[UN] BROKEN #9

-Mungkin tentang siapa pengirim coklat itu-.

Kafka terkesiap. Tubuhnya luruh seakan tanpa tulang. Apa mungkin Alea tau kalau Renata adalah orangnya? Tapi darimana? Ia melangkah lunglai menuju meja makan. Duduk terpekur mengenggam kaki gelas dengan erat.

"Mau saya buatkan teh hangat, Pak?" tanya Mbak Tanti hati-hati saat melihat Kafka terduduk dengan wajah lelahnya.

"Tidak. Terimakasih," gumam Kafka.

Mbak Tanti mengangguk paham. Ia tersenyum tipis kemudian bergerak meninggalkan tuannya.

"Em, mbak..,"

"Iya, Pak?" Mbak Tanti menghentikan langkahnya, berbalik menatap Tuannya dengan hormat.

"Boleh aku bertanya? Duduklah," pinta Kafka.

Ia mengangguk, melangkah takut-takut. Ia menarik pelan kursi di hadapan Kafka kemudian duduk di ujung kursi. Sementara pikirannya sibuk memikirkan hal buruk apa yang sudah ia lakukan. Kesalahan apa yang sudah ia perbuat demi melihat wajah serius Kafka.

Kafka tersenyum samar, "jangan takut. Aku tidak akan menghukum atau memecatmu. Aku hanya bertanya apakah selama ini ada kiriman? Mungkin Alea yang menerimanya? Atau Mbak Tanti pernah lihat Alea membawa bingkisan?"

Bingkisan? Kiriman? Mbak Tanti menggeleng pelan. Dalam benaknya ia mencoba mengingat apa saja yang pernah Alea terima. Mbak Tanti kembali menggelengkan kepalanya.

"Tidak ada. Seingat saya hanya kiriman coklat pagi itu sama jam tangan itu, Pak."

"Hanya itu ya?"

Mbak Tanti menganggukkan kepalanya. Ia melirik takut-takut kepada Tuannya.

"Baik. Terimakasih, Mbak." Kafka berdiri dari duduknya, melangkah gontai.

Ada yang berbeda dari Alea. Tapi ia tidak tau apa sebabnya. Kafka mendesah pelan. Menarik dasinya hingga terlepas dari lehernya sambil melangkah masuk ke kamarnya. Ia sempat melihat Alea meliriknya sekilas dari balkon kamarnya.

"Alea," panggil Kafka lirih.

Alea menoleh tanpa menjawabnya. Ia hanya menatap datar Kafka tanpa beranjak sedikitpun dari tempatnya berdiri.

"Bisa kamu katakan padaku apa salahku?" ucap Kafka nyaris berbisik.

Alea terdiam. Matanya tak lepas menatap Kafka yang kini duduk di tepi ranjang, menatapnya sendu.

Memang ini bukan sepenuhnya salah Kafka. Ia hanya ingin menyelesaikannya dengan caranya sendiri tanpa harus melibatkan Alea. Ia sangat memikirkan perasaan Alea. Tapi tanpa ia sadari sikapnya membuat Alea kecewa. Kenapa harus disembunyikan? Apa tidak bisa dibicarakan bersama?

Alea menghela napasnya, melangkah pelan mendekati Kafka.

"Memangnya ada apa?" tanya Alea serak. Ia duduk tak jauh dari Kafka.

"Kamu mudah marah hari ini. Kenapa?"

"Tidak ada."

Alea terdiam. Kembali tercipta keheningan untuk beberapa saat lamanya.

"Kaf,"

Kafka mengangkat wajahnya, menatap Alea dengan tatapan sarat makna. Sementara Alea menghela nafasnya seakan ragu untuk mengeluarkan kalimatnya.

"Apa? Katakan saja."

"Apa.. kau -pernah mencintai seseorang? I mean, sebelum aku," ucap Alea hati-hati tanpa berani menatap Kafka.

"Kenapa kau tiba-tiba menanyakan hal itu?" cicit Kafka.

"Sorry. Kau tak perlu menjawabnya. Mandilah. Aku akan membuatkan susu hangat kesukaanmu," ucap Alea diakhiri dengan senyuman tipisnya.

Kediaman Kafka cukup menjadi sebuah jawaban untuknya.

R.. Masa lalumu berinisial R. Bukan nama yang kupermasalahkan. Bukan masa lalumu yang kupermasalahkan. Tapi kedatangannya kembali. Tanpa kamu, aku akan mencari tau dengan caraku sendiri. Maaf, aku adalah wanita yang egois. Tapi pada saat nanti aku harus kalah, kau pada akhirnya akan memilih dia, aku tak akan menghalangimu sedikitpun, Kaf. Mungkin sudah saatnya -apapun yang terjadi, kita akan selalu bersama, terganti dengan -selalu dan selamanya-. Hmm.. itu terdengar lebih abadi.

Tanpa sadar ia sedikit membanting pintu lemari pendingin.

***

Kafka membiarkan tubuhnya menggigil di bawah kucuran air shower. Kilasan-kilasan tentang wanita itu kembali mengganggu pikirannya. Antara rasa marah, kecewa, kesal, sakit semuanya menjadi satu dalam sebuah kata, BIMBANG.

Renata, gadisnya dulu..

Akankah masih sama perasaannya pada Renata? Masihkah cinta itu untuknya? Masihkah ia pertahankan janji itu? Selalu dan selamanya.

"Aku tidak ingin kau kembali lagi! Apa kamu tidak ingat dulu kau bersumpah tidak akan kembali lagi padaku? Aku bahkan masih ingat jelas jawabanku, lebih dari itu. Jangan pernah sekalipun mengharapkan aku untuk menerimamu kembali. Sialan!!!

Apa yang kau inginkan dariku? Kehancuranku? Kau bahkan dulu pernah menghancurkan harapanku. Seharusnya aku yang menghancurkanmu, Bodoh!!"

Kafka mendekap dirinya sendiri. Tanpa sadar ia mengerang keras, melepaskan segenap emosinya.

"Aarggh!!! Sialan!!!!"

***

Alea menghentikan langkahnya. Dengan cepat ia meletakkan nampan yang berisi segelas susu hangat dan roti panggang di atas meja kecil. Ia bergegas menuju ke kamar mandi begitu mendengar teriakan Kafka.

"Kaf, are you okay?" Alea mengetuk pintu itu perlahan.

Tidak ada sahutan dari Kafka. Alea hanya mendengar suara gemericik air dan erangan samar Kafka. Ia menggedor lebih keras sambil memutar kenop pintu.

Terbuka. Kafka tidak mengunci pintu kamar mandinya. Sejenak Alea tercekat mendapati Kafka mengerang di bawah kucuran air. Bahkan pria itu tak menyadari kehadirannya.

"Kaf, what are you doin'?" seru Alea mendekat dan mematikan keran itu. Tangannya menyambar bathrobe kemudian membungkusnya pada tubuh Kafka.

Pria itu nampak linglung. Melangkah pasrah mengikuti kaki Alea yang menuntunnya.

"Duduk dan minumlah," perintah Alea, menyodorkan segelas susu hangat.

Perlahan ia menyesap susu itu kemudian meletakkannya kembali. Alea melirik dari sudut almari dengan tangan membawa satu stel baju untuk Kafka.

"Better?"

Kafka mengangguk.

"Pakai dulu bajumu. Aku memberimu lengan panjang untuk menghangatkan tubuhmu," ucap Alea.

"Alea..,"

"Apa kau mau aku yang menggantikan pakaianmu?"

Kafka menyeringai, menganggukkan kepalanya.

"In your dream!"

"Please..," pinta Kafka dengan tatapan meminta sekaligus menggoda.

Alea mendelik geram. Bisa-bisanya di saat seperti ini Kafka masih menggodanya. Kafka adalah salah satu kelemahan Alea.

"No!!"

"Kamu masih marah sama aku?" tanya Kafka dengan mengerjabkan matanya. Hal yang sama yang sering dilakukan Abiel ketika meminta sesuatu.

Kamu tau aku tak akan bisa marah lama kalau bukan masalah serius, gumam Alea dalam hati.

Alea mendengus. Tapi tangannya bergerak melepas bathrobe yang membungkus tubuh Kafka. Harum tubuhnya sekilas membuatnya ingin menyentuhnya lebih dalam lagi.

Alea menggeleng kecil. Tubuh pria-nya tak lebih polos dari tubuh Abiel. Ia buru-buru membuang pikiran kotornya. Tangannya segera mengulurkan celana training, memakaikannya dengan sabar. Saat ia ingin meraih kaos, Kafka menarik tubuh Alea hingga terduduk di pangkuannya. Lengan kekar itu kini membungkus erat tubuhnya. Bahkan kini wajahnya tenggelam di ceruk leher Alea, menghirup rakus harum tubuh Alea.

"Kaf,"

"Suatu saat nanti, aku pasti akan cerita tentang wanita yang kini menjadi masa laluku. Dan selamanya akan menjadi masa laluku. Please, Al. Jangan berubah. Aku menginginkanmu selalu begini, dipelukanku. Tak akan pernah kulepas sekeras apapun kau ingin melepaskan diri. Sebenci apapun kamu padaku nanti."

Alea merenggangkan pelukan Kafka. Tangannya berlari menyusuri setiap lekuk wajah Kafka. Matapun tak ketinggalan ikut menyusuri manic mata Kafka mencari sebuah kesungguhan yang bisa ia percaya.

"Kenapa tidak sekarang?" bisik Alea.

"Aku belum siap. Rasanya masih sama sakitnya. Ada luka yang tak bisa kulupakan meski aku sudah berusaha keras untuk menutupnya. Beri aku waktu, Alea," ucap Kafka serak.

Alea terdiam. Matanya berhenti di satu titik terdalam manic mata Kafka. Sorot matanya meredup, melukiskan sakit yang pernah ia rasakan. Sedalam apa pernah melukai pria-nya? Ibu jari Alea terhenti di bibir bawah Kafka, menyentuhnya dengan sangat lembut.

"Kau bisa menceritakannya nanti kalau memang hatimu benar-benar siap," ucap Alea pada akhirnya. Ia tak pernah tega melihat Kafka terjatuh payah.

"Kamu memaafkanku?"

"Ya."

"Tidak marah padaku lagi?"

"Untuk saat ini tidak."

Alea mengembangkan senyumnya. Ia menghapus jarak, mendaratkan bibirnya di atas bibir Kafka, mengecupnya dengan sangat lembut.

"Terimakasih, sayang," bisik Kafka.

"Ya. Ayo, pakai bajumu."

"Nanti saja. Biarkan aku memelukmu. Aku belum terlalu memerlukan bajuku. Tubuhmu cukup membuatku hangat kembali."

Ia kembali jatuh dalam pelukan Kafka. Hangat. Selalu membuatnya berdebar dengan bahagia yang membuncah. Ia merasakan dagu Kafka kini bersandar di atas kepalanya.

Tapi aku akan tetap mencari tau tentang R. Aku akan mencari tau semuanya, termasuk apa yang membuatmu terluka sampai sekarang. Sekaligus memastikan bahwa kau menempatkanku jauh lebih istimewa dari wanita itu, batin Alea.

"Al,"

"Apa?" Alea menengadahkan wajahnya. Matanya kini kembali bertemu.

"Tidak. Aku hanya takut pada akhirnya kau menyerah, memilih pergi dariku."

"Kalaupun aku pergi darimu, kau pasti akan mengejarku. Karena satu-satunya alasan aku pergi adalah -kamu."

"Tidak. Itu -tidak boleh terjadi."

"Maka, cintailah aku sepenuh hatimu. Sebagaimana aku mengorbankan duniaku untuk kamu dan anak-anakmu."

"Ya. Aku mencintaimu sepenuh hatiku. Jangan tinggalkan aku."

Tapi kamu masih dibayangi masa lalumu, Kafka. Alea tersenyum masam dalam diam tanpa Kafka tau.

***

Tbc ..

tambah gajeeee...

24 August 2015

S_Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: