[UN] BROKEN #8
"Ada apa lagi denganmu?" tanya Beny sambil meletakkan beberapa map di meja Kafka.
Boss besar itu merenggangkan tubuhnya. Ia menghela napas lelahnya kemudian menopang dagunya dengan sebelah tangannya.
"Aku ingin menceritakannya pada Alea. Tapi.., aku tidak tau harus memulainya darimana."
Beny menyipitkan matanya. Ia nampak mencerna omongan Kafka.
"Hm? Apa yang membuatmu ingin menceritakannya? Kaf, kamu dulu pria tanpa nyawa setelah kepergian Renata. Dan, kamu bertemu dengan Alea. Kamu bersusah payah membuatmu kembali berdiri demi Alea. Sekarang kamu ingin menceritakan masa lalumu yang bahkan kamu masih menyisakan ketakutanmu hingga sekarang.
Lalu bagaimana kalau Alea menjadi jijik padamu? Marah atau bahkan meninggalkanmu? Lebih baik kau simpan, selesaikan diam-diam tanpa harus Alea tau. Ini demi kebaikanmu," saran Beny.
"Tapi..," Kafka mengusap wajahnya. Ia mendesah.
"Bagaimana kalau dia lebih dulu mendatangi Alea sebelum aku sempat menyelesaikannya?"
Beny mengangkat bahunya, melanjutkan kalimatnya, "aku sempat berpikir Alea mengamati setiap gerakmu dalam diam. Tapi semoga saja aku salah. Kaf, kau harus menyelesaikannya segera."
Renata. Kafka menghempaskan tubuhnya pada sandaran kursi. Kepenatan terhadap wanita itu mengalahkan penatnya menghadapi proyek besarnya.
"Tapi pagi ini ia tidak mengirim apapun ke rumah setelah aku tak menanggapi kehadirannya kemarin sore. Kurasa ia belum bertindak jauh," ucap Kafka rendah.
Tidak mengirimi apapun? Mata Beny memicing. Tidak mungkin kalau Renata menyerah begitu saja.
"Kau yakin?"
"Hm, aku tidak menemukan apapun di rumah. Hanya mawar sialan di mejaku tadi pagi," jawab Kafka yakin.
"Sudah bertanya pada istrimu?"
"Alea selalu menyampaikan apapun termasuk hal asing itu," jawab Kafka.
Alea terdiam sejenak di depan pintu. Ia mendengar samar percakapan itu. Bibirnya mengembangkan senyum masamnya.
Karena untuk sebuah alasanlah, kali ini aku tidak menyampaikannya padamu, Kaf. Biar saja jika kau akan marah padaku. Itu masalah belakangan. Yang terpenting aku tau dengan jelas, dengan caraku sendiri.
Alea mengetuk pelan pintu itu beberapa kali sebelum akhirnya ia mendorong sedikit pintu itu. Sementara Abiel langsung menerobos seperti biasa, menghambur di kaki Kafka. Dalam diam ia melihat kegugupan Kafka. Tapi Alea berusaha seolah-olah ia tidak tau apa-apa. Ia menghampiri Kafka, memberikan kecupan singkatnya.
"Hay, Ben," sapa Alea dengan senyum ramahnya seperti biasa.
"Hay --Al," balas Beny.
Ia mengernyit dalam diam. Ada yang aneh? Beny pun juga sedikit gugup.
"Aku mengganggu kalian ya?" tembak Alea namun masih bisa berkata dengan nada santai.
"Tidak!" Keduanya menjawab lantang dan bersamaan lengkap dengan gelengan kepala.
Oh? Alea melemparkan tatapan menyelidik pada keduanya.
"Serius!" sahutnya bersamaan lagi.
Alea menaikkan alisnya. Mulutnya membulat kemudian meninggalkan keduanya sambil menarik Abiel.
"Jawaban kalian membuatku yakin, kalian masih ada urusan penting. Ayo, sayang kita jalan," ucap Alea. Ia bergegas meninggalkan ruangan itu dengan sedikit marah.
"Kemana, Mom?"
"Hm, kita akan ketemuan sama adik Arsy, adik Annish."
Alea tertawa kecil melihat Abiel menatapnya penuh binar dalam gandengannya. Pria kecilnya bahkan sedikit meloncat-loncat kegirangan selama menyusuri koridor, meninggalkan ruangan Kafka.
"Arsy? Yey! Abiel punya teman main lagi. Kapan Arsy pulang, Mom?"
"Kemarin siang, sayang. Tante Adel baru sempat sekarang. Kau senang?"
"Yes, Mommy," jawab Abiel, mengangguk-angguk mantap.
"Alea!!"
Alea membuang napasnya begitu mendengar suara yang tidak asing baginya beserta derap langkah kaki panjangnya. Dari ujung bulu matanya ia melihat Kafka sedikit berlari mengejarnya. Ada Beny beberapa meter di belakang Kafka, berkacak pinggang dengan wajah harap-harap cemas. Alea mempercepat langkahnya, sedikit menyeret Abiel.
"Al, please!" seru Kafka.
Alea menggeram. Ia menghentikan langkahnya tiba-tiba kemudian membalikkan badannya. Matanya menatap tajam Kafka. Tak peduli beberapa orang mulai memperhatikannya.
"Apa?!"
"Al, maaf..,"
Permohonan maaf Kafka tidak menyurutkan sisa emosi di dadanya. Alea menghela napasnya sejenak.
"Ehm, lain kali bilang dulu kapan saat yang tepat aku harus datang," ucap Alea bernada tegas.
"Al, bukan begitu. Tadi itu hanya..,"
Alea menggelengkan kepalanya, "aku tau kalian menyembunyikan sesuatu. Tapi sudahlah, aku ada perlu sebentar. Kau bisa melanjutkan obrolannya. Sampai jumpa nanti malam di rumah."
"Al,"
Kafka berdecak kesal pada dirinya sendiri. Wanita itu kembali menjadi wanita keras kepala ketika dirinya menyinggung perasaannya. Ia menatap kosong Alea yang pergi membawa kedua anaknya.
"Beri tahu Derren untuk mengawalnya dari jarak beberapa meter," perintah Kafka pada Beny sambil melangkah kembali ke ruangannya.
***
Alea mengatupkan mulutnya. Untuk kesekian kalinya sudut matanya menangkap seseorang tengah mengikutinya dengan seragam hitamnya.
"Kenapa, Al?" tanya Adel saat melihat Alea gelisah dalam duduknya.
Alea menggeleng cepat. Ia kembali menyuap makanannya.
"Mencoba berbohong, eh?" cibir Adel dengan mengerling.
Alea meringis singkat. Ia melarikan tatapannya pada Abiel yang tengah menikmati fasilitas arena permainan yang disediakan restoran cepat saji itu. Ia tak menyadari bahwa Adel tersenyum paham saat Alea menghindari tatapannya.
"See? Sikapmu membuatku semakin yakin bahwa kau tidak dalam keadaan baik-baik saja," gumam Adel.
"Tidak. Aku baik, Adel."
"Kau sedang menghibur dirimu sendiri, Al."
Alea tertawa lirih. Ia menyuap pelan ice cream-nya. Kemudian mengangkat bahu.
"Aku --tidak tau. Hanya merasa ada yang mengikutiku sejak tadi."
"Mengikutimu?" Kening Adel mengkerut. Ia mengedarkan tatapannya ke seluruh penjuru.
"Tidak ada. Mungkin itu hanya imajinasimu saja, Al."
"Entahlah. Tapi aku tau siapa," sahut Alea lemah.
"Oya? Siapa?"
"Siapa lagi kalau bukan Kafka."
"Kafka?" Dalam sekejab tawa Adel membahana. Ia menggelengkan kepalanya tak percaya.
Sementara Alea hanya memutar bola matanya. Ia meraih ponselnya, menelpon sebuah nomor.
"Aku tau kau mengirim seseorang yang tak penting. Suruh dia pulang," desis Alea penuh penekanan.
"Oh, C'mon, Babe. Aku hanya ingin kau aman. Tolong, jangan membantah."
"Kafka, aku. sudah. aman. Jadi, jangan berlebihan."
"Tidak! Kamu tidak akan tau bahaya apa yang akan menghampirimu, Al. Okay, jika kamu memang tidak menginginkan itu, tolong lakukan demi anak-anak kita."
"Mereka akan aman bersamaku."
"Lakukan atau aku tidak akan membolehkan kamu keluar rumah, Please. Aku sedang banyak urusan, Babe. Kumohon kau mengerti. Apa yang kulakukan itu untuk kebaikan keluarga kecilku. Okay, sampai jumpa nanti di rumah."
Alea mendelik sempurna. Kafka menutup telponnya seiring berakhirnya kalimatnya tanpa memberi kesempatan Alea untuk menyanggahnya. Ia menggeram singkat kemudian meletakkan ponselnya.
Apa ini ada hubungannya dengan seorang wanita tadi siang? -kita akan sering bertemu, Alea-. Apa maksudnya? Lalu siapa dia?
"Alea!"
Sentuhan dan suara Adel membuatnya terkejut.
"Kau bisa menceritakannya nanti. Aku akan selalu menunggu ceritamu, Al."
"Terimakasih," ucap Alea lirih.
***
Sebelum petang, Alea sudah kembali ke rumah. Sekeras mungkin ia berusaha berpikir positif saat Mbak Tanti kembali memberinya titipan bingkisan.
"Mbak lihat tidak siapa yang mengantar?" tanya Alea.
"Tadi ada kurir yang mengantar."
Mulut Alea membulat. Ia mengangguk paham kemudian tersenyum tipis, mengucapkan terimakasih dengan sangat lirih. Tangannya membuka bingkisan itu.
Apa lagi ini?
Sebuah cincin platinum agak kusam. Ini jelas barang lama. Ia meraih secarik kertas. Tulisan tangannya cukup bagus. Tapi isinya membuatnya cukup sesak.
Apa kau mengingat ini? Aku masih menyimpannya.
Selalu dan selamanya, kamu.
R
R? Alea membaca ulang deretan kata itu, mencerna-nya dalam diam. Apa maksudnya? Apa maunya? Ini pasti dari masa lalu Kafka. Apa mungkin semua barang-barang aneh itu darinya?
Alea mengurut dadanya pelan. Menarik napasnya pelan-pelan agar sesak yang menghimpitnya tidak terlalu membuatnya nyeri.
"Okay. Aku akan segera tau," bisik Alea. Ia melangkah menuju ke dapur. Pada salah satu lemari yang tergantung ia meletakkan kotak itu, berbaur dengan kotak-kotak yang lainnya.
Alea tersenyum tipis, menutup kembali bahkan mengambil kuncinya. Tapi matanya masih menatap pintu lemari itu.
"Astaga, Baby. Aku mencarimu daritadi tau?"
"Hah?!!" Alea terlonjak. Suara Kafka mengejutkannya. Pria itu masih mengenakan setelan kerjanya. Matanya menatapnya heran.
"Kamu kenapa? Kaget banget," tanya Kafka heran.
"Oh, em. Tidak. Ada apa?"
Ada apa? Kafka mengerutkan keningnya. Ia maju selangkah lebih dekat.
"Kamu aneh banget hari ini. Ada apa? Bisa kamu cerita?"
"Harusnya kamu yang cerita. Bukan aku!" ketus Alea.
"Ini?" Kafka meraih kedua pundak Alea, menatap dalam mata itu. "...bukan Alea yang ku kenal."
"Dan ini juga bukan Kafka yang kukenal. Kafka yang kukenal tidak pernah menyembunyikan sesuatu dariku."
Kafka terbungkam. Alea benar, ia telah menyembunyikan sesuatu darinya.
"Al, aku..,"
"Aku tidak akan memaksamu untuk bercerita. Tapi harus kau ingat, aku akan tau dengan sendirinya."
"Tentang?"
"Mungkin tentang siapa pengirim coklat itu," sahut Alea kemudian meninggalkan Kafka yang kembali tercenung karena kalimatnya.
***
TBC
yeyyyy akhirnya bisa lanjutin.. gimana kurang greget yaa.. iya sihh
22 August 2015
S_Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top