[UN] BROKEN #4

Alea menghela napasnya kemudian menggeleng kecil, berusaha melupakan cerita tentang coklat. Ia melangkah pasti bersama Aaron di gendongannya, berhenti di depan gerbang sekolah taman kanak-kanak itu. Lima menit kemudian segerombol anak-anak berhamburan dari dalam kelas setelah mencium punggung tangan ibu guru-nya. Mereka nampak berseru dengan sesamanya, berpamitan melambaikan tangannya setelah bertemu dengan yang menjemputnya. Tanpa sadar Alea tersenyum sendiri.

Ia tersentak saat seorang bocah menubruk kakinya lalu memeluknya erat lengkap dengan senyuman lebarnya. Deretan gigi susu-nya yang masih rapi tanpa ada yang gerepes menambah ketampanannya. Ah, Kafka sekali anak ini.

"Mom!" serunya sambil bergelayutan di salah satu kaki Alea.

"Heyy, Kakak Abiel, bagaimana sekolahnya hari ini?" sapa Alea mengusap puncak kepala putra pertamanya.

"Abiel tadi menggambar Mom, Dad, Abiel sama adik Aaron. Mom, nanti minta Dad untuk menempelkannya di dinding ya?"

"Waw, iya nanti Dad akan menempelkannya," sahut Alea. Ia melihat wajah penuh antusias itu.

"Abiel maunya Dad memasangkannya di dekat foto Dad sama Mom."

Apa? Alea terdiam sejenak. Itu artinya Abiel memintanya untuk dijejerkan dengan foto pernikahannya di ruang keluarga, berjejer dengan foto-foto keluarga yang lainnya.

"Ya. Nanti Dad akan memasangkannya, Sunny. Ayo, kita akan membeli...,"

"Coklat! Yeaayy!!" seru Abiel sambil berjingkat. Alea tertawa kecil menggandeng tangan Abiel.

Satu tangan kosong Alea memberhentikan sebuah taksi yang sedang melintas. Alea membuka pintu taksi kosong itu.

"Maaf..,"

Sebuah suara membuat Alea urung masuk ke taksi sementara Abiel sudah duduk manis di dalamnya. Alea menegakkan wajahnya. Ia mendapati seorang anak laki-laki berdiri dengan wajah muramnya. Alea mengerutkan keningnya.

"Ya?"

"Tante bisa antarkan aku pulang? Aku lupa jalan pulang. Aku baru di sini," ucapnya tertunduk lesu.

"Rumah kamu dimana? Kau ingat alamat rumahmu?" tanya Alea.

Bocah itu menggelengkan kepalanya, "Nick baru tante di sini."

"Oh, my! Jadi namamu Nick?"

"Ya. Nichlause," jawabnya.

"Okay, Nick. Kau hafal nomer telpon rumahmu?"

"Ibu menuliskan untukku di buku tulisku," jawabnya polos.

Alea menarik napasnya sejenak.

"Okay, sementara kau ikut tante sebentar ya? Setelah itu nanti tante telpon untuk menanyakan alamat rumahmu."

"Terimakasih, tante."

***

Kafka membuang napasnya kasar. Matanya nampak geram menatap sepotong brownish dengan taburan keju tebal di atasnya, lengkap dengan kartu ucapannya. Ia membanting coklat yang tadi pagi ia terima di sisi brownish itu, lalu menghempaskan tubuhnya ke kursi kerjanya.

special breakfast for you ♡

So Damn for you!

Siapa yang iseng mengirimi hal beginian?! gerutu Kafka dalam hati. Dengan kasar ia meraih gagang telpon.

"Ben!"

"Ya, Bos?"

"Ke sini sekarang!"

Ia menutup telponnya tanpa menunggu Beny menjawab kalimatnya.

Sialan! Aku tak akan mengampuni siapapun yang bermain-main denganku! erangnya dalam hati. Tangannya mengacak rambutnya kasar. Tak lama Beny datang dengan tergopoh-gopoh tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Pria bermata sipit itu segera menghampiri Kafka.

"Kenapa?"

"Lihat ini!" Kafka menekankan bibirnya sehingga terbentuk garis lurus. Kedua tangannya seakan menampik partikel-partikel udara.

Beny tau, bos-nya sedang menahan geram di ubun-ubunnya. Ia menjatuhkan tatapannya ke meja dimana Kafka menggerakkan tangannya dengan kasar.

"Kiriman? Coklat dan Brownish? Ada nama pengirimnya?"

Kafka menggeleng.

"Bukan Alea?"

"Aku tau dia, Ben! Dia tak mungkin melakukan hal konyol seperti itu. Dan meskipun dia ingin memberi surprice, dia pasti akan bermain lebih manis. Tidak seperti ini!"

Beny menghela napasnya. Memang benar. Ia tau benar bagaimana wanita yang berhasil membuat boss-nya diam tak berkutik.

Tangannya kini mengusap dagunya. Matanya bergantian menatap Kafka dan benda yang membuat Kafka meradang. Ia nampak berpikir keras.

"Adam? Atau Adel? Atau mungkin Maura? Tapi yang terakhir itu sangat tidak mungkin. Karena aku yang pertama kali akan membuang barang-barang konyol itu sebelum Maura berikan untukmu," ketus Beny.

Kafka menyipitkan matanya sebelah. Beny akan sama ganasnya dengan dirinya jika menyangkut tentang Maura.

"Kenapa sekarang kau yang emosi? Argh, jangan membuatku bertambah pusing, Ben!" erang Kafka.

"Sorry. Okay, kalau menurutmu siapa pelakunya?"

Kafka mengangkat bahu. Ia terdiam, memejamkan matanya. Tangannya memijat pelipisnya. Apa mungkin dia? Tapi kenapa? Seketika Kafka mengingat kalimat terakhirnya kemarin sebelum dia meninggalkan ruangan Kafka.

"Aku tidak sedang mengungkapkan rinduku padamu. Tapi membuatmu tau bahwa aku bukan hanya sekedar rindu. Terimakasih, untuk waktumu, Kaf."

Apa ini yang ia maksud? Kafka menggelengkan kepalanya. Sesaat kemudian ia menegang. Pukul 11.35. Sebentar lagi Alea datang. Ia harus melenyapkan barang-barang itu segera agar Alea tidak semakin berpikir yang tidak-tidak dan menghubungkannya dengan seseorang misterius yang dilihatnya tadi pagi.

"Bawa semua barang itu ke ruanganmu. Kalau mau kau boleh memakannya," perintah Kafka.

"Apa? Bagaimana kalau ini ada racunnya? Sebaiknya buang saja!"

"Terserah kau mau apakan. Lakukan sebelum Alea datang," sahut Kafka sambil meregangkan badannya.

"Okay. Kemarikan!"

Beny segera meraup benda itu lalu membawanya keluar dari ruangan Kafka. Tak berapa lama ia kembali.

"Ada baiknya kau harus berhati-hati. Kudengar Pramudya masih penasaran ingin menjatuhkanmu. Kau selalu berhasil me-merger dan meng-akuisisi setiap perusahaan yang menjadi targetnya," ucap Beny sambil duduk di depan Kafka.

Pramudya? Pria tua yang pernah menjebaknya dulu bersama Maura. Kafka terkekeh. Ia menggelengkan kepalanya. Bisa saja pria tua itu pelakunya. Tapi seseorang dalam dirinya menggeleng keras. Ada yang lain. Bukan menginginkan kehancurannya. Tapi lebih pada dirinya. Tapi apa mungkin dia?

"Daddy! Abiel membeli banyak coklat. Mom memilihkannya untukku. Yey! Kita akan pesta coklat," seru Abiel merangsek masuk begitu sekretarisnya membukakan pintu.

Kafka menoleh lalu merentangkan tangannya, menyambut Abiel dalam pelukannya.

"Oya? Mana? Dad mau lihat," ucap Kafka sambil memberinya ciuman-ciuman di seluruh wajah Abiel.

"Ada di dalam tasku."

"Oya? Kalau gitu berikan tasmu pada Dad."

Abiel menggerakkan badannya tanpa turun dari pangkuan Kafka. Ia melepas tas ranselnya, membukanya dengan tak sabaran.

"Woa, banyak sekali! Om Beny mau dibagi tidak?" tanya Kafka sambil mengeluarkan bungkusan paperbag dari tas Abiel.

"Boleh. Tapi tiga saja. Kata Mom, jangan banyak-banyak makan coklat nanti giginya rusak. Benar kan Mom?" Abiel melemparkan tatapannya pada Alea yang masih berdiri. Alea mengangguk dan tersenyum lembut padanya.

"Anak pintar. Oya, bagaimana sekolahmu hari ini?" tanya Kafka. Ia mengamati Abiel yang tengah mengaduk-aduk paperbag lalu mengeluarkan 3 batang coklat dan memberikannya pada Beny. Benar-benar 3 batang.

"Abiel tadi menggambar, Dad," jawabnya penuh antusias.

"Oya? Nanti berikan gambarmu pada Dad kalau sudah di rumah ya? Duh, Dad tak sabar ingin segera pulang."

Sekali lagi Kafka mencium pipi Abiel. Bocah bermulut cerdas itu benar-benar menggemaskan.

"Hay, Ben," sapa Alea pada Beny setelah ia mengecup sekilas bibir Kafka. Beny tersenyum lebar melambaikan tangannya.

Sementara Kafka mengernyit, mendapati seorang anak laki-laki berdiri di belakang Alea dengan menundukkan kepalanya.

"Al..,"

"Apa, Kaf?"

"Itu..,"

"Oiya, aku lupa. Nick, sini, sayang. Duduk dekat tante," ucap Alea sambil menggiring anak itu ke sofa. Anak itu menurut. Ia bahkan merapat pada Alea seakan Alea adalah ibunya sendiri.

Kafka menyipitkan matanya saat Alea berkata pada anak itu, "kita makan siang dulu ya? Setelah itu tante akan mengantarmu pulang."

"Dia siapa, Babe?" tanya Kafka penasaran.

"Namanya Nichlause. Ia sendirian tadi di depan sekolahan."

Nichlause? Rasanya ia pernah mendengar nama itu. Ia mengamati wajah anak itu. Wajahnya pun tidak asing di matanya. Ia pernah melihatnya. Tapi dimana?

DIA? Tidak salah lagi. Dia. Kenapa tiba-tiba bisa begini? Dia datang kembali. Lalu anaknya bersama Alea. Oh? Apa ini memang sebuah kesengajaan?

Nichlause. Dari segala kemungkinan yang ada, kenapa harus anak ini? Dan kenapa pula wanita itu harus kembali lagi? Kafka meringis dalam diam. Jangan sampai perasaan itu hadir lagi. Tidak! Ia hanya akan mencintai Alea. Ia hanya akan menempatkan satu wanita di hatinya dan itu Alea. Nick dan wanita itu hanyalah sebuah iklan yang hanya mampir sesaat. Tidak lebih.

***

Tbc

pendek ya? iya sengaja sih bikin part yang pendek-pendek.

09 August 2015

S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: