Bab 1 - Meet The past
Agak diperbaiki. Tapi alur sama. Lebih sedikit juga sih.
If you want to read this, i am okay.
if you want to vote, i am grateful.
If you want to read, vote and comment, i am truly blessed, readers...
Medusa's Daughter
🐍🐍🐍
Jangan diungkit. Takut-takut, kamu malah kembali terungkit. Lalu biarlah berlalu, tapi jangan disengajakan berlalu tanpa diingat. Memang agak rumit. Serumit mantan yang tiba-tiba datang.
Seorang wanita dengan seorang pria sedang duduk saling berhadapan, saling pandang dan saling menebar senyum. Tiga perempuan tengah mengisi tiga kursi di tengah-tengah ruangan itu tergelak setelah salah satu di antara mereka menunjukkan ponsel genggamnya. Seorang pria kemudian melangkah masuk, mengambil tempat duduk paling ujung, berhadapan dengan tiga orang perempuan itu. Dia melempar tatapan ke seluruh penjuru lalu merentangkan salah satu tangannya. Akhirnya, gelagat pria ini terbaca oleh sosok pria bertubuh tinggi dan ceking yang telah melangkah ke arahnya dan tersenyum sembari mengulurkan buku besar kepadanya.
Pria bertubuh ceking itu kemudian melangkah menjauh setelah usai dengan tanya-jawab tentang apa yang ingin dia ketahui mengenai isi dari buku besar itu. Dia mengalihkan tatapannya ke ponsel sejak tadi dia genggam, seperti tiga perempuan tadi, dan seperti sepasang pria dan wanita telah sibuk menatap ponsel masing-masing. Senyumnya tiba-tiba mengembang dan jemarinya mulai mengetuk-ngetuk layar ponsel begitu cepat.
"I know you are jomblo. But, seeing a man like that was not you, Honey. Whats wrong, Echa?"
Seruan itu menarikku untuk mengalihkan tatapan dari mereka sebagai pengalihan rasa bosanku. Memutar kepala ke depan, aku melihat perempuan yang sedang menopang dagu di depanku dengan kening yang terlipat dalam, dan melepas pandanganku dari hujan di luar yang masih tetap enggan menyurutkan lebatnya sejak pagi tadi.
"Kejem banget ibu Kota kita." Aku menunjuk pria berkaki menyilang di atas sofa sembari memainkan ponselnya. "I want to be his sofa for him, Nya."
Sebuah tangan besar itu mampir di atas kepalaku, menampik wajahku dengan keras. "Cem mana pula otak kau itu. Sejak kapan kau jadi wanita dibayar rendah karena tampang?"
Aku membeliakkan kedua bola mataku, memberi balasan protes akan tangan besar Pak Bos yang tadi mampir di kepalaku, membuat kepalaku berdenyut nyeri. "Pak Bos kira-kira dong. Dikira kepala gue sarung tinju. Seenak banget naruh tangan!"
Tawa tergelak itu menggema, menarikku dan pria yang sempat menjadi objek fantasi liar dari otakku memusatkan perhatian pada pemilik suara ini, suara sumbang pemilik wanita yang memiliki peran sebagai sahabatku. Anya tergelak dengan mulut menganga lebar. Suaranya bahkan mengalahkan alunan musik dan iringan kasak-kusuk dari pengunjung restoran.
"Sorry, sorry." ujarnya kemudian, mengurangi oktaf nada suaranya. Tangan bebasnya menutup mulut, lalu tersenyum canggung ke sekitar pengunjung kala siang ini. "Kalian berdua yang bikin gue kayak perempuan kurang manner." Anya kemudian beralasan, mengarah membela diri dengan menyalahkanku dan Pak Bos.
Kami berdua memilih tidak menyahutinya, tidak berkeinginan untuk melanjutkan kecanggungan situasi siang ini. Pak Bos pun sibuk mengunyah makanan yang baru saja sampai di depannya, Anya justru lebih asik bermain dengan ponselnya, melupakan kejadian semenit lalu, dan aku yang masih menatap pria yang duduk tak jauh dari kami.
"Echa!" panggil Anya dengan menjentikkan jemarinya di belakangku.
Kembali lagi, aku menarik tatapanku mengarah pada Anya, yang tengah mengerutkan keningnya begitu dalam, begitu pula dengan pria tambun ini, nampak mengerutkan keningnya dengan mulut mengunyah penuh makanan.
"Suka banget sih loe ngelamun ke belakang? Dia cuma sepersekian persen dari cowok ganteng yang sering loe temui. Jangan kelihatan hopeless gitu dong, sweatheart."
"I just thought that man has something. Karena mata gue dari tadi nggak mau lepas dari dia." Aku berbisik, mencondongkan tubuhku ke mereka berdua. Sesekali melirik pria itu yang masih enggan melepas tatapan dari ponselnya.
Pak Bos mengangkat bahunya. Matanya terarah ke belakang tubuhnya. "Tampang dia ganteng. Tapi, nggak sampai bikin kau tebalik itu kepala cem gitu."
Aku menarik nafas, melipat kedua tanganku. "Gini. Gue kayak ngerasa dia itu—"
Keningku mengerut sejenak. Kalimatku mengalami jeda cukup lama. Kedua bola mataku berjalan ke sekeliling, tetapi kaku menggerakan tubuh. Jemariku yang tadi berada di atas meja, beralih untuk mengetuk-ngetuk meja dengan berisik.
"Lama banget loe?"
Aku menelengkan kepalaku ke belakang. Wajah pria yang menjadi objek fantasiku tertutupi oleh dua orang. Satu wanita dan satu pria. Mataku memicing, menegaskan pandangan pada punggung tegap di sebelah wanita itu. Pria itu seperti seseorang dengan kepemilikan seribu ratus kisah bersanding di kisahku. Namun, aku menyegerakan pikiranku menepisnya.
Aku menarik nafas panjang, membiarkan satu buliran keringat yang tidak kuketahui sebabnya meluncur dari pelipis, jatuh ke telapak tanganku. Kembali aku menarik tubuhku ke depan, menerka-nerka untuk menebak pemilik punggung itu. Berkomat-kamit agar apa yang kupikirkan tidak dijadikan ke dunia nyataku.
"Sorry, gue jumatan dulu, Bro." Suara itu menjadi awal petunjuk untuk membuka terkaanku. Almost, i got the point. "Eh Ren, kenalin ini Rulli." Lagi-lagi dia menjadi satu-satunya suara yang hanya tertangkap jelas di kedua telingaku.
"Gue Rulli. Loe, Rena, 'kan?"
"Iya. Loe temannya, Agaz, bukan?"
Good! This why I called something will be happened in 'Thanks god is not free' day.
Seharusnya, aku tidak sebegitu penasarannya. Tidak membuat seluruh tubuhku berfungsi untuk terfokus pada suara pria ini. Aku menoleh ke kiri. Tubuh belum seluruhnya membalik, dan karena merasa kurang puas, telingaku masih menyadap perbincangan mereka dengan punggung merapat ke sandaran kursi.
"Duduk. Gue udah pesenin makanan buat kalian." Suara yang bukan miliknya menyahut. Tidak ada perbincangan antara dua pria, tetapi satu pria dengan satu wanita. Tentu, itu bukan dia. Bukan seorang pria yang telah menyita seluruh perhatianku.
"Eh, Gaz. Gimana?" Pria itu mengganti arah tujuan pertanyaan pada seseorang, yang kuyakini itu adalah dia. "loe jadi serius 'kan sama dia?"
Keinginanku mendengarkan seluruh perbincangan mereka, terhambat oleh suara seseorang dari belakang, suara berisik seorang wanita yang membicarakan swafoto mereka. Karena hal itu membuat tubuhku semakin menukik ke belakang dengan kaki yang tak sadar telah berjengkit dari lantai, untuk menangkap kata per kata dari orang di belakangku.
"Cha, Echa." Kedua mataku beralih setelah mendengar suara panggilan namaku menyahut. Pak Bos menatapku dengan kedua bola besar bergerak ke atas dan ke bawah. Karena aku belum bisa menangkap maksudnya, telunjuk bebasku memilih berada di atas bibirku, bermaksud mengecamnya agar diam. Tanpa kusangka, panggilan dari Pak Bos tadi, bermakna penting untuk kelangsungan hidupku.
Dan dalam hitungan beberapa detik, tanganku yang tadi di mulut justru membuat peringatan itu benar-benar terjadi pada diriku, menggerakkan akibat dari sebab yang kubuat. Sekejap, Single sofa yang kududuki tadi, telah terjatuh ke belakang. Kakiku telah terjulur ke atas dengan punggung merapat di sandaran kursi yang telah tergeletak di atas lantai. Beruntungnya, sofa yang kududuki memiliki punggung empuk untuk melindungi kepalaku. Walaupun jantungku lumayan dikejutkan.
Namun, keberuntungan itu berakhir sia-sia, saat aku menengadah ke atas, bukan langit-langit restoran yang aku lihat, melainkan tiga wajah pria dengan kerutan di kening mereka satu per satu. Aku menelan ludahku kelu, menepatkan kedua mataku ke arahnya, ke arah petunjuk akhir dari terkaan yang tadi sempat kupikirkan.
Memang benar. Rencana tuhan sedang berlangsung di antara hari yang selalu kusebut TGIF menjadi TGINF. Not menelusup di antara terima kasihku kepada tuhan diberikan di hari free, yang jelas-jelas, I am not free day at all cause of this man.
Aku mengalihkan tatapanku, mencari bala bantuan, menuju pria botak bertubuh tambun di sampingnya. Merespons cepat, Pak Bos menarik tubuhku dari sofa, membantuku untuk berdiri. Sekejap, suasana restoran menjadi senyap, tidak ada suara dentingan garpu, pisau dan sendok yang beradu dengan piring. Tidak ada kasak-kusuk seperti tadi, atau suara seorang pelayan yang berteriak mengatakan nama pembeli. Semua orang di dalam restoran ini terpaku pada satu orang, kepada wanita yang sedetik lalu baru saja jatuh dari sofa.
Kepadaku.
Hell!
"Mbak nggak apa-apa?" Seorang wanita bertanya terlebih dulu, lalu memberiku minuman.
Aku menggangguk, menutup wajahku dengan helaian rambut pendek.
"Hati-hati, Mbak." Wanita ini memberiku nasehat, dengan seulas senyum manis. Suara senyap itu lambat laun melenyap, berganti lagi dengan dentingan peralatan makan dan suara-suara bisik dari pengunjung.
Aku mengangguk lagi. Mataku kemudian mencari dua mata coklat itu, yang memiliki lesung pipi di wajahnya, dan pemilik nama yang selalu menjadikanku antisipasi. Pria itu masih di sana, berdiri dengan kening mengkerut, dan tangan bersendekap di dada.
Pria itu tiba-tiba memajukkan langkahnya, seakan bertujuan menepis jarak kami berdua. Tujuannya justru membuatku sesegera memesang antisipasi, takut-takut dia akan berbuat hal yang aneh, berbuat sesuatu sebagai balasan angkara murka dirinya terhadapku saat dulu.
Dia memberi satu jengkal langkah antara aku dengan dirinya. Lalu berkata, "Lain kali, kalau loe mau nguping, jangan sampai ketahuan. Jatuh pula" Dia mengulum senyum sinikal kepadaku.
Aku membeliakkan kedua mataku, menganga lebar dengan kalimat yang barusan dia katakan. Belum sempat aku memprotes, pria ini kembali menyela. "Loe bisa 'kan untuk minta maaf?"
Untuk apa?
Untuk yang lalu?
###
If you want to read this, i am okay.
if you want to vote, i am grateful.
If you want to read, vote and comment, i am truly blessed, readers...
Medusa's Daughter
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top