[UN] BROKEN #37

"Jadi bagaimana ceritaku? Apa ini menarik? Bisakah kalian mengambil kesimpulan?"

Kafka tercenung. Ia sibuk mencerna setiap kalimat dari cerita yang Alea sampaikan. Jangan sampai ia memutuskan hal yang bodoh. Untuk kali ini saja biarkan ia sedikit pintar.

Wanita itu dengan sepupu Alfa, gumam Kafka dalam hati. Berhubungan intim untuk beberapa kali. Dan --Alfa sama sekali tidak pernah menyentuhnya. Itu artinya...

Kafka mengembuskan nafasnya. Ia tau sekarang. Ia tau apa yang harus dia putuskan. Tapi hasil tes DNA? Ia menaikkan alisnya sebelah. Sudut bibirnya terangkat sinis.

"Mencoba membohongiku, hem?" tanya Kafka dengan nada suara rendah.

Tatapannya tajam, lurus bergantian menatap Alea dan Renata. Membuat kedua wanita itu bingung siapa yang Kafka bicarakan kali ini. Tapi bagi Renata, tuduhan itu tertuju pada Alea. Ia menyunggingkan senyum kemenangannya.

"Kau lihat? Kafka tidak percaya padamu," ucapnya.

Alea menahan nafasnya. Memang sulit untuk meyakinkan sebuah kebenaran. Sebuah tangan seakan meremas-remas hatinya. Batinnya mengatakan pada dirinya sendiri yang mulai terasa lemah, jika memang harus berakhir maka berakhirlah. Tapi kumohon jangan terberai di sini. Nanti saja jika aku sudah sendiri. Kau boleh terberai tanpa sisa.

"Aku sudah katakan, aku siap dengan segala konsekuensi yang ada, Renata," sahut Alea berusaha menyembunyikan getar sakitnya.

Hal yang paling menyakitkan adalah ketika orang yang kau cintai tidak lagi mempercayaimu.

Seseorang dalam hatinya berbisik demikian. Ia tetap berdiri tegak dengan mata tajam sedikit mengabur.

"Jadi apa kesimpulan kalian?" Alea mengulang pertanyaannya. Jujur saja ia sudah tidak sabar.

"Apa yang kau ceritakan sama sekali tidak bisa mengubah kenyataan bahwa Nick adalah anak kami --Renata dan Kafka," tegas Renata.

"Itu kesimpulanmu. Lalu kamu, Kaf? Kesimpulanmu adalah penentu keputusanku. Apa aku harus tinggal atau malah meninggalkanmu."

Kafka menyipit tak senang. Seringaian kecil tercipta di bibirnya, memangnya kamu saja yang bisa membuat hatiku kebat-kebit, Baby?

"Lalu bagaimana kalau kamu yang harus meninggalkan?" tanya Kafka datar. --nya? lanjutnya dalam hati.

Seketika nafas Alea sesak. Ia mengerjabkan matanya beberapa kali. Tangannya mengepal kuat untuk mengeraskan hatinya agar tidak terberai di tempat. Ia tidak boleh menangis. Nanti saja kalau sudah sendirian. Alea menarik nafasnya kuat lalu mengembuskannya perlahan.

"Begitu?" tanya Alea parau.

"See? Kafka selalu berpihak padaku."

Alea menyunggingkan senyumnya. Ia mengerti sekarang. Mungkin sudah saatnya ia harus merelakan semuanya.

Kebahagiaan tidak selalu bersumber dari orang yang kita cintai, bukan? Alea masih tersenyum kecut.

"Okay, kalau begitu selamat untukmu, Nyonya Renata," ucap Alea berusaha berbesar hati. "Aku akan meninggalkannya sesuai dengan kesepakatan. Dan kamu, Kaf. Aku menunggu surat perceraian itu secepatnya," lanjut Alea lalu melangkah menuju ke ruang bermain memanggil dua anak itu untuk segera pulang.

"Kau bisa meninggalkan kami sendiri. Tidak dengan mereka," seru Renata.

"Baby..,"

Oh, bagus! Jerit Alea dalam hati lalu berbalik. Ia melangkah tegap meninggalkan ruangan itu dengan tangan kosong dan kehancuran hatinya. Ia menutup telinga teriakan Kafka yang memanggilnya. Kaki kecilnya berlari cepat sampai ia beberapa kali menubruk karyawan.

Begitu ia sampai di luar gedung, Alea menumpahkan tangisnya. Ia melangkah gontai menyusuri trotoar menuju ke halte bis terdekat. Di antara tangisnya, ia menertawakan nasibnya sendiri.

"Ini apa? Lucu sekali, hahaha.."

Ia menengadahkan kepalanya ke langit. Menantang terik matahari dari balik air matanya.

"Aku sendiri sekarang. Aku gagal menjadi wanita tangguh. Apa kau akan menertawakan aku juga?"

Ia tertawa lirih lagi. Kemudian kepalanya kembali tertunduk. Tetes air matanya mulai jatuh di atas trotoar sepanjang langkahnya. Bersamaan dengan itu ponselnya berdering. Nama Alfa berkedip-kedip di sana.

"Ya?" jawab Alea serak.

"Hey, kau baik-baik saja kan? Aku baru selesai meeting."

"Baik," jawab Alea lirih.

"Kau yakin?"

Alea menghela nafasnya, "Ya. Tentu saja aku baik. Memangnya ada alasan untukku tidak baik?"

"Suaramu mengatakan tidak meskipun mulutmu berteriak baik-baik saja. Kau dimana? Biar aku jemput."

"Jangan!"

"Kenapa? Kau takut suamimu memarahimu? Kafka kan? Aku juga sudah mencari tau. Jangan takut. Toh aku tidak berniat mengambilmu darinya. Aku cukup tau diri."

"Alfa..,"

"Aku berjanji, Al. Aku memang masih mencintaimu. Tapi aku tau, cintaku tidak boleh egois hingga merebutmu dari seseorang. Itu sangat memalukan dan childish. Aku akan tetap mencintai kamu dengan caraku sendiri. Kamu pasti paham."

Ya, seperti Adam yang akhirnya memilih menjadi kakak untukku agar tetap bisa berhubungan baik denganku, gumam Alea dalam hati.

"Aku --mengerti."

"Good. Tunggulah di situ."

Alea terduduk di bangku halte. Menunduk sempurna, menyembunyikan tangisnya. Tapi sebenarnya untuk apa disembunyikan toh halte siang ini hanya berisi dirinya sendiri. Tidak ada orang lain.

Bagaimana kalau aku memilih kamu untuk meninggalkan?

Tubuhnya kini bergetar. Ia tidak mampu lagi untuk berdiri tegar seolah ia baik-baik saja.

"Apa sesulit itu mengungkap sebuah kebenaran? Apa sesulit itu membuatnya percaya padaku?" tanya Alea lirih pada dirinya sendiri.

"Apa yang sudah terjadi?"

Sebuah kaki kini berhenti sempurna di hadapannya. Apa ini Kafka? Dengan cepat Alea menegakkan wajahnya. Senyumnya pudar tergantikan oleh tangisnya.

"Peri kecil..,"

Kenapa? Kenapa harus Alfa yang berada di hadapannya sekarang? Kenapa harus pria itu yang tidak pernah berhenti mencintainya? Kenapa pula takdir tidak pernah menuliskan mereka untuk bersama? Kenapa?

Ini --terlalu banyak kenapa--yang semakin membuat Alea bertambah sesak. Tidak hanya itu. Juga perasaan nyeri yang teramat sangat. Ini tidak adil untuk Alfa.

"Kenapa kamu ke sini?" tanya Alea bodoh.

"Begitu? Apa begitu pertanyaan untuk seseorang yang berniat tulus merengkuhmu yang sedang kacau seperti ini? Orang mana yang akan tega melihat wanita cantik sepertimu menangis? Ayo, masuk. Kamu bisa ceritakan semuanya. Dan tunggu --kemana Abiel dan Nick? Bukannya aku menitipkan Nick padamu?"

"That's the problem," ucap Alea lemah. Ia mengikuti Alfa untuk masuk ke dalam mobil pria itu.

"Oya? Hm, sepertinya kamu harus tau sesuatu dulu. Ceritaku singkat. Nanti setelah itu aku akan mendengar semua cerita panjangmu."

Alea menoleh. Pria itu tersenyum misterius sambil men-starter mobilnya.

"Aku baru saja menggabungkan perusahaanku di bawah naungan Aditya Group. Milik suamimu kan?"

Alea terperanjat. Apa maksudnya?

"Jangan berpikir yang tidak-tidak. Aku hanya memprotek perusahaanku. Kelak pasti akan jatuh ke tangan Nick. Dan aku ingin perusahaan itu tumbuh sehat. Kafka pasti tau cara mengelolanya dengan baik. Aku entah kenapa tiba-tiba merasa tidak mampu."

"Alfa, kamu..,"

"Aku ingin kembali menjadi orang biasa. Tanpa beban, sebagaimana dulu aku pernah menikmatinya kehidupan itu. Kau pasti mengingatnya."

"Tapi, Alfa..,"

"Aku sudah memikirkan segala konsekuensinya. Kau pasti ingat, dulu --cita-citaku tidaklah muluk. Hidup tenang di tengah perkebunan sederhana. Aku ingin menghabiskan waktuku di sana, Alea."

Alea menatap pria itu tidak percaya. Tapi pria itu tersenyum penuh keyakinan. Seolah beban yang selama ini dipikul akan lenyap dalam sekejab.

"Bogor. Aku akan ke sana. Jangan sedih. Oya, sekarang giliranmu."

Alea terdiam. Ia pikir Alfa tidak akan menagih ceritanya. Tapi sekarang.., Alea menggigit bibir bawahnya.

Ia mulai menceritakan semuanya tanpa ada yang tertinggal sedikitpun.

"Kafka meminta kamu meninggalkan?" tanya Alfa tak percaya.

Alea mengangguk lemah. "Apa aku masih harus berdiri tegak? Apa kali ini aku masih tidak boleh membiarkan aku terberai?"

"Memang sulit untuk membuat orang percaya mengenai sebuah kebenaran di saat kebohongan itu berbungkus bukti kuat yang seolah-olah membenarkan."

"Nick dan Abiel bersamanya."

Nick? Mata Alfa meredup.

"Kalau aku memaksa mengambilnya pun, aku tidak ada hak, Alea. Aku bukan siapa-siapanya Nick. Dimana-mana ibu kandung yang lebih berhak."

Alea tersenyum kecut, "kau benar."

"Sudahlah. Aku akan mengantarmu pulang. Maaf, aku tidak bisa membantu banyak. Kurasa ini garis teritorial dimana aku tidak berhak ikut campur urusan rumah tanggamu, Al. Tapi apapun keputusanmu, ingat ada aku di sini yang selalu siap memelukmu saat kamu benar-benar sudah tidak sanggup lagi."

"Terima kasih."

"Tidak apa-apa. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk orang yang kucintai."

"Alfa..,"

Alfa menoleh. Ia menatap Alea dengan sama lembutnya seperti dulu.

"Tapi kau berhak bahagia. Apa kamu tidak berminat untuk mencari..,"

Dengan cepat Alfa menggeleng. "Aku tidak pernah bisa mencintai yang lain. Aku cukup bahagia seperti ini. Lagipula aku baru saja menyandang status duda." Alfa terkekeh.

"Duda perjaka," sahut Alea menahan tawanya.

"Bukan masalah. Yang penting hatiku ada yang memiliki," balas Alfa diantara tawanya.

"Maafkan aku..,"

"Tidak perlu meminta maaf. Sudahlah. Kau tau bagaimana aku. Ini keputusanku, Alea."

"Tapi..,"

"Aku sudah bahagia, Al. Argh! Kau masih saja keras kepala seperti dulu."

"Okay, Baik. Baik. Aku mengerti."

***

Tbc..

ayoooo yang mau marah sama Kafkaa...
sepeti biasa aku sengaja membuta kalian darah tinggi karena Kafka... xixixi..

happy reading.

07 Okt 2015
S Andi


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: