1. Pengkhianatan Sang dan Kekasih Sahabat

Dengan untaian sprei dan selimut yang berhasil ia ikatkan masing-masing ujungnya hingga membentuk untaian tali yang cukup panjang. Rachel membawa semua gulungan tersebut ke balkon kamarnya. Mengikat ujung tali di pagar balkon lalu memastikan ikatannya kuat sebelum melemparnya ke bawah.

Rachel memanjat naik ke pagar balkon. Lalu memegang kuat-kuat kain tersebut dan merayap turun. Mengabaikan ketakutan yang menggetarkan seluruh tubuhnya. Tak mudah ia turun ke bawah, tapi pada akhirnya usaha tak mengkhianati akhir. Rachel berhasil mendaratkan kakinya di halaman berumput.

Setelah memastikan tak ada pelayan atau mamanya di sekitarnya, Rachel menyusup mendekati gerbang tinggi kediamannya. Menunggu beberapa saat petugas keamanannya lengah dan berhasil keluar dari gerbang. Ia berlari ke jalan lari, mencari taksi dengan mudah dan yang langsung melesat membawanya pergi. Menemui kekasih hatinya, yang sekarang sedang menunggunya di café tempat keduanya biasa menghabiskan waktu.

Rachel menabrak seseorang di teras café saking terburunya, Rachel tak sadar menabrak seorang pria yang baru saja keluar dari café.

Pria yang ditabrak Rachel tak sempat menyumpah karena wanita itu sudah berlari menghampiri seseorang di salah satu meja. Pandangan pria itu turun ke arah kaki sang wanita yang sepertinya ada sesuatu yang sangat genting hingga tak memakai alas kaki.

Tanpa permintaan maaf dan sekarang jasnya kotor oleh tumpahan jus. Dengan kesal, pria itu pun membuang gelas plastik di tangannya ke tempat sampah dan berjalan ke mobilnya yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri. Sambil memuji kebaikan hatinya.

"Ada apa?" Seorang wanita melongokkan kepala ketika si pria membuka pintu dan membuka jasnya.

"Aku terlalu baik hati, kan?" Senyum dingin pria itu, melempar jas kotornya ke jok belakang dan meminta sang wanita memberinya sesuatu untuk membersihkan kemejanya yang terpercik jus. "Belum pernah aku melihat seorang wanita seberantakan dia," gerutu pria itu sambil naik ke mobil.

Di dalam café, begitu melihat Davian. Rachel langsung menghambur dalam pelukan pria itu. Menangis tersedu di dada kekasihnya dan menarik perhatian beberapa pengunjung café.

"Apa yang terjadi?" Setelah tangisa Rachel sedikit mereda, Davian merangkum wajah Rachel. Menyentuh warna merah dan sudut bibir kekasihnya yang berdarah.

"Bawa aku pergi, Dav."

"Apa maksudmu?"

"Ayah menjodohkanku dengan teman bisnisnya. Aku tak bisa menerima perjodohan ini. Aku mencintaimu."

"Kita duduk dulu." Davian menarik Rachel duduk di kursi, memberinya segelas air putih.

Rachel meringis perih ketika meneguk air putih dan hanya meneguk setengah.

"Kenapa dengan bibirmu?"

"Sepertinya terluka saat aku keluar dari balkon kamarku."

Davian melebarkan kedua matanya.

"Ayah mengunciku di kamar, jadi aku terpaksa kabur."

Davian hanya menghela napas, mengulurkan tangan menyentuh dagu Rachel untuk mencermati lebih saksama luka wanita itu. "Kau ingin makan?"

Rachel menggeleng.

"Kalau begitu kita pergi ke apotek dan kita bicara setelah mengobati lukamu."

Rachel mengangguk sambil menyeka sisa air mata di sudut matanya. Bangkit lebih dulu setelah Davian meletakkan beberapa lembar uang di meja.

Davian menunduk, melihat kaki Rachel yang tak mengenakan alas kaki apa pun. Dengan hati yang terluka, ia merangkul Rachel dan membawa wanita itu keluar café.

***

"Mau ke mana kita?" Rachel terkejut mengenali jalanan yang menuju ke arah rumahnya. "Aku akan mencoba membujuk ayahmu sekali lagi untuk menghentikan perjodohanmu."

Rachel langsung menggelengkan kepala dengan keras. "Turunkan aku, Davian!" jeritnya. Tangannya sudah bersiap membuka pintu mobil, dan benar-benar akan melompat jika Davian tak menghentikan mobil.

Davian pun terpaksa meminggirkan mobil. Rachel yang langsung melompat turun, dipenuhi kekalutan berjalan ke arah yang sebaliknya. Davian mengejar di belakang setengah berlari, berhasil meraih lengan Rachel.

"Kau tak mengerti ayahku, Davian. Satu-satunya jalan bagi untuk tetep bersama adalah kita pergi dari mereka. Hanya itu."

"Dan membuatmu kehilangan keluargamu?"

"Aku tak membutuhkan mereka."

Mata Davian terpejam.

"Aku hanya membutuhkanmu. Aku mencintaimu, Davian. Tak ada apa pun lagi yang kubutuhkan selain dirimu." Rachel memeluk Davian, kembali tersedu. "Kita harus melarikan diri. Kita pergi ke suatu tempat yang tidak bisa ditemukan oleh ayahku, dan kita bisa menikah. Memulai hidup baru kita di sana."

Davian tak menjawab.

"Kumohon, Davian. Bawa aku pergi."

Davian masih bergeming.

Rachel mendongakkan wajah, menemukan air muka Davian. "Sekali ini saja kumohon kabulkan keinginanku, Davian. Apa kau sudah tidak mencintaiku?"

Davian menghela napas pendek. Kemudian mengangguk. Menenggelamkan wajah Rachel di dadanya. "Aku mencintaimu, Rachel. Amat sangat."

'Tapi tidak dengan cara seperti ini.'

***

Davian mengulurkan kaos polos dan celana karet yang baru saja diambil dari dalam lemari. "Pakai ini saja. Bersihkan badanmu dan aku akan turun untuk mencari pakaian dan makan malam untuk kita berdua."

Rachel mengangguk. Masuk ke kamar mandi dan Davian berjalan keluar. Saat Rachel selesai membersihkan diri dan keluar dari kamar, Davian tak ada di apartemen. Lima belas menit kemudian, pria itu muncul dengan dua kantung di kedua tangan. Sat berisi pakaian untuk Rachel dan satu berisi makan malam. Keduanya makan bersama dalam keheningan.

"Jadi, apa yang akan kita lakukan selanjutnya?"

"Kita akan memikirkannya besok. Kau istirahat di kamarku dan aku akan tidur di sofa. Jika butuh apa-apa kau bisa membangunkanku."

Rachel mengangguk dan berjalan ke kamar Davian. Tapi sebelum ia masuk, ia memutar tubuh dan memandang Davian yang sedang membersihkan meja.

"Davian?"

"Ya?" Davian menoleh. "Apa kau butuh sesuatu?"

Rachel melangkah mendekat. "Bolehkah aku memelukmu."

Davian terdiam, menatap wajah Rachel lalu mengangguk dan melebarkan kedua lengan memeluk Rachel. "Kenapa? Kau terlihat gelisah."

Rachel mengangguk. Entah kenapa hatinya dipenuhi kegelisahan. Seolah ada sesuatu yang mengerikan tengah menunggunya. Perasaannya menjadi tak tenang.

Davian mengelus-elus rambut Rachel. Membawa wanita itu semakin erat dalam dekapannya. Seolah menikmati setiap detik momen kebersamaan mereka.

"Entah kenapa, aku merasa kau akan meninggalkanku, Davian." Rachel mengeratkan kedua lengannya melingkari tubuh Davian. Seolah takut jika sedikit saja ia melonggarkan pelukannya, Davian akan pergi.

Davian membeku.

"Kau tak akan pergi, kan?"

Davian menggeleng. "Aku mencintaimu, Rachel. Aku tak akan pernah meninggalkanmu."

'Bukan aku yang akan meninggalkan,' lanjut Davian dalam batinnya.

Hati Rachel dipenuhi ketenangan meski keresahan di hatinya masih mengendap dan tak cukup melegakannya. Satu-satunya jalan untuk menghilangkan keresahannya adalah menikah dengan Davian dan ayahnya tak akan berani memisahkan mereka lagi.

Namun, kegelisahan hati Rachel tak berhenti hingga ia naik ke tempat tidur hingga terbawa ke alam bawah sadarnya. Dua kali ia terbangun oleh mimpi buruk hingga ia keluar kamar hanya untuk memastikan pria itu masih berbaring di sofa dan tidur dengan lelap.

Dan keesokan paginya, setelah bangun dan membersihkan diri serta mengenakan pakaian yang dibelikan oleh Davian, Rachel mendengar suara apartemen yang dibuka. Sepertinya Davian baru saja datang membawa makan pagi untuk mereka. Dengan senyum yang mengembang, Rachel memastikan rambutnya tersisir rapi sebelum melangkah keluar dan menyambut kedatangan Davian.

Akan tetapi, betapa terkejutnya Rachel ketika di tengah langkahnya menuju pintu apartemen, ia disambut pemandangan yang begitu mencengangkan. Di sana, di ambang pintu Rachel melihat Davian sedang mengurung sosok mungil yang tampak familiar, dengan bibir yang saling menempel.

Seluruh tubub Rachel membeku, seperti disambar petir. Melihat dengan mata kepalanya sendiri sang kekasih yang mencumbu wanita lain. Dan ... tamparan keras itu tak sampai di situ. Ketika Rachel mengenali bahwa wanita yang tengah dicumbu oleh Davian adalah Andara, sahabat dekatnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top