[UN] BROKEN #5
Nichlause Aditya. Ya. Kafka ingat siapa anak yang sedang melekat erat di samping Alea seakan sedang dengan ibunya sendiri. Anak itu? Bukan miliknya kan? Tentu saja. Sebrengsek-brengseknya ia, takkan mungkin menabur benih sembarangan. Kafka mengamati anak itu dalam diamnya. Adakah sesuatu yang mirip dengannya? Rambutnya? Matanya? Hidungnya? Bibirnya? Warna kulitnya? Atau bahkan sifatnya? Tidak. Semua yang ada padanya hanya ada pada diri Abiel dan Aaron. Tidak ada yang lain.
Kafka menarik napasnya sejenak. Ia tersenyum tipis pada Abiel. Mungkin anak itu merasakan kegundahan ayahnya. Batinnya menggumam demikian. Ia membalas tatapan Abiel yang menegadahkan wajahnya, mencari manic matanya dari pangkuannya.
"Kenapa, Boy?" tanya Kafka lirih. Matanya kini beralih pada Alea yang sedang menelpon seseorang. Mungkin ia sedang menanyakan alamat rumah anak itu.
"Daddy sakit?"
"Tidak. Kenapa kau bertanya demikian?"
"No. Daddy lelah ya? Nanti kalau Abiel sudah besar, Abiel mau bantuin Daddy biar Daddy tidak lelah," ucap Abiel dengan kepolosannya.
Kafka terkekeh, "anak Daddy, kesayangan Daddy. Daddy akan mengajarimu nanti, Nak."
"Kaf, aku balik dulu ke ruangan aku. Oya, kusarankan agar kau tidak terpancing dengan barang-barang aneh itu. Biarkan saja. Anggap saja orang iseng. Besok pagi akan ada Derren. Dari agen ternama. Pintar beladiri, mahir memainkan senjata api. Profil lengkapnya sudah aku kirim via email," ucap Beny menginterupsi dirinya dengan Abiel.
"Derren?" Kening Kafka mengkerut.
"Iya. Tenang saja. Dia bukan kelas ecek-ecek."
"Oh, Okay!"
Mungkin aku sudah berlebihan. Menyewa orang hanya untuk menjaga keluarga kecilku, batin Kafka tersenyum masam. Ia memandangi punggung Beny sejenak sebelum pria mata sipit itu menghilang di balik pintu.
"Kaf, aku antar Nick dulu ya? Kasian deh. Lebih baik ia segera pulang biar bisa istirahat," ucap Alea sambil memasukkan ponselnya ke dalam tasnya, membuat Kafka sedikit tergagap.
"Pulang?" Mata Kafka menyipit.
"Hm. Aku nitip Abiel sebentar ya? Sekalian kamu makan siang."
"Tante..," Anak itu menatap Alea dengan polosnya.
"Kenapa, Nick?" Tatapan Alea melembut pada anak itu.
"Nick tidak apa-apa kok menunggu tante. Daripada di rumah Nick sendirian," ucapnya dengan senyuman tulusnya.
"Tapi, Nick. Nanti papa dan mamamu mencarimu. Ayo, tante antar pulang. Kau belum istirahat dan mengganti bajumu."
Anak itu menundukkan kepalanya. Raut wajahnya berubah murung.
"Tadi Nick bolos, Tante. Habisnya orang tua Nick tidak mau datang. Tadi kan ada rapat para orang tua murid, Tan." Nick bercerita dengan sangat lirih. Alea paham bagaimana perasaan bocah kelas 4 SD itu.
"Jangan bersedih. Ya sudah, tapi Nick kasih tau orang rumah dulu ya? Nick bisa main dengan Abiel. Mau?"
Nick mengangkat wajahnya. Sorot matanya berbinar seiring senyum senangnya yang merekah.
"Benar, Tante?" pekiknya tertahan.
"Iya. Kak Abiel, sini, sayang," panggil Alea.
Yang dipanggil segera merosot dari pangkuan Kafka dengan setengah hati seakan enggan meninggalkan paha ternyaman milik Kafka. Ia menghampiri Alea dengan wajah bersungut-sungut.
"Yes, Mom," ucapnya. Bibirnya mengerucut sangat menggemaskan. Khas Kafka jika sedang diganggu.
"Mau bermain dengan Kakak Nick? Kakak Nick-nya sendirian. Abiel temani kakak Nick ya?" pinta Alea lembut.
Abiel terdiam menatap Nick dengan sorot mata tak terbaca. Menatapnya dari inchi per inci. Ia seakan tak peduli dengan tatapan Nick yang mengharapkannya.
"Kakak Abiel?" tegur Alea masih dengan lembutnya.
Abiel hanya melirik sekilas lalu kembali mengamati Nick secara menyeluruh.
"Abiel Kafka!"
"Ya, baiklah. Ayo, Kak -Nick."
Alea menggelengkan kepalanya saat Abiel menyahuti panggilannya lengkap dengan memutar bola matanya. Ia kemudian mengajak Nick ke sebuah pintu di dalam ruangan kerja Kafka. Ruangan bermain khusus untuk kedua anaknya jika mereka sedang menyambangi Kafka saat jam kerja.
"Aneh. Anak itu cepat dekat denganmu," gumam Kafka mengusap wajahnya gusar.
Alea menoleh, memiringkan wajahnya, menatap Kafka. Pria itu nampak menyibukkan dirinya di balik laptopnya.
"Memangnya kenapa?" tanya Alea heran.
"Al, kalian baru kenal loh. Aku takutnya dia cuma sebagai alat saja."
"Maksudmu?" Alea beranjak dari duduknya setelah membentengi Aaron dengan tumpukan bantal sofa.
Kafka mendesah singkat. Ia memutar kursinya, memberikan akses Alea untuk duduk di pangkuannya. Kedua lengannya kini melingkari pinggang Alea.
"Tidak. Aku hanya terlalu cemas saja. Setelah tadi pagi kau melihat orang aneh lalu ada kiriman coklat tanpa nama. Sekarang, kau pulang membawa entah anak siapa. Ini aneh, Baby. Wajar bukan kalau aku berpikir sejauh ini?" terangnya sambil menyusuri kedalaman mata Alea.
"Ya. Itu bisa saja terjadi. Wajar saja. Tapi, Honey..., anak sepolos itu tau apa? Kasihan kan di jalanan sendirian? Mana dia baru di Jakarta. Nanti kalau diculik sama orang bagaimana? Kalau hal itu terjadi pada anak kita? Bagaimana perasaanmu?" Alea masih bersikukuh dengan pikiran positifnya.
"Tapi, sayang..,"
Alea menghela nafasnya. Ia melihat Kafka menunjukkan wajah frustasinya. Tapi sekalipun Kafka tidak mengeluarkan argumennya kembali. Pria itu hanya diam, memeluk Alea di pangkuannya.
Kalau saja kau tau, Al. Tidak! Aku tak akan membiarkan kamu tau. Aku akan menyelesaikan ini dengan cepat. Hanya ada kamu. Tidak boleh ada yang lain. Dan kamu, harus tetap bersamaku. Karena kamu sumber kebahagiaanku.
***
"Kafka!!"
Tubuh Kafka menegang saat mendengar suara wanita memanggilnya. Ia menoleh cepat ke kanan kiri. Sampai kemudian seseorang menghempaskannya ke badan mobil dengan tangan rampingnya.
Wanita berpakaian agak rendah, menampilkan kemolekan tubuhnya itu tersenyum hangat padanya, mengunci tubuhnya. Dia. Dia hadir di sini. Tubuh Kafka mengeras. Rasa asing yang pernah ada itu kini samar-samar ia rasakan kembali. Di sini. Di parkiran gedung kantornya, wanita itu berani hadir kembali dengan hasrat menggebu. Kafka bisa melihatnya. Sorot mata penuh cinta, penuh kerinduan. Yang dulu pernah ia lihat hanya untuknya.
Kafka mendesah dalam diam. Beruntung Alea pulang lebih dulu karena akan mengantar Nick.
"Apa kabarmu hari ini, Sayang?" Suaranya masih sama lembut menyentuh pendengarannya. Tidak! Tapi kali ini menyimpan seringaian.
Kafka melirik tajam wanita di hadapannya. Tapi kemudian ia merasa luruh saat kembali menatap mata lembutnya.
"Kenapa? Kenapa kau datang kembali?" tanya Kafka hampir merintih.
Wanita itu terdiam. Menghela napasnya sejenak kemudian menyunggingkan senyum singkatnya.
"Apa aku harus membuat alasan terlebih dahulu untuk bertemu dengan orang yang kucintai?"
Kafka melihat bibir itu bergetar, mungkin menahan sesak di dada yang menghimpitnya.
"Kalau dibutuhkan kenapa tidak?" tanya Kafka datar. Ia memandang bentangan langit senja sejenak.
"Karena rasa ini masih ada untukmu. Selalu dan selamanya," jawabnya lirih namun terdengar yakin.
Kafka tertawa kecil. Ia menyentak tubuh wanita yang menguncinya lalu masuk ke dalam mobilnya dengan sangat cepat bahkan sebelum wanita itu mendapatkan kesadarannya kembali.
"Kaf!!" jerit wanita itu terperangah.
Kafka menurunkan separuh kaca mobilnya, menyunggingkan senyum miringnya.
"Kau dulu mengenalku. Dan kuharap kau tak lupa, aku bukan tipe orang yang menerima kembali kehadiran seseorang yang sudah menyia-nyiakan aku. Dan oya, kuperingatkan agar kau tidak memperalat anakmu untuk kembali padaku. Karena itu akan sia-sia!"
"Kenapa tidak? Kita perlu mencobanya kembali, Kaf!"
"Tidak perlu. Kamu hanyalah masa lalu dan selamanya akan menjadi masa lalu."
"Kafka!!"
Kafka mengibaskan tangannya ke luar jendela mobilnya lalu segera melesat meninggalkan wanita yang masih saja meneriakkan namanya. Dibalik kemudi ia memandang kosong jalanan. Wanita itu secara terang-terangan mampu membangkitkan kenangan masa lalunya. Padahal mati-matian ia dulu menutup perasaanya. Gadis lugu yang ia pacari sejak kelas akhir SMP sampai kelas dua SMA itu kini menjelma menjadi wanita yang cukup berbahaya. Dalam lamunnya ia merasakan ketakutan yang tak bisa ia jabarkan. Kenapa? Kenapa dia harus datang kembali di saat Ia sudah memiliki segalanya. Kekayaan, Jabatan dan Wanita yang luar biasa seperti Alea.
Renata Febriana.
Nama itu...
Kafka meringis dalam diamnya. Aku memang pernah sangat mencintaimu. Aku bahkan sangat gila memperebutkan dirimu. Sampai-sampai aku menutup mata bahwa yang lugu, yang polos tak selamanya begitu. Dan sekarang, kenapa kau harus datang kembali? Menginginkanku setelah kau berhasil membuatku tak berdaya? Rena.., Renata.
"Nama yang cantik, Rena. Tapi tidak bagiku. Aku bersumpah, akan membuatmu membayar apa yang dulu pernah kau lakukan padaku. Tak peduli, sekalipun kamu adalah seorang wanita," desis Kafka. Tangannya mencengkeram kuat bulatan kemudinya sampai buku-buku jarinya terlihat memutih. Kakinya menginjak kuat pedal gas tanpa menghiraukan jalanan yang lumayan ramai. Ia kembali kehilangan kendalinya.
***
Tbc..
ada yang nungguin story ini?
apa udah bosen sama story2 gaje aq ya?
sorry, ga bisa bikin story yang menarik, perfect kayak yang lain..
aq hanya berniat menghibur ajaa sihh..
:* :* :*
13 August 2015
S Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top