2. Calon Suami Pilihan
Part 2
"A-andara?"
Andara mendorong tubuh Davian menjauh, tak kalah tercengangnya dengan Rachel menemukan keberadaan sang sahabat. "R-rachel? Apa yang kau lakukan di sini?"
Rachel kehilangan kata-kata, bukankah ia yang berhak menanyakan pertanyaan itu pada Andara.
"Rachel, ini tidak seperti yang kau bayangkan." Wajah Andara pucat pasi, menjauhkan diri dari Davian. Tapi Davian malah menggenggam tangannya.
"Apa yang kau lakukan, Davian?" Andara memutar tangannya, berusaha melepaskan genggaman Davian.
"Inilah alasan kenapa aku tidak bisa menikahimu, Rachel. Entah sejak kapan, kami berdua menyadari perasaan masing-masing dan kami saling mencintai. Maafkan kami."
Air mata Rachel mengalir tanpa suara. Tubuhnya masih membeku berusaha menelaah apa yang telah terjadi, berkali-kali meyakinkan dirinya sendiri bahwa apa yang dilihatnya tak benar-benar terjadi. Semua hanya mimpi, mimpi buruk seperti yang tadi malam ia dapatkan.
Berkali-kali ia meyakinkan dirinya sendiri, kenyataan berbicara lebih kencang di gendang telinganya. Davian dan Andara benar-benar telah mengkhianatinya. Dan yang lebih tak tertahankan adalah pengakuan Davian sendiri. Pengakuan yang keluar dari mulut pria itu sendiri.
Andara mendelik lebar, menggeleng-gelengkan kepala kebingungan dan menatap Rachel dan Davian bergantian. "Apa yang kau katakan, Davian?"
Rachel dan Davian saling menatap satu sama lain. Rachel dengan tatapan terluka sedangkan Davian dengan tatapan penuh penyesalan. Apakah pria itu meminta maaf karena selama ini telah berkhianat di belakangnya?
"Jangan dengarkan dia, Rachel. Semua itu tidak benar." Andara berusaha menjelaskan. Rachel melangkah mendekati Davian, melayangkan satu tamparan keras di pipi Davian.
Wajah Davian miring, meresapi setiap rasa sakit yang diberikan oleh Rachel sebelum mengangkat kembali wajahnya memandang Rachel. "Apakah ini cukup sebagai permintaan maafku?"
Rachel benar-benar tak sanggup berkata-kata oleh sikap Davian. Hatinya benar-benar hancur dan remuk redam.
"Sekarang, sebanyak kau mencintaiku, maka kau bisa membenciku berkali-kali lipat lebih besar dari yang sanggup aku terima. Aku akan menganggap itu impas untuk kita berdua," lanjut Davian. Yang semakin menghancurkan perasaan Rachel.
"Apa yang kau katakana, Davian?" Andara melotot lebar. Tangannya masih bergoyang berusaha melepaskan genggaman Davian.
Dengan air mata yang berurai, Rachel berlari keluar.
"Rachel, tunggu." Andara memanggil dan hendak mengejar sahabatnya. Tapi tangannya ditahan oleh Davian. "Lepaskan, Davian."
Davian masih bergeming.
"Aku harus menjelaskan semua padanya."
Davian malah semakin kuat menahan lengan Andara.
"Davian, lepaskan aku."
Rachel berlari semakin kencang. Melintasi lorong dengan air mata yang membanjir. Rachel tak punya alasan lagi untuk hidup. Ia merasa jantungnya berhenti berdetak tapi napasnya masih berhembus. Kakinya terasa lelah dan tak bertenaga, tapi masih terus berayun. Berlari sejauh mungkin dari kenyataan, yang terhampar luas di hadapannya sejauh apa pun ia berusaha melarikan diri.
***
Kehilangan arah dan tujuan, dan benar-benar tak tahu harus melangkah ke mana lagi. Langkah kaki Rachel membawanya ke depan gerbang rumah kedua orang tuanya. Saat ia masuk, kedua orang tuanya sudah menunggu di ruang tamu dan Rachel langsung menghambur dalam pelukan sang mama.
Rachel menangis tersedu dalam pelukan mamanya. Sedangkan papanya yang duduk di sofa, hanya mengamati istrinya yang sedang menenangkan putrinya dengan sikap dingin. Akhirnya, Rachel sendiri membuktikan bahwa pria miskin itu tidak bisa diharapkan untuk kebahagiaan putrinya.
"Persiapkan dirimu. Kita akan mengadakan pertemuan dengan keluarga Lee. Secepatnya." Ayahnya bangkit berdiri dan melangkah pergi.
Rachel tak berkata-kata lagi. Mamanya menyeka air matanya dan mengatakan semuanya baik-baik saja. Setelah tangisan Rachel mulai reda dan sedikit lebih tenang, Rachel langsung naik ke kamar. Berbaring di tempat tidur tanpa membersihkan diri. Jatuh tenggelam dalam remahan hatinya yang hancur berkeping-keping.
Selama seminggu penuh, Rachel hanya menghabiskan waktu di dalam kamar. Lebih banyak melamun dan berbaring di tempat tidur. Hingga akhirnya hari pertemuan itu datang. Akhir minggu kedua bulan ini.
Mamanya membelikannya gaun tercantik yang semakin menambah kesempurnaanya sebagai makhluk yang indah dan memesonakan pandangan. Merubah penampilannya dari ujung kepala hingga ujung kaki lebih cantik dari sebelum-sebelumnya.
Tepat jam tujuh, mereka bertiga berangkat menuju salah satu restoran bintang lima yang ada pusat kota. Salah satu dari sekian banyak gedung milik calon suaminya. Rachel tak menanggapi apa pun penjelasan ayahnya tersebut.
Setelah sejenak ketiganya menunggu di ruangan pribadi, akhirnya pria bernama Reagan Lee itu muncul. Seorang diri. Ah, Rachel lupa. Kedua orang tua Reagan Lee sudah meninggal sejak Reagan masih kecil. Itu yang dikatakan oleh mamanya kemarin. Atau beberapa hari yang lalu.
Sejenak Rachel terpana, menatap sosok pria tinggi dan kekar dengan rambut yang disisir belakang. Mengenakan jas berwarna biru gelap yang kebetulan senada dengan gaun malam Rachel. Pria itu memiliki wajah yang ... sempurna tampan. Hanya itu yang bisa Rachel katakan. Berbanding terbalik dengan apa yang selama ini ia pikirkan dari penjelasan mama dan papanya saat menceritakan tentang seorang Reagan Lee.
Reagan langsung menjabat tangan papa dan mama Rachel bergantian, kemudian mengulurkan tangan pada Rachel.
Rachel sempat dibuat bimbang untuk menerima uluran tangan tersebut. Tetapi deheman papanya segera menyadarkan Rachel dan membalas uluran tangan Reagan sambil menyebutkan namanya.
Keempatnya makan bersama, Rachel satu-satunya yang paling tak bersuara. Sesekali menjawab perbincangan papa dan mamanya dengan senyuman, anggukan ataupun gelengan kepala.
Setelah makan malam selesai, orang tuan Rachel pulang lebih dulu. Memberi waktu bagi Reagan dan Rachel untuk saling mengenal satu sama lain.
Selama beberapa menit, keduanya masih tenggelam dalam keheningan. Reagan menyesap anggurnya sedangkan Rachel hanya mengelus-eluskan jemarinya di leher gelas. Menatap isi gelasnya dengan pandangan kosong.
Reagan bukannya tak tahu dengan kebisuan wanita di depannya kini. Sejak pertama kali masuk, ia sudah melihat mata wanita itu yang penuh luka.
"Kau terlihat enggan dengan rencana pernikahan ini," gumam Reagan memecah keheningan di ruangan tersebut.
Rachel mendongak. Ketajaman mata Reagan seketika memaku pandangannya.
"Apa kau sedang berhubungan dengan seseorang?"
Irisan di dadanya kembali terasa perih ketika pertanyaan Reagan membawa ingatannya kembali ke apartemen Davian. Memberi pria itu satu gelengan pelan. Ia sudah putus dengan Davian, sekali lagi Rachel mencoba menerima kenyataan pahit tersebut.
"Atau mungkin kau sedang patah hati?"
Rachel mengerjap kemudin berpaling.
"Ya, apa pun. Kuharap kau tahu tujuan pernikahan ini, kan?" Reagan mengedikkan bahunya.
Rachel hanya diam. Tak perlu menjawab pertanyaan retoris tersebut.
Reagan meletakkan gelasnya di meja, kemudian mencondongkan tubuhnya kea rah Rachel denga kedua lengan bersandar di meja. "Tapi aku merasa perlu mengonfirmasinya padamu. Karena bagaimana pun kau sudah terlibat dalam kesepakatan ini." Reagan menjeda sejenak. "Sebelum kau memutuskan untuk mundur atau tidak."
Rachel menyangsikan pilihan yang seolah bisa ia ambil. Apakah pria itu tahu bahwa ia tak akan pernah punya pilihan lain selain menikahi pria itu?
"Aku memberikan suntikan dana untuk perusahaan ayahmu dan ayahmu memberikanku seorang istri. Istri yang sehat untuk mengandung anakku."
Mata Rachel membelalak. Tercengang dengan permintaan frontal yang tak ditutupi sopan santun sedikit pun. Apakah pria itu tidak malu melontarkan kalimat semacam itu di awal pertemuan dengan seorang wanita. Ada apa dengan coklat dan bunga? Pria itu jelas tak berhubungan baik dengan seorang wanita. Karena itulah menggunakan kekuasan untuk mencari seorang istri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top