[UN] BROKEN #7
Seperti biasa, Alea selalu bangun lebih pagi setelah Mbak Tanti. Ia bergegas mandi kemudian turun menuju ke dapur. Tapi bedanya, Kafka sudah bangun terlebih dahulu dan ia tidak tau kemana pria itu. Ia tak menjumpainya di pantry, di ruang TV ataupun kamar anak-anak.
"Apa kau melihat dimana Kafka?" tanya Alea pada Mbak Tanti.
"Tadi bapak keluar, Nyonya Al," jawab Mbak Tanti.
Alea memutar bola matanya, "Alea saja bisa kan mbak? Masa iya aku harus mengingatkanmu setiap hari?"
"Kan tidak sopan."
"Aku yang minta. Okay, tadi Kafka pakai baju apa?"
"Kurang paham, Alea. Tapi yang mbak lihat Bapak memakai jaket," jelas Mbak Tanti dengan mata menyipit mencoba mengingat secara detail tentang Tuannya.
"Oh, okay," sahut Alea cepat, mengakhiri pembicaraan yang hanya akan membuat hatinya gelisah. Ia mencoba berpikir positif tentang Kafka.
Ia kini menyibukkan dirinya dengan beberapa helai roti tawar. Kemudian memasukkan ke dalam oven setelah ia mengoles salah satu sisi-nya dengan mentega, mengatur timer-nya.
Aku tau sesuatu telah terjadi padamu, Kaf.
Alea menghela nafasnya sambil mengocok telur yang ia campur dengan freshmilk kemudian menuangnya di atas pan yang sudah ia olesi dengan minyak zaitun. Ia mengocok telur itu hingga menjadi telur orak-arik.
TING!!
"Mbak keluarkan ya, Al?" ucap Mbak Tanti begitu mendengar dentingan dari oven. Alea menggumam sambil membagi telur orak-arik ke dalam beberapa piring, menempatkannya di salah satu sisi. Ia membiarkan Mbak Tanti meletakkan roti panggang bersisian dengan telur pada setiap piring itu.
"Permisi, Nyonya. Ini, bapak temukan ini di depan pintu gerbang." Seorang pria paruh baya yang membantunya menjaga rumah sekaligus merawat rumah dan taman datang dengan sesuatu di tangannya.
"Alea saja, Pak Han. Apa itu?" Kening Alea berkerut. Ia meraih bingkisan kecil, kali ini tanpa pita tapi berwarna coklat gelap.
Aku masih hafal dengan kesukaanmu, sayang. chocolate devil's cake.
Semoga harimu selalu manis seperti cake ini.
Cake berukuran single dengan selipan kertas berwarna coklat mocca membuat Alea menahan napas. Jelas ini bukan untuknya, meski ia juga sangat menyukai cake ini seperti Kafka. Ini pasti untuk Kafka. Dan tidak mungkin itu dari seorang pria.
Buru-buru Alea menyimpannya di salah satu deretan pintu lemari yang menggantung di dinding pantry-nya.
Aku akan mengumpulkannya kemudian menyelidikinya sendiri.
"Alea..," ucap Mbak Tanti hati-hati saat mendapati perubahan wajah Alea. Sedikit memucat.
"Aku baik-baik saja, Mbak Tanti." Alea tersenyum singkat, "Oya, aku akan membangunkan Abiel dulu."
Alea bergegas meninggalkan dapur, melewati ruang tengah. Sesaat ia terkejut saat berpapasan dengan Kafka. Pria itu seperti habis lari pagi karena ia mendapati bulir-bulir keringat dari seluruh tubuhnya.
"Morning, Babe," sapa Kafka dengan senyuman terbaiknya seperti biasa.
"Darimana?" tanya Alea datar.
"Lari pagi. Kenapa?"
Alea menggeleng kecil, "No. Cuma aneh saja. Tidak biasanya kau lari pagi keliling kompleks apalagi bangun lebih dulu."
"Memangnya tidak boleh?" Kafka maju selangkah lebih dekat.
Alea menyandarkan tubuhnya pada bulatan besi yang memagari anak-anak tangga. Ia menaikkan alisnya sebelah, menyilangkan tangannya di dada. Ia memberikan tatapan -menurutmu?-. Mulutnya bergerak maju sedikit. Kini Kafka tepat berada di depannya sampai-sampai ia bisa mendengar deru napas berirama cepat darinya lalu harum tubuh Kafka yang sangat sexy. Sejenak ia kesulitan me-rileks- kan dirinya.
"Tidak. Lakukan sesukamu," ucap Alea singkat lalu melanjutkan menaiki anak tangga sedikit berlari.
"Baby!" Kafka melangkah lebar menaiki anak tangga sampai-sampai ia merangkum dua anak tangga menjadi satu langkah demi mengejar Alea. Wanitanya pagi ini cukup aneh. Alea tidak biasanya mempermasalahkan acara joggingnya. Tapi kali ini ia mendapati Alea sepertinya marah padanya.
"Hey," ucap Kafka lirih meraih pergelangan tangan Alea saat wanita itu hendak memutar kenop pintu kamar anaknya.
"Maafkan aku. Aku tidak tau kamu akan marah seperti ini. Lain kali aku tidak akan lari keliling kompleks. Lagipula di rumah kan juga ada treadmill," ucapnya dengan nada sesalnya.
Alea menarik napasnya, mengangkat wajahnya. Matanya bertemu dengan matanya. Ia menarik seulas senyuman.
"Tidak apa-apa. Aku hanya terkejut saat aku bangun aku tidak mendapatimu di manapun," ucapnya nyaris berbisik.
"Maaf," bisik Kafka. Ia mengulurkan tangannya, menyentuh lembut wajah cantik Alea.
"Tidak apa-apa. Lekas mandi atau kau juga akan memandikan anak-anak," ucap Alea terkikik.
"Dengan senang hati, Nyonya Kafka," kekeh Kafka.
Alea tertawa kecil, meletakkan satu tangannya di lengan Kafka. Ia berjinjit sedikit kemudian mengecup singkat rahang pria itu, membuat pria itu sedikit menggeram.
"Kau selalu membuatku ingin berada di dalammu hanya dengan ciuman singkat seperti ini. Ini sangat konyol, Nyonya Kafka. Kau selalu melakukannya di saat aku tidak memiliki banyak waktu," sungut Kafka.
"Dan aku suka melihatmu tersiksa," ejek Alea. Ia bergerak meninggalkan Kafka dengan senyum kemenangannya.
"Al,"
"C'mon, Kaf. Aku harus men-steam susu untuk sarapan," sahut Alea sambil terus menuruni anak tangga.
Rrrh! Kafka mengerang kesal. Ia mengacak kasar rambutnya.
"Sialan!! Kau harus membayarnya nanti malam, Babe!" serunya.
"Oya? Aku akan membuatmu memohon, My Man," ejek Alea sambil menyembulkan kepalanya dari balik dinding.
"Sialan! Kau yang harus memohon. Aku akan membuatmu tidak bisa jalan esok paginya!" Alis Kafka bertaut disertai erangan kesal.
"Daddy? Sedang apain?" tanya Abiel dengan tatapan polosnya.
Eh?! Tubuh Kafka menegang. Ia menjatuhkan tatapannya pada bocah kecilnya yang kadang-kadang cepat tanggap dengan apa yang Kafka ucapkan.
"No. Ayo, mandi. Abiel mau sekolah, bukan?" ucap Kafka, mengangkat tubuh Abiel dalam gendongannya.
"Daddy mau apain Mom? Mom bikin salah sama Dad ya?" tanyanya lagi.
"Oh, iya, sayang."
"Kata ibu guru, tidak boleh balas dendam. Kata bu guru anak manis itu selalu memaafkan. Daddy, balas dendam itu apa?"
"Hah?" Kafka kehilangan semua kata-katanya. Ia hanya meringis singkat kemudian mengecup singkat pipi tembem anaknya.
"Daddy..,"
"Iya. Balas dendam itu apa ya? Balas dendam itu kalau Abiel dipukul sama temannya terus Abiel membalasnya," jelas Kafka sesimpel mungkin.
Kepala kecil Abiel hanya mengangguk-angguk. Ia terbungkam.
"Memangnya tadi Mom pukulin Daddy ya?"
"Tidak. Kata siapa?"
"Tadi Dad kan teriak mau balas Mom. Emang Dad mau apain Mom? Terus memang tadi Mom apain Dad?" tanya Abiel sambil memainkan jemarinya di rambut Kafka.
"Tidak ada. Okay, kita harus mandi, Kiddo. Dad akan mengantarmu," sahut Kafka mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Yey! Dad antar Abiel ke sekolah!" serunya seakan sudah lupa dengan pertanyaannya barusan.
***
"Babe, kamu dimana?" tanya Kafka dari seberang.
"Kaf, kau mengirim supir pribadi eh? Kenapa tidak bilang padaku? Aku lagi di taxi, hampir sampai sekolahnya kakak," cerocos Alea sedikit bersungut.
"Ya, maafkan aku, Babe. Aku hanya tidak ingin kau kelelahan. Kenapa kau tidak dengan Derren?"
"Aku yang menyuruhnya pulang! Aku biasa melakukan semuanya sendirian, Kaf. Lagipula selama ini aku fine-fine saja. Apa yang kau masalahkan?"
"Apa?!! Astaga, Al! Please, mulai saat ini kau harus diantar Derren kalau mau kemana-mana!"
"Kaf,? Kamu aneh sekali?! Ini -- diluar kebiasaan kamu tau tidak?"
"Ya. Dan aku ingin kau membiasakan, okay? Segera ke kantor kalau Abiel sudah keluar. Dan hati-hati. Aku merindukan kalian," tegas Kafka masih bernada lembut.
"Yess, My Man," sahut Alea sambil memutar bola matanya.
"Jangan memutar bola matamu. Itu tidak sopan, sayang," ketus Kafka.
"Ya!!" sahut Alea geram.
Ia mendengar derai tawa dari seberang sebelum telpon itu terputus. Ia kemudian merogoh selembar uang dan memberikannya pada supir taksi. Ia bergegas turun menghampiri gedung sekolahan yang sudah penuh dengan ibu-ibu wali murid.
Kepalanya sibuk celingukan mencari sosok Abiel Kafka saat melihat anak-anak kecil berhamburan keluar dari gedung taman kanak-kanak itu. Tak butuh waktu lama ia menemukan jagoan kecilnya.
"Mommy!!"
"Hallo, Sunshine. Bagaimana sekolahmu?" tanya Alea sedikit membungkukkan badannya mengecup puncak kepala Abiel.
"Abiel tadi membuat kolase, Mom. Mom, nanti Abiel mau minta Dad untuk membelikan crayon. Crayon Abiel habis, Mom."
"Iya, nanti Abiel bilang sama Dad ya? Ayo," ucap Alea menggandeng tangan Abiel. Ia tertawa kecil saat Abiel sedang menanggapi ocehan Aaron dengan bahasa planetnya.
"Mom, apa kita akan ke kantor Dad?" tanya Abiel.
"Ya, Tentu saja. Memangnya kenapa?"
"No. Abiel akan bilang begitu sampai di sana."
Alea mengangguk kemudian menggerakkan matanya mencari taksi kosong yang melintas.
"Alea?"
Kening Alea berkerut mendengar suara lembut seorang wanita memanggilnya. Ia menggerakkan kepalanya, menatap wanita yang sedang mendekat, penuh tanya. Siapa? Wanita itu tersenyum lembut.
"Benar kamu Alea?" tanya wanita itu.
"Ya. Anda siapa? Ehm, maaf. Sepertinya saya belum pernah bertemu denganmu," gumam Alea sedikit ragu.
Kembali. Wanita itu mengembangkan senyumnya, "memang belum pernah bertemu. Tapi aku tau kamu. Dan -- oya, sepertinya kita akan sering bertemu. Sampai nanti -- Alea."
"Hey!"
Alea menatap punggung wanita itu, semakin jauh. Siapa? Wanita itu sungguh aneh. Beberapa meter kemudian wanita itu menoleh ke belakang, melemparkan sebuah senyuman misterius kepadanya.
Aku seperti pernah bertemu dengannya. Tapi dimana?
Sejenak ia termenung, sampai kemudian sentuhan tangan mungil Abiel di lengannya menyadarkannya kembali.
"Ayo, mom," rengek Abiel.
"Oh, ya. Ayo," sahut Alea tergagap.
***
Tbc..
lama yaa? sorry yaa..
big thanks buat kalian yang bersedia mampir di story ini..
luv luv luv.. maaf ga bisa bales commen kalian satu-satu.. tapi aku baca kok, dan aku sangat bahagiaaaa
19 August 2015
S Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top