5. Sebelum Memiliki Seutuhnya

Part 5 Sebelum Memiliki Seutuhnya

Rachel yang baru saja menanggalkan pakaiannya tersentak kaget oleh pintu kamar yang tiba-tiba terbuka. Menoleh ke belakang dan melihat Reagan yang melangkah masuk dengan santai. Seketika merutuki dirinya karena tidak mengunci pintu kamar mandi.

Ya, ini pertama kalinya ia berada di dalam kamar dengan seorang pria. Tentu saja Rachel tak terbiasa mengunci pintu kamar mandi.

“Apa yang kau lakukan, Reagan? Aku belum selesai.”

Pandangan Reagan bergerak turun. Pada gaun yang digunakan Rachel untuk menutupi dada wanita itu. “Kau belum selesai?” Reagan melepaskan pengait kancingnya. Membuang kemeja putihnya ke lantai yang membuat Rachel beringsut mundur. “Kalau begitu kita bisa melakukannya bersama-sama, kan?”

Rachel menelan kegugupannya. Ia tahu pada akhirnya hal semacam ini akan terjadi di antara mereka. Pada malam ini. Meski sejak tadi pagi ia sudah berusaha menetralisir kegugupannya, tetap saja kegugupan tersebut masih begitu sulit untuk dihadapi.

Langkah Reagan semakin dekat. Tak melepaskan tatapannya dari Rachel. “Kau tahu apa yang akan kita lakukan, kan?”

Rachel tersentak pelan ketika punggungnya menyentuh pintu kaca. Napasnya tertahan dengan jarak mereka yang semakin menipis. “A-aku belum siap,” lirihnya dengan suara bergetar hebat. Matanya mengerjap beberapa kali, menatap tubuh Reagan yang sudah setengah telanjang.

“Cepat atau lambat kau juga harus siap.” Reagan berhenti, tepat di depan Rachel. Tangannya memaku di samping kepala Rachel dan tangannya yang lain menangkap pinggang wanita itu. Menggeser pintu kaca ke samping dan mendorong tubuh sang istri masuk ke dalam bilik shower.

Ya, mereka sudah menikah. Rachel Bellamy, sekarang sudah menjadi istrinya dan ia bisa melakukan apa pun pada wanita muda itu. Pada tubuh wanita itu yang sudah sepenuhnya menjadi miliknya.

Wajah Rachel memanas dengan wajah Reagan yang semakin dekat dan tubuh mereka yang semakin merapat. Membiarkan kedua bibir mereka saling menempel.

Reagan menyapukan bibirnya di bibir Rachel, yang mematung dengan seluruh tubuh menegang.

Kedua tangan Rachel mendorong dada Reagan menjauh. Sebelum pagutan tersebut tak bisa dihentikan, seperti yang dilakukan oleh Reagan tadi siang. Jika saja pria itu tak ingat keduanya tengah menjadi tontonan para tamu undangan, ia yakin Reagan akan terus mencumbunya hingga ia benar-benar kehabisan napas.

“Ada apa?”

“Aku ingin bicara.”

“Tentang?”

“Pernikahan ini.”

“Kita sudah menikah. Apalagi yang perlu dibicarakan? Aku sudah melakukan bagianku, bukankah sekarang giliranmu melakukan tugasmu sebagai seorang istri untukku?”

“Saat kita melakukan tes kesuburan di rumah sakit.”

Ekspresi wajah Reagan seketika membeku. Matanya menyipit dengan ketajaman yang semakin pekat.

“Aku tak bermaksud ikut campur.” Rachel cepat-cepat menambahkan. “Tapi jika dia mengandung anakmu, kenapa kau tetap menikah denganku?”

Reagan tak langsung menjawab. Mengamati raut Rachel lebih dalam. “Anak yang dikandungnya tak mungkin milikku.”

Mata Rachel melebar. Menyangsikan jawaban yang diberikan oleh Reagan. Jika anak itu bukan anak Reagan, tak mungkin wanita itu …

“Dia bahkan tak tahu apa yang dikatakannya. Percaya padaku.”

Rachel masih meragukan jawaban tersebut.

“Aku tak pernah meniduri kekasihku dengan cara sembrono seperti itu.”

Kerutan membentuk di antara kedua alis Rachel.

“Aku bukan pria yang tak bertanggung jawab. Dan aku tak suka dibuat repot untuk hal yang tidak penting seperti anak di luar nikah. Bagiku, memastikan anakku sebagai penerus yang terlahir dalam sebuah pernikahan yang sah adalah perlindungan terbaik yang bisa kuberikan untuk buah hatiku.”

“Termasuk jika dia harus lahir dari wanita yang tidak kau cintai?”

“Apa kau membutuhkan cinta?”

Rachel menggeleng. “Aku hanya bertanya.”

“Ya, termasuk jika dia harus lahir dari rahim wanita yang tidak kucintai.”

Kalimat penegasan Reagan sedikit mengusik perasaannya. Tetapi ia segera sadar diri bahwa semua itu tak dibutuhkan. Toh pernikahan mereka memang didasarkan atas kesepakatan hitam di atas putih. Sama sekali tak melibatkan perasaan.

“Apakah itu artinya penerusmu lebih penting dibandingkan wanita yang kau cintai?”

Reagan tak langsung mengangguk.

“Karena wanita yang kau cintai masih mengandung anak pria lain?”

Pertanyaan Rachel kali ini cukup mengena di hati Reagan. Ujung bibir pria itu berkedut tak suka, tetapi kebetulan Rachel yang mendengar pembicaraannya dengan Lania pada saat itu juga bukan sepenuhnya kesalahan sang istri. “Kenapa? Kau berpikir aku akan membuat anak dengannya di belakang pernikahan kita?”

Rachel menggeleng. “Aku hanya berhutang satu anak untukmu, kan? Apa pun yang kau lakukan dengan wanita lain di belakangku, sepertinya semua itu bukan urusanku. Bukan ranahku untuk ikut campur dalam kehidupan pribadimu.”

Reagan terdiam. Rachel dengan terang-terangan memperjelas batasan dalam hubungan mereka. “Oke. Tapi itu tak berlaku untukmu, kan? Kau harus memastikan anak yang kau kandung adalah milikku. Tanpa menciptakan keraguan sedikit pun.”

Rachel mengangguk pelan. Kesenduan melintasi kedua matanya mengingat Davian. Nama yang masih bertahta di dadanya. Pun setelah pengkhianatan pria itu terhadap kisah cinta mereka yang sudah terjalin begitu lama. Hingga Rachel berpikir tak ada kehidupan apa pun selain pria itu sendiri.

Nyatanya, pengkhianatan pria itu membawa dirinya terjebak dalam perjodohannya dengan Reagan. Membuatnya berakhir di bilik shower dengan tubuh setengah telanjang yang tengah menghimpit tubuhnya ke dinding. Saat ini.

“Apakah kau masih patah hati?”

Mata Rachel mengerjap, menurunkan pandangannya ke bawah. “Aku tak akan ikut campur urusan pribadimu. Dan aku akan sangat menghargai jika kau pun melakukan hal yang sama.”

“Baiklah.” Reagan menyeringai. “Apakah sekarang kita bisa melanjutkan?”

Rachel menelan ludahnya. Merasakan tatapan Reagan yang kembali lebih intens. Melucuti setiap lapisan emosi di wajahnya yang sudah kembali semerah kepiting rebus. Dan ya, cepat atau lambat, mereka berdua akan melakukannya. Rachel memang haru menyerahkan diri pada Reagan. Sekarang maupun nanti. Mungkin lebih cepat akan lebih baik. Cukup satu anggukan, Reagan langsung menangkap bibirnya. Membuang gaunnya yang masih berada di antara celah tubuh mereka dan membuangnya ke lantai. Tak membiarkan apa pun memisahkan tubuh mereka yang sudah saling polos. Bahkan sehelai benang pun.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top