SATU
Hallooowww ....
Emak dateng lagi bawa judul baru.
Q: Judul yang lama gimana ceritanya, Mak?
A: (Sembunyi kolong kasur)
Pokoke, ini dulu Emak selesain yak, demi lulus Project Nulis Bareng Penerbit Primrose Media ....
Jangan lupa:
1. Follow akun Emak
2. Like dulu sebelum baca
3. Koment banyak-banyak
"Ma ... baju yang Bella beli kemarin di mana, ya?"
Aku membuka pagi ini ala novel-novel yang bertebaran di toko buku. Penuh drama sebelum berangkat kuliah. Benar-benar nggak kreatif, tapi memang seperti inilah kebiasaanku setiap hari.
Bukan dengan sapaan selamat pagi atau ucapan manis lainnya, melainkan dengan suara sopran tiga oktaf yang bisa membuat orang serumah bangun. Mungkin bagi yang belum mengenalku, bakal berpikir kalau aku nggak punya tata krama, tapi beda cerita dengan penghuni rumah ini. Mereka sudah hafal dengan tabiatku. Semisal sehari saja nggak terdengar suara cemprengku, mereka bakal mikir kalau aku sakit.
"Coba cari lagi di lemari, Bel. Paling juga keselip," jawab Mama sambil tetap menata ikan goreng di piring saji.
"Nggak ada, Mam. Serius, deh. Itu, lho, baju yang Bella beli bareng Cristal di Anggrek, yang warnanya biru langit, ada motif crown."
"Di lemari nomor dua, Bella. Cari lagi sana. Kemarin sudah disetrika sama Mbok Siti."
Lemari bajuku ada lima bagian, dan sama Mama dikasih nomor untuk masing-masing pintu. Katanya biar gampang untuk mengelompokkan jenis dan model pakaian. Mungkin buat Mama dan Mbok Siti, hal itu mempermudah pekerjaan mereka. Namun, buatku sama saja. Nggak ada pengaruh dikasih nomor atau nggak, karena aku masih saja susah mencari baju yang kuinginkan. Seandainya ada kantong Doraemon, aku pengin minta alat yang bisa menunjukkan barang cuma dengan menyebut namanya.
"Udah Bella cari, tapi nggak ada. Kalau Mama nggak percaya, ayo lihat sendiri." Kutarik paksa tangan Yang Mulia Ratu Dinar Prameswari untuk mengikutiku ke kamar.
"Yaelah, Bel, modus banget sih lo. Bilang aja nyuruh Mama buat nyariin. Jangan mau, Ma. Udah gede kok manjanya belum luntur juga." Bang Caesar tiba-tiba muncul dari dalam kamarnya yang bersebelahan dengan kamarku.
"Resek banget sih, Abang." Kupelototi cowok super jahil serumah.
Untung saja Bang Billy baru ikut seleksi kerja di luar kota, jadi nggak ada yang nambah-nambahin jahilnya Bang Caesar. Kadang aku heran, punya empat kakak cowok bukannya dimanja, tapi yang ada malah dijahatin melulu. Bang Alvin, sih, sudah agak mending karena sekarang sudah kerja. Dia jauh lebih dewasa, kadang jadi penengah antara aku dan kedua cowok itu.
Di rumah ini, penghargaan tukang cari ribut diraih oleh Bang Billy dan Bang Caesar. Namun, kata mereka seharusnya aku yang dapat predikat itu. Aneh. Padahal mereka itu kalau kumpul berdua pasti berantem. Nggak mungkin sepi. Pasti ada saja tingkah usil mereka. Mungkin karena jarak umurnya cuma setahun, jadi apa pun bisa jadi alasan untuk ribut.
Nah, tapi kalau ada aku di antara mereka, bisa dipastikan aku yang jadi sasaran bulan-bulanan. Katanya kalau ada dua orang, yang ke tiga adalah setan. Terus maksudnya aku—yang super cantik, seksi, dan mempesona—ini setan gitu? Nyebelin banget 'kan kelakuan mereka, bikin aku mengelus dada.
Dibanding kedua kakakku itu, malah lebih kalem Bang Daffa yang notabene paling bontot di antara mereka. Bisa dibilang Bang Daffa adalah malaikat penyelamat. Walau orangnya lempeng, kayak jemuran kering, tapi nggak suka gangguin dan lebih perhatian ke aku.
"Astaga, Isabella Ratu Felizha! Ini kamar apa kandang ayam? Berantakan banget," jerit Mama begitu masuk ke ... kandangku.
Aku cuma bisa meringis, melihat Mama menjumputi baju yang berserakan di lantai dan tempat tidur. "Bella nyari baju nggak ketemu, Ma."
"Pantesan udah sembilan belas tapi masih jomlo, kelakuan kayak bayi gini," sahut Bang Caesar yang kini sudah berada di ambang pintu kamarku.
"Nggak ada hubungannya kali, Bang. Lagian sok ngatain Bella jomlo, sendirinya juga nggak laku," gerutuku.
"Weits, Abang bukannya nggak laku, tapi pemilih. Banyak noh cewek yang antri untuk jadi pacar Abang."
"Iya, banyak, tapi sebangsa Meri semua." Sengaja kusebut nama cowok—iya, Meri itu cowok, tapi lebih cewek ketimbang aku—yang sedari kecil selalu mengejar-ngejar Bang Caesar.
"Amit-amit!" Bang Caesar mencak-mencak.
"Kalian ini kebiasaan, pagi-pagi selalu ribut." Mama sekarang menginvasi lemariku yang nggak jauh beda dengan gudang. "Bella, berapa kali Mama harus bilang, kalau ngambil baju itu dari atas. Kalau mau ambil yang bawah, angkat dulu atasnya. Bukan dibalik kayak gini!" omelnya.
"Ya, maaf, Ma. Tuh 'kan bajunya nggak ada."
"Ini apa?" Mama mengangsurkan secarik kain berwarna biru yang bentuknya sudah mirip gombal.
"Kok kusut?"
"Gimana nggak kumal, bajunya kamu berantakin kayak 'gini. Ini nggak ada yang bisa kamu pakai, Bel. Kasihan Mbok Siti sama Mbak Ndari harus setrika baju segini banyaknya lagi."
"Nanti Bella yang ngerapiin deh, Ma." Aku merasa bersalah juga. Nggak kepikiran kalau ulahku bikin repot orang lain.
"Nantimu itu artinya nggak akan pernah, Bel," sahut Bang Caesar.
"Abang mulai ngajak berantem lagi tuh, Ma," rengekku sambil bergelayut manja di lengan Mama.
"Bel, kamu bareng Bang Daffa nggak? Udah jam tujuh kurang. Kalo kamu dianter Pak No, pasti telat," ucap Bang Daffa yang sudah berdiri di depan kamarku, lengkap dengan ranselnya.
Mataku melotot sempurna. "Nggak mungkin! Perasaan tadi masih jam enam lebih."
Namun, jarum jam di dinding sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit. Sejam lagi kelas manajemen keuangan dimulai, dan aku masih belum siap.
"Iya, jam enam lebih ... lebih lima puluh lima menit," sahut Bang Daffa kalem.
"Kenapa Mama nggak bilang, sih? Bella telat nih. Padahal pagi ini kelasnya Bu Reva, kalau telat sedetik aja nggak boleh masuk. Gimana ini, Ma?" Aku bingung. Sumpah.
Aku belum mandi, belum keramas, belum dandan, belum nyiapin baju yang cocok sama tas dan sepatu, belum tahu mau pakai hiasan rambut yang mana, belum milih aksesoris lainnya, belum tahu parfum apa yang cocok sama hari ini. Serius, mana bisa dalam sejam aku sampai di kampus.
"Woi, kenapa jadi Mama yang lo salahin, Bocah? Lo sendiri yang lama."
"Caesar ... jangan godain adeknya terus. Bella, cepet mandi. Biar Mama siapin baju sama yang lainnya."
"Tapi udah jam segini, Maaa," rengekku.
"Daripada lo ngerengek gaje, mending lo siap-siap. Itu Mama udah baik hati mau bantuin lo. Ya, tapi terserah lo juga, mau tetep masuk atau bolos."
"Bang Caesar keluar aja gih! Omelan Abang bikin Bella tambah bingung."
Terdengar embusan nafas panjang dari Bang Daffa. "Daripada kamu ngamuk nggak jelas, mendingan sekarang mandi. Masih bisa Abang kejarin biar nggak terlambat."
Senyum semringah langsung kuhadiahkan pada Bang Daffa. "Abang memang the best!" Kuacungkan kedua jempol. Nggak apa-apa deh naik motor.
"Sepuluh menit. Abang tunggu di bawah."
Aku mengerjap berulang-ulang dengan mulut ternganga lebar. Apa maksudnya sepuluh menit tadi? Nggak mungkin 'kan Bang Daffa cuma ngasih aku waktu segitu untuk siap-siap?
"Buruan, Bella! Lo mau telat lagi? Lo udah buang semenit lebih untuk ngalamun nggak jelas."
Ucapan Bang Caesar menabokku dengan keras. "Mamaaa ... Bella telat!"
.
.
.
.
.
Nafasku tinggal seperempat saat tiba di lantai lima. Hari ini benar-benar apes, setelah mandi—entah apa sebutannya jika aku cuma membasahi badan ala kadarnya tanpa ritual luluran dan lain-lain—aku terpaksa membonceng Bang Daffa yang bawa motor kayak orang kesetanan. Bayangin, Kemang-Grogol cuma butuh dua puluh menit. Itu motor sudah kayak iklan yang di TV, wus wus wus. Serius. Nggak peduli motor, mobil bahkan pedagang asongan pun disalip gila-gilaan. Entah sudah berapa kali aku teriak ketakutan, dan yakinlah pinggang Bang Daffa pasti penuh luka bekas cakaranku.
Biasanya aku kuliah diantar jemput Pak No, tapi karena hampir telat, akhirnya aku nekat naik motor. Bukan karena takut hitam, tapi aku punya alergi debu. Sejak dari rumah sampai kampus, sudah nggak terhitung berapa kali aku bersin. Bahkan sampai sekarang pun masih belum reda. Bang Daffa sempat mengusulkan untuk ijin nggak masuk kelas, tapi aku menolak. Sudah terlanjur sampai kampus juga 'kan.
Gara-gara naik motor, rambutku juga jadi awut-awutan. Belum lagi baju hari ini nggak ada cocok-cocoknya sama tas dan sepatu. Mana pernah seorang Princess Bella pakai atasan putih, celana khaki, tas hijau dan sepatu putih. Benar-benar bukan gayaku banget. Nggak berwarna. Aku pun belum sempat merias wajah. Entah seperti apa tampangku sekarang.
Sampai kampus, ternyata lift sedang diperbaiki. Terpaksa aku naik lewat tangga. Lima lantai kutempuh dalam waktu kurang dari lima menit. Betisku rasanya mau meletus.
Kalau nggak ingat se-killer apa Bu Reva, aku lebih milih bolos kuliah. Padahal dosen lain masih ada toleransi untuk absensi maksimal empat kali. Lha, Bu Reva, aku baru nggak masuk dua kali sudah dapat peringatan. Kalau hari ini aku nekat bolos atau telat, bisa-bisa nilaiku dapat E. Padahal aku beneran harus lulus di matkul manajemen keuangan I, biar semester depan aku bisa langsung ambil ManKeu II.
Aku baru mau bernafas lega, tapi netraku keburu menangkap sosok Bu Reva yang berjalan enam langkah di depan. Dia sedang menuju ruang kelas. Ini sih aku harus lari sprint biar bisa mengejar dosen killer itu. Aku harus bisa masuk kelas sebelum Bu Reva.
"Pagi, Bu," sapaku kilat saat mensejajari langkah Bu Reva.
"Telat lagi, Bel?" Kulihat Miss Killer geleng-geleng.
Pertanyaan retoris. Sudah tahu 'kan aku hampir telat, masih saja tanya. "Belum telat, Bu, masih kurang dua menit. Bella, duluan, ya, Bu."
Perjuanganku belum berakhir, karena aku masih harus berebut kursi belakang. Mana tahan kalau harus duduk di depan. Aku nggak mungkin bisa nge-ghibah bareng Cristal dan Belva. Semoga saja kedua sahabatku dari SMA itu sudah mencarikan tempat duduk.
Begitu kaki menginjak ruang kelas, kuedarkan pandang mencari Cristal. Namun, bukan gadis berkulit putih yang kutemukan, netraku malah menangkap sosok lelaki berkemeja kotak-kotak hijau. Dia duduk di pojok depan, sedang menunduk memainkan ponsel.
"Pagi, Bella. Tambah cantik aja."
Rayuan nggak jelas Dimas, kubalas dengan bersin. "Sorry, alergi gue kumat."
"Bel!"
Kucari asal suara Cristal. Rambut merahnya menyapa dari barisan kursi paling belakang.
"Wiiih, Princess Bella berubah jadi upik abu," hina Cristal begitu aku berdiri di depannya.
"Ini tempat duduk gue 'kan?" tunjukku pada bangku kosong di sebelah kiri Cristal. Sengaja nggak kutanggapi ocehannya. Nafasku masih ngos-ngosan, ditambah bersinku yang masih berlanjut.
"Ngapa lo, Bel? Tumben alergi lo kumat," tanya Belva yang duduk di sebelah kiriku.
"Gue telat," jawabku singkat di tengah serangan bersin, sambil mengeluarkan buku catatan dan pulpen dari tas.
"Gue juga tahu kalau lo telat, Bel. Maksudnya, kenapa lo bisa telat?" tambah Belva.
"Nggak ngerti. Tahu-tahu aja udah jam tujuh, dan gue belum mandi. Akhirnya gue ke kampus naik motor bareng Bang Daffa."
"Halah, palingan semalem lo ngedrakor 'mpe subuh 'kan?" sambar Cristal.
"Enak aja, jam dua gue udah matiin laptop." Aku nggak bilang kalau setelah itu melanjutkan nonton di handphone sampai subuh.
"BeTeWe, lo udah ngerjain tugas dari Bu Reva 'kan?" tanya Belva tepat di saat Miss Killer menyapa kami dari depan kelas.
Cilaka! Aku lupa.
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top