[UN] BROKEN #38
"Al? Mau kemana?" tanya Mbak Tanti kaget saat mendapati Alea sedang membereskan barangnya.
"Semuanya sudah berakhir, Mbak. Mbak, aku titip anak-anak ya?"
"Astaga, Al?"
"Ini benar, Mbak. Bukan lelucon. Aku sudah gagal mempertahankannya."
Alea tersenyum getir. Gerakan tangannya memasukkan pakaian ke dalam kopernya terhenti saat Mbak Tanti menyentuh tangannya. Matanya menatap Alea luruh.
"Kamu wanita baik, Al. Kamu sudah berusaha sekuat tenaga..,"
"Tapi Tuhan mengatakan harus begini, Mbak," ucap Alea lirih sambil tetap tersenyum kecut.
"Apa hanya ini yang terbaik?"
"Ini sudah menjadi keputusannya."
"Keputusan ya?" gumam Mbak Tanti lirih. Sementara wajahnya sudah basah oleh air mata. Seolah penyesalannya itu kembali tergambar jelas melihat apa yang Alea alami.
"Boleh mbak memelukmu?" tanyanya lirih.
Alea terduduk di tepi ranjang di samping Mbak Tanti. Ia langsung melabuhkan dirinya di pelukan wanita yang selama ini banyak memberinya nasehat. Tangisnya kembali pecah di sana. Seolah ia meneriakkan ketidaksanggupannya, kelelahannya. Dan di titik ini ia harus benar-benar menyerah.
"Aku gagal, Mbak," bisiknya. Tubuhnya kini bergetar hebat. Ia tidak segan lagi meluapkan tangisnya yang sudah lama ia tahan.
"Tidak ada yang gagal, Al. Kau sudah berusaha dengan sekuat tenagamu. Mungkin memang ini sudah akhirnya. Kamu yang kuat ya?"
Alea menarik nafasnya dalam-dalam. Ia mengangguk singkat kemudian melepaskan diri dari pelukan Mbak Tanti. Kedua tangannya kini menyapu bersih air matanya. Tapi sia-sia.
"Biarkan saja mengalir. Jangan membuat wajahmu semakin kacau, Al," ucap Mbak Tanti.
"Tapi aku benci air mata, Mbak."
"Karena hanya akan membuatmu terlihat lemah?"
Alea mengangguk.
"Tidak selamanya air mata itu menceritakan kelemahan seseorang. Terkadang ia hadir untuk menenangkan, melunturkan semua kesedihannya Setelah itu kamu bisa kembali berdiri tegak."
"Ya," sahut Alea lirih.
"Kamu akan kemana?"
"Pulang ke apartemen, Mbak. Selanjutnya akan kupikirkan nanti. Aku --pasti akan sangat merindukan anak-anakku."
"Jadi aku tidak?" Sebuah suara hadir dari arah pintu.
Alea tersentak. Ia mendapati pria itu berdiri santai hanya dengan kemejanya tanpa dasi dan jas-nya.
"Kenapa harus?" sahut Alea sinis.
Alea kembali memasukkan baju-bajunya. Sementara Mbak Tanti beranjak pergi.
"Kamu kan istriku. Jadi kau harus merindukan aku juga."
"Akan menjadi mantan dalam waktu dekat."
Kafka menaikkan alisnya. Ia melangkah mendekat. Tangannya kini mengeluarkan baju-baju yang sudah Alea masukkan dengan rapi.
"Sudah kubilang, kamu adalah istriku," ucapnya santai ketika Alea menatapnya marah.
"Tidak lagi. Kamu sudah memutuskan untuk..,"
"Menyuruhmu meninggalkannya. Bukan meninggalkanku. Kau belum mendengar kalimatku selanjutnya tapi kau sudah mengambil kesimpulan."
"Jangan mempermainkanku, Kafka. Kita sudah berakhir."
Kafka menyeringai. Ia merapatkan tubuhnya pada Alea. Mengunci mata itu sampai Alea hanya berdiri terdiam. Satu tangannya kini meraih pinggang Alea.
"Aku hanya bermain-main sedikit denganmu. Aku sengaja mengatakan -nya- dalam hati. Karena kamu terlalu sering bahkan hobi membuat hatiku kebat-kebit. Terlebih mengenai Alfa."
Seperti terhipnotis, Alea sedikit mendongakkan wajahnya, menatap wajah Kafka dengan sangat dekat.
"Aku menyuruhmu untuk meninggalkan perasaanmu terhadap Alfa. Bukan meninggalkanku. Karena aku tau, wanita tangguh sepertimu tidak akan pernah membohongiku.
Kamu, mencintaiku dan selamanya akan seperti ini. Dan aku akan selalu mempercayaimu," ucapnya dengan sangat lembut.
Alea mengerjabkan matanya. Jadi?
"Jadi? Kamu..."
Kafka menahan senyum gelinya tanpa menjauhkan wajahnya dari Alea.
"Kamu mengerjaiku? Iya?"
Kafka mengangguk lalu terkikik geli.
"Kafkaa!!! Ini tidak lucu! Aku..,"
"Maaf. Mungkin ini ide terkacau. Tapi, entah kenapa aku sangat ingin melakukannya."
Alea langsung menyembunyikan wajahnya di dada pria itu. Tangis kembali pecah.
"Ssh, Baby. I'm really sorry..,"
"Kamu jahat, Kaf. Kamu membuatku seperti orang gila! Aku menangisi hal bodoh. Kamu..."
"Ya, Ya. I know. Maafkan aku."
"Becandamu tidak lucu!!" seru Alea patah-patah sambil memukuli dada Kafka dengan sisa tenaganya.
"Aku meminta maaf, Sayangku."
"Aku pikir --kita benar-benar berakhir. Kita.."
Tangan Kafka menarik ikatan rambut Alea hingga wanita itu mendongakkan kepalanya. Bibirnya kemudian menyumpal bibir kenyal Alea, menciumnya dengan segenap perasaannya. Melumatnya perlahan hingga Alea kini lemas di pelukannya, menanti sentuhan-sentuhan lebih darinya. Bibir wanita itu kini mulai membalas lumatan Kafka dengan tak kalah ganasnya.
Ruangan itu kini dipenuhi dengan irama saling mencecap. Lidahnya bertemu saling mengait, menari seiring nafas yang mulai memburu. Tangan itu tidak tinggal diam. Gerakannya semakin menerbangkan Alea ke dalam sensasi kenikmatan langit ke tujuh.
"Tidak akan ada seorang pun yang bisa memisahkan kita, Baby," bisik Kafka di antara ciuman panasnya. Tangannya kini mendorong tengkuk Alea untuk memperdalam ciuman panasnya.
"Kaf,"
"Ummmh," erang Kafka tanpa berniat menyudahi ciumannya padahal ia sendiri juga sudah kuwalahan mengatur nafasnya.
"I love you,"
"More than you know, Baby...," bisik Kafka menyudahi ciumannya.
Dadanya naik turun karena kehabisan nafasnya. Ia menyatukan dahinya dengan dahi Alea. Kedua tangannya masih memeluk ketat tubuh Alea.
"Bagaimana dengan Renata?" tanya Alea lirih.
Kafka menjawabnya dengan seringaian lebarnya. Ia kemudian menceritakan bagaimana ia bisa membuat Renata bungkam.
"Jangan senang dulu. Aku hanya mengerjai wanitaku. Keputusanku tetap bersamanya. Dan --kamu harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu!"
"Maksudmu?"
"Hasil tes DNA yang kau buat-buat seakan itu adalah benar. Kamu membuat seorang dokter menyalahi aturan. Aku baru saja memerintahkan anak buahku untuk mengurus ini."
"Kafka..,"
"Sudah saatnya kamu berhenti bermain-main denganku. Tidak ada alasan yang bisa menahanku, Renata."
"Tapi..,"
Kafka menggeleng tegas. "Jangan jadikan Nick sebagai tamengmu. Ia bahkan lebih nyaman dengan wanitaku. Dan itu lebih baik!"
Setelah itu Kafka melangkah pergi setelah memastikan anak buahnya hadir untuk mengurus wanita itu untuk diamankan.
Alea membelalakkan matanya mendengar cerita dari Kafka.
"Jadi?"
"Aku memutuskan untuk membiarkan Nick tinggal bersama kita. Lagipula Alfa sudah menyerahkan perusahaannya..,"
"Aku tau," potong Alea.
"Bagaimana kamu bisa tau?"
"Tadi Alfa yang mengantarku pulang."
Kafka menyipit tajam.
"Hanya mengantar! Jangan lebay!" ketus Alea.
"Aku tau. Kamu tidak akan mungkin sanggup berpaling dari seorang Aditya Kafka."
"Dan sayangnya, seorang Aditya Kafka sanggup berpaling dari Alea Salsabill."
Kafka mendelik tajam. "Itu tidak benar! Karena seorang Alea sudah mengisi penuh hatinya."
Alea memutar bola matanya. Tangannya mencubit kecil perut keras kotak-kotak itu.
"Argh! Sakit! Ini --kamu?" Kafka menjerit. Matanya kemudian menatap Alea lekat-lekat.
"Kamu menyenggol asetku. Dan kamu berhasil membangunkannya!" geram Kafka.
"Bukan masalahku!" balas Alea sengit.
"Baby!!"
Alea melemparkan tatapan sebalnya. Ia meronta melepaskan diri dari Alea. Tapi kemudian pelukan Kafka terlepas begitu saja saat matanya bertumpu pada sebuah amplop di atas meja night stand. Kafka melangkah. Tangannya mengambil amplop itu.
"Ini --"
"Surat perceraian," sahut Alea singkat.
"Baby!!"
Alea mengangkat bahu acuh. Ia mengamati pria-nya yang membolak balik amplop coklat polos itu dengan tangan gemetar.
"Jelas tidak mungkin amplop surat perceraian sekecil itu. Ck!" celetuk Alea dari tempatnya berdiri.
Kafka membalikkan badannya. Ia kembali mendekati Alea sambil mengeluarkan isi amplop itu.
"Bukan juga slip gaji. Memangnya aku bekerja apa?"
Kafka tidak menyahut. Matanya kini tertuju pada lambang yang tertera di sana. Membacanya dengan seksama kemudian menatap Alea dengan tajam.
"Baby?"
"Yeah?" Alea menyengir lebar.
"Oh, my God!! Kamu mengabulkan permintaanku?! Yess!!" teriaknya senang langsung menarik Alea ke dalam pelukannya.
"Youre pregnant, Baby.." desis Kafka masih tidak percaya.
"Iya. Tapi...,"
"Kenapa?" tanya Kafka cemas.
"Bagaimana kalau nanti ia lahir perempuan? Abiel tidak menyukai adik perempuan...," ucap Alea pelan.
"Dia pasti laki-laki. Percaya padaku."
"Ck, serius!!"
"Iya, serius! Terima kasih banyak, Baby. Untuk semua pengorbananmu. Untuk semua waktu yang kamu berikan untuk aku dan anak-anakku."
"Karena cinta telah mengikatku pada sebuah janji, Kafka."
Kafka menarik kepala wanitanya hingga rebah di dadanya. Mengecupi puncak kepalanya dengan segenap perasaannya.
"Ck, mereka menjijikkan," dengus Abiel di ambang pintu.
"Kau akan memiliki adik lagi," bisik Nick.
Abiel memutar bola matanya, "aku tau. Dan aku tau, mom pasti akan menepati janjinya. Mom akan memberikan adik laki-laki. Bukan perempuan!"
Nick mengangguk-angguk. Tak lama Abiel berteriak kesal ketika melihat Daddy-nya mulai memakan mulut Mommy-nya.
"Sampai kapan aku harus memegangi ini?!! Abiel pegal dan haus. Lapar juga!!" teriaknya kesal.
Dua orang dewasa itu menjengit kaget. Kepalanya segera menoleh dan mendapati Abiel dengan tatapan kesalnya berdiri di ambang pintu memegang bucket besar bunga mawar berwarna peach kesukaan Alea. Di sampingnya ada Nick membawa kotak berwarna coklat gold lengkap dengan pita.
"Oops! Aku melupakan hadiah untukmu dan mereka," gumam Kafka.
"Kebiasaan!!"
"Maaf," sahut Kafka.
"Kemarilah," ucap Alea merentangkan kedua tangannya dengan lebar. Dua anak itu langsung berlari masuk, menubruk Alea dengan senyuman lebarnya.
"Untuk Mom?" tanya Alea.
"Yes, Mommy," ucap Abiel. Sementara Nick menganggukkan kepalanya.
"Ouh, so sweet. Thank you."
"Buka dulu kotaknya," bisik Kafka.
Alea melebarkan matanya. Perlahan ia membukanya.
"Tiket? Surat ijin domisili?"
Alea menatap Kafka meminta penjelasan. Pria itu meringis lebar.
"Aku.., ada perlu mengembangkan perusahaanku. Aku sedang ada proyek bekerja sama dengan Mister Jason di Aussie. Jadi, kita akan pindah ke sana untuk mungkin tiga tahun. Dan aku tidak bisa jauh dari kamu dan anak-anak. Jadi...,"
"Tapi aku sedang hamil, Kaf."
"Keberangkatannya sebulan lagi, Baby. Dan itu usia kandunganmu berarti empat bulan. Semoga ia kuat seperti kamu."
"Hm. Terserah kau saja. Ayo, anak-anak. Katanya kalian lapar," ucap Alea merengkuh dua anak itu.
"Yeay!!" seru keduanya bersamaan lalu melepaskan diri dari Alea, berlarian menuruni anak tangga menuju ke dapur.
Sebuah tangan menarik pinggang Alea hingga membentur tubuh itu. Ini sudah jelas Kafka pelakunya.
"Aku juga lapar. Lapar batin bukan perut," ucapnya menyeringai.
"Kafka!!"
"Tidak ada alasan untuk menolak, Baby," geram Kafka, kembali menyumpal mulut Alea dengan bibirnya.
***
End
yeayy.. akhirnya cerita gaje ini sudah berakhir..
aku tau masih banyak kekurangan. Tapi.., ya sudahlah aku menulis untuk menghibur otakku sendiri.
masih nggak pede untuk bermimpi tinggi. Apalagi nerbitin novel seperti yang lainnya.
okehh..
jangan bosen buat mampir ke akun saya yaa.. siapa tau ada yang khilaf pengen iseng liat2..
terimakasih banyak buat udah yang bersedia mengikuti cerita ini, ninggalin vote atau malah comen yang ga pernah aku balas. bukan sombong, tapi bingung mau balas apa. yang pasti komen kalian bikin aku senyum2 sendiri.
terakhir.. big big big love untuk kalian semua.
08 Oktober 2015
00.50
S Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top