke depan. Menggeser bungkusan gundam itu jatuh ke bawah mobil. Agaz menundukkan kepalanya, ingin meraih gundam miliknya yang jatuh mengenaskan. Namun dengan cepat, aku mendorong tubuhnya, membentur dinding pintu mobil. Tidak membiarkan gundam meraih segala perhatiannya.
Satu kecupan mendarat di antara guyuran hujan yang beradu menampar badan mobil. Bunyi yang nyaring dan berisik. Ada suara yang berisik menemani hujan. Aku. Aku mampu membuat suara berisik mengalahkan derasnya hujan di malam ini. Suara yang mengundang kenikmatan. Suara yang harusnya tidak kumulai terlebih dulu.
Hanya aku yang memulainya. Dan hanya dia yang mengakhirinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top