[UN] BROKEN #6

"Kaf? Aku baru kali ini menemukan clien kamu yang begitu perhatian. Kafka!"

Alea menimang-nimang kotak kecil yang diberikan Mbak Tanti tadi sore. Kafka hanya bergumam tak jelas. Tangannya menarik ikatan dasinya hingga terlepas lalu membanting tubuh lelahnya ke sofa. Ia memejamkan matanya. Nampak sekali kalau pikirannya sangat penat. Alea menghela nafasnya, duduk di samping Kafka. Wajahnya miring mengamati wajah Kafka.

"Nih, buat kamu. Tapi tidak ada nama pengirimnya. Cuma ada tulisan untuk kamu," ujar Alea, menyodorkan kotak kecil berwarna deep purple berpita silver.

"Apa ini?" tanya Kafka heran. Tangannya setengah hati menerima kotak itu.

"Entah." Alea mengedikkan bahunya, "aku belum buka-buka kok."

Kafka menaikkan alisnya sebelah. Kemudian mengembalikannya ke tangan Alea.

"Kamu saja yang buka," ucap Kafka merentangkan lengan kanannya lalu merengkuh pundak Alea. Dalam diam ia tersenyum, mengembuskan nafasnya sedikit lega.

"Kamu punya clien baru ya?" tanya Alea sambil menarik lepas ujung pita itu.

"Clien baru?" Kafka membeo.

"Iya. Biasanya kamu selalu dapat bingkisan dari clien baru kamu. Tapi nggak se-sweet ini sih," jelas Alea. Ia terdiam sejenak, membuka kotak itu. Ia memanyunkan sedikit bibirnya. Matanya menyipit menilik isi kotak itu.

"Jam tangan?" gumam Alea bernada tanya saat mendapati jam tangan berbahan dasar logam di dalamnya. Ia tau, itu bukan barang murahan.

"Apa?" tanya Kafka mencondongkan tubuhnya ke arah Alea hingga Alea bisa merasakan hangatnya terpaan nafas Kafka di ceruk lehernya.

"Jam tangan. Jangan bilang kalau clien-mu ini perempuan? Cantik tidak?"

Kafka menggeleng lalu mengangkat bahu. Ia meraih kotak beserta isinya dari tangan Alea lalu memanggil Mbak Tanti.

"Iya, Pak?" Mbak Tanti mendekat dengan senyum hormatnya.

"Ambil ini. Untuk kamu," ucap Kafka tanpa mau berpikir lebih lanjut. Karena ia tau siapa yang mengirimnya. Renata!

"Pak?" panggil Mbak Tanti memastikan apa benar Kafka memberikan barang mahal itu padanya.

"Iya, untuk kamu."

"Ya ampun, Pak. Terimakasih banyak."

"Sama-sama, Mbak Tanti."

Kafka tersenyum lebar menanggapi orang yang selama ini membantu mengurus rumahnya. Sementara Alea mengernyit bingung. Setaunya Kafka sangat menghargai pemberian orang lain. Tidak membuangnya begitu saja seperti ini.

"Kaf?" panggil Alea setelah Mbak Tanti meninggalkannya berdua.

"Hm?"

"So? What's wrong? Ada apa sebenarnya?"

"Tidak. Aku sudah banyak memiliki jam tangan pilihan kamu. Itu jauh lebih bagus dari jam itu. Well, aku mau mandi dulu. Badanku lengket semua."

"Kaf, tapi ini..." Alea mengangkat kedua telapak tangannya, tanda tak mengerti.

Alea memandangi punggung pria-nya yang semakin jauh dari pandangannya. Ia mendesah singkat lalu menyandarkan tubuhnya ke sofa.

"Seperti ada yang disembunyikan. Tapi.., entahlah," gumam Alea.

***

Lubang kecil di dalam hati yang telah ia tutup serapat mungkin kini kembali menganga. Kafka hanya terdiam membiarkan tubuhnya menggingil di bawah siraman shower. Entah sudah berapa lama ia menyiksa tubuhnya di sana. Yang ia lakukan hanya menatap kosong, seperti hatinya yang tiba-tiba kosong seakan tidak memiliki kehidupan. Bukan! Ia hanya tak sanggup mengingat semuanya.

Renata yang lugu, selalu tersipu malu saat bersamanya. Renata yang sangat mencintainya. Renata yang selalu mendukungnya saat ayah dan ibunya lebih memilih sibuk berbisnis daripada bercengkerama dengannya. Renata yang selalu membuatnya tertawa riang melupakan kehampaan akan kasih sayang orang tuanya.

"Aku tidak berharap apapun darimu selain kamu juga mencintaiku. Itu sangat cukup, Kafka. Tapi, aku ingin kau belajar lebih giat lagi agar kamu sukses. Agar kamu hidup dengan nafasmu sendiri. Aku akan menjadi orang yang pertama kalinya mengucapkan selamat padamu," ucap Renata dengan mata beningnya menjelajahi manic mata Kafka.

Kafka terkekeh, bersandar di pangkuan Renata, memandangi wajah ayu Renata. Ia membiarkan Renata menyisiri rambutnya dengan jemari lentiknya. Sementara buku-buku pelajaran berserakan di lantai kamarnya.

"Apakah esok kita akan selalu begini?" tanya Kafka lirih seiring detik jam yang berdetik mengisi keheningan kamarnya. Sementara malam kian merambah.

"Kenapa tidak?"

"Jangan pernah berubah. Karena aku tak akan tau apakah akan ada seseorang lain yang bisa membuatku senyaman ini saat bersamamu atau tidak. Tapi yang kuharap hanya ada kamu," gumam Kafka meraih wajah Renata, mengusapnya dengan lembut.

"Hanya ada kita, Kaf. Selalu dan selamanya," bisik Renata menenangkan.

Hanya ada kita. Selalu dan selamanya. Kafka mengeratkan pejaman matanya. Kedua tangannya kini memeluk tubuhnya sendiri dengan erat. Kenapa? Kenapa ia harus datang kembali di saat semuanya terasa jauh lebih baik, di saat seseorang sukarela mengulurkan tangannya, mendekapnya penuh kehangatan?

Kafka menengadahkan wajahnya. Membiarkan matanya semakin perih bercampur air yang mengucur dari shower. Ia kehilangan kendalinya. Kedua telinganya menulikan keadaan. Ia bahkan tak mendengar gedoran pintu sejak tadi yang lengkap dengan teriakan Alea.

***

Alea mengernyit heran bercampur cemas. Sejak satu jam yang lalu Kafka maduk ke kamar mandi dan sampai saat ini belum keluar. Ia menempelkan telinganya ke daun pintu. Masih terdengar suara gemericik air di dalam sana.

"Kafka?!!" panggil Alea. Tangannya mengetuk daun pintu berwarna putih bersih itu.

Tidak ada sahutan dari dalam.

"Kaf?!!" Ia memanggil lebih keras lagi. Bahkan tangannya kini berganti menggedor.

"Sayang?! You okay?"

Alea mengangkat bahu, meninggalkan kamar mandi. Ia memilih menunggu sambil bersandar di dinding walk in closet. Entah sudah keberapa kalinya ia melirik jam dinding. Ia berdiri dengan gelisah.

Lewat 5 menit. Alea mengganti posisi, duduk di lantai dengan punggung bersandar di dinding.

Lewat 10 menit. Alea mendesah. Tidak biasanya Kafka mandi selama ini.

Lewat 15 menit. Alea bangun menghampiri kembali pintu kamar mandi.

Saat hendak mengetuk, pintu terbuka. Alea berdiri kaku saat mendapati Kafka menggigil di balik bathrobe-nya. Ia melewati Alea begitu saja tanpa menatapnya, seakan ia tak melihat Alea.

"Kafka!"

Pria itu menghentikan langkahnya. Ia tak menoleh. Hanya membuang nafasnya singkat, tanpa berkata apa-apa. Kemudian kembali melangkah menuju ke lemari pakaiannya. Tangannya menarik beberapa helai pakaian, memakainya dengan cepat, meninggalkan bathrobe-nya yang teronggok di lantai begitu saja.

Ada rasa marah saat mendapati Kafka memperlakukannya demikian. Karena ia merasa ia tak melakukan apa-apa. Bahkan sebelumnya Kafka masih baik-baik saja terhadapnya. Alea meraih onggokan bathrobe yang terasa basah di kulitnya dan menaruhnya di keranjang pakian kotor. Setelahnya ia kembali ke kamar berharap Kafka menenggelamkan dirinya di ranjang.

Tidak ada. Tapi ia mendengar suara bedebam, pintu tertutup sedikit keras. Ia menoleh ke sebuah pintu, ruangan kerja Kafka. Pria itu kini malah memilih mengasingkan dirinya ke sana. Mata Alea menatap nanar tak berkedip ke arah pintu itu. Tak lama Kafka keluar dari ruangan itu, melewatinya yang masih saja berdiri. Sorot matanya tak terbaca.

"Tidur. Jangan menungguku," ucapnya datar kemudian meninggalkan Alea tanpa memberi kesempatan Alea untuk bertanya kenapa.

Ini. Ini pertama kalinya Kafka memperlakukannya demikian. Alea menundukkan kepalanya. Punggung tangannya mengusap pelan air matanya. Kenapa? Apa salahnya? Alea menarik nafasnya berharap sesaknya segera pergi.

Coklat? Bunga yang tak sengaja ia temukan siang tadi di ujung meja kerja Kafka. Lalu Jam tangan? Apa semua itu ada hubungannya? Apa Kafka sudah tidak mencintainya lagi? Apa Kafka sudah mendapatkan wanita yang lebih mencintainya, lebih segalanya dari Alea?

Alea melangkah gamang. Tangannya membuka bingkai jendela kamarnya lebar-lebar. Ia duduk bersandar pada bingkai jendela itu. Tangannya mendekap erat tubuhnya sendiri sambil merapatkan sweaternya. Wajahnya menengadah menelanjangi langit malam.

"Biasanya aku melakukan ini saat menunggumu pulang, sambil tersenyum bahagia mengingat hal-hal manis yang pernah kita lalui bersama.

Haha. Tapi sekarang, aku melakukannya dengan rasa yang sulit kuungkapkan. Marah, kecewa dan.. tentu saja sakit. Kau membuatku menerka-nerka sesuatu hal yang buruk. Kenapa? Hanya itu saja," desau Alea lirih. Ia mengerjabkan matanya yang mulai tergenang air mata.

Alea menyandarkan kepalanya pada salah satu sisi bingkai jendela. Kakinya menjuntai ke luar jendela, menggantung di atas balkon sempit. Ia menghela nafasnya, membiarkan dirinya larut dalam pikirannya. Entah sudah berapa lama ia berada dalam posisi itu.

"Aku bilang tidur, Al!" Suara Kafka terdengar dingin dan memerintah.

Tapi Alea tidak menoleh ke asal suara.

"Kembali pada kegiatanmu. Aku masih ingin begini," sahut Alea tak kalah dingin.

"Aku tak ingin kau sakit!" Nadanya berubah marah.

"Aku baik-baik saja!" balas Alea.

Alea terdiam. Menarik nafasnya dalam-dalam. Tidak! Sesak itu tidak boleh datang lagi.

Terdengar suara langkah kaki mendekat. Lalu dua lengan menyelusup ke pinggangnya, memeluknya dengan erat, meruntuhkan pertahanan Alea.

"Tidur, Babe," bisik Kafka terdengar jauh lebih lembut.

"Kenapa?" tanya Alea serak.

Lama Kafka terdiam. Tapi ia merasakan Kafka tersenyum di antara leher Alea.

"Kau menangis? Maafkan aku. Aku hanya pusing dengan keadaan. Kalau nanti sudah waktunya aku pasti akan cerita. Jangan menangis. Aku tetap mencintaimu, lebih besar dari hari-hari kemarin. Sekarang, kita tidur. Aku membutuhkan kamu malam ini untuk menenangkanku."

"Tapi kenapa?"

Alea menggerakkan kepalanya, mencari mata Kafka. Sorot mata itu kini menuntut untuk segera dituruti.

"Ayolah, sayang," rajuk Kafka sambil menyelipkan salah satu tangannya dan mengangkat tubuh mungil Alea dari bingkai jendela.

"Aku pasti cerita. Tapi nanti, sayang. Aku janji," ucap Kafka, membaringkan Alea ke ranjang kemudian menyatukan tubuhnya pada wanita mungil itu.

***

Tbc..

ini udah lebih panjang looh xixixixi...

enjoy reading yaahh..


15 August 2015

S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: