[UN] BROKEN #36
"Sialan!! Aku harus pakai bahasa apa agar kamu mengerti, hah?" desis Kafka geram.
Ingin rasanya ia mencekik wanita itu. Baru saja ia merasakan hidup tenang dengan Alea, ada lagi masalah baru yang timbul.
Tapi tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki mendekat. Kafka memejamkan matanya, dalam hati ia berharap orang itu adalah Alea.
Semoga saja ia tidak salah paham lagi, gumamnya dalam hati.
"Maaf, aku kembali. Soalnya tadi aku lupa belum bayar ongkos taksi."
Suara itu membuatnya lega seketika sekaligus menahan geli.
"Woa? Lupa bayar atau memang tidak ada uang?" celetuk Renata sinis.
Alea memicingkan matanya. Ia mendekati Renata dengan tenang. Matanya menatap lurus wanita itu.
"Ehem? Saya lupa. Dan untung saja anak-anak masih menunggui di depan bersama security. Oya, siapa nama anakmu?" tanya Alea tanpa ada rasa takut.
"Nichlause Aditya. Kenapa? Sudah merasa sadar diri?" sahut Renata sinis.
Alea menaikkan alisnya, tak kalah sinisnya. Nichlause Aditya? Sudut bibirnya terangkat. Dia sudah menyelidikinya sebelumnya. Jangan meragukan sepak terjang seorang Alea Salsabill. Badannya boleh mungil tapi dia tidak mengenal takut sedikitpun ia memang ia tidak salah. Kerapuhan-kerapuhannya dulu mencambuknya untuk menjadi kuat.
Tidak hanya itu. Berbagai pengalaman pahit bersama Kafka dulu menjadikannya untuk tidak gegabah. Kalau dulu ada Maura di saat Alea masih labil, sekarang ada Renata. Dan ia tidak boleh terpengaruh lagi.
"Anakmu dengan Kafka?" tanya Alea menyipit.
"Ya. Dan kamu seharusnya sadar diri."
"Mommy!!!" seru seseorang berlarian menghampirinya masih dengan seragam sekolahnya.
"Tante, Abiel curang! Nick ditinggalin di dalam toilet," seru seseorang lagi.
Dua anak itu sekarang berada di rengkuhan Alea, membuat Renata tersentak. Begitupun dengan Kafka.
Gerakan mencengkeram pinggang Alea di satu sisi membuat Alea terdiam sejenak. Nick begitu ketakutan mendapati Renata di dalam ruangan ini. Refleks, Alea mengeratkan rengkuhannya di bahu Nick lalu menjatuhkan senyum tipis menenangkannya.
"Apa ini anak yang kau bicarakan?" tanya Alea.
"Nick? Baby, bagaimana kamu bisa mengenalnya?" tanya Kafka. Ia mulai merasa frustasi. Permainan apa yang sedang Renata jalankan? Lalu kebenaran apa yang sedang Alea sembunyikan?
Ia memijit pangkal hidungnya. Kepalanya tergeleng beberapa kali. Sungguh ia merasa pria paling bodoh sekarang.
"Nick?" desis Renata tak percaya.
"Kenapa?" tanya Alea menahan kuat Nick saat Renata mencoba menarik anak itu.
"Dia anakku dengan Kafka! Kemarikan!"
"Kamu tidak bisa menyembunyikan kebohongan apapun dariku. Apa aku perlu menelpon Alfa untuk menjemput anak ini?" ucap Alea dingin. Sikapnya sangat tenang tapi mendebarkan seperti seorang yang siap menjatuhkan hukuman.
Alfa? Astaga! Kafka baru ingat. Ia pernah melihat anak itu bersama Alfa. Jadi, Renata adalah mantan istri Alfa? Sejauh ini ia baru menyadarinya? Oh, dunia pintar sekali mempermainkannya.
Tunggu! Itu berarti Alfa sudah sendiri. Bagaimana kalau? Tidak, Alea hanya miliknya. Alfa tidak akan bisa mengambilnya. Kafka menahan nafasnya selama beberapa detik. Kenyataan bahwa Alfa kini sendiri sangat mengganggunya sampai-sampai ia tidak mendengar jelas perdebatan dua wanita itu.
"Dia memang anak Kafka!" seru Renata bersikeras.
"Kalian berdua, lekas masuk ke sana. Jangan keluar sebelum Mom memanggil kalian," perintah Alea pada kedua anak itu untuk menuju ke ruang bermain.
Alea tidak ingin anak-anak itu mendengar pertengkaran itu. Ia tau, hal itu malah akan merusak sistem kerja otak anak-anak.
"Jujur atau aku yang akan mengatakannya?" tantang Alea.
"Ada apa sebenarnya?" tanya Kafka akhirnya.
"Apa yang harus kukatakan lagi? Memang dia anak aku dan Kafka. Sebaiknya kau belajar menerima," ucap Renata pada Alea dengan tatapan sengitnya lalu beralih pada Kafka dengan tatapan memohon, " Kaf, jangan pernah percaya dengannya!"
Alea tersenyum mengejek. Ia melangkah menuju ke jendela. Menghela nafasnya dalam-dalam agar tidak terpancing emosinya. Beberapa menit berlalu. Ia kemudian membalikkan badannya, menatap dua orang itu tajam. Tangannya bersilang di dada.
"Okay, mungkin Nick adalah anak kamu dan Kafka," Alea memberi jeda sejenak. Ia menerawang jauh.
Sementara itu Kafka menantinya dengan was-was sambil sesekali melemparkan tatapan membunuhnya pada Renata. Bagaimana jika Alea percaya Nick adalah anak Kafka?
"Aku punya sebuah cerita. Kumohon kali ini kalian dengarkan. Setelah itu, aku tidak akan memaksakan diri untuk bertahan. Renata, kamu bisa memilikinya jika pada akhirnya Kafka memilih untuk meyakini Nick adalah anaknya. Dan kamu, Kafka. Aku tidak memaksamu untuk mempercayaiku. Kali ini, dengarkan dan ikuti kata hatimu. Aku selalu siap dengan resiko yang ada."
Ini sudah konyol! Kafka menggeram dalam hati. Kenapa Alea melakukan ini? Lalu cerita apa? Demi apapun, ia akan tetap mempertahankan Alea, setelah apapun cerita sialan yang akan Alea ceritakan. Ia melirik Renata yang seperti tersenyum puas.
Kamu tidak akan bisa menyeret Alea untuk keluar dari lingkaranku, Renata, desis Kafka dalam hati.
"Bisa dimulai sekarang saja ceritanya?" tanya Renata tak sabar.
"Bersabarlah Renata," ucap Alea mengulum senyumnya. Ia ingin mempermainkan Renata, membuat wanita itu dilanda penasaran.
"Baik, aku mulai ceritanya. Begini, aku memiliki seorang teman laki-laki. Hidupnya mungkin penuh keberuntungan di mata orang-orang. Tampan, kaya dan sempurna. Tapi kenyataannya tidak.
Dia dibuang oleh keluarga ayahnya bersama ibunya. Lalu saat beranjak remaja ia ditarik kembali dengan melenyapkan ibunya. Dia akhirnya besar di bawah kekuasaan kakeknya yang terkenal kejam. Dia digembleng untuk menjadi pewaris tunggal kerajaaan bisnisnya."
Suara Alea terdengar seperti menyimpan gelegak emosi. Kafka tau siapa yang Alea ceritakan. Seorang Alfa yang membuatnya sukses tersedak cemburu.
"Pada masanya ia dijodohkan dengan seorang wanita yang sama sekali ia tidak cintai. Karena hatinya hanya dimiliki oleh satu orang. Gadis kecilnya. Ia sudah penuhi hatinya hanya untuk gadis itu.
Tapi sekali lagi ia tidak bisa melakukan apapun. Ia kehilangan jejak gadis kecilnya. Dan apa kau tau siapa wanita yang dijodohkan itu?"
Alea memainkan matanya, menggerak-gerakkan bola matanya. Ceritanya membius dua orang itu. Terlebih Renata.
"Wanita itu ceritanya adalah wanita lugu yang berasal dari keluarga yang gila harta. Lucu ya? Kepolosannya membuat salah seorang sepupu laki-laki itu terpesona. Laki-laki itu menyadarinya. Tapi ia membiarkannya. Kenapa? Karena ia tau, dengan begitu ia bisa menghancurkan wanita dan keluarganya dengan mudah.
Dan sangat disayangkan lagi. Kepolosannya hanyalah sebagai kedok saja. Dia sama sekali tidak berbeda dengan keluarganya. Ia terbuai dengan kenikmatan-kenikmatan yang sepupu itu berikan. Ia menyerahkan segalanya."
Alea tertawa lirih. Ia melangkah mendekati dua orang itu.
"Itu terjadi berkali-kali selama sebulan sebelum hari pernikahan tiba. Entah apa yang wanita itu pikirkan. Atau mungkin untuk menghilangkan jejak karena pas seminggu sebelum hari H, sepupu lelaki itu tewas tertembak oleh seorang mafia yang menjadi musuh bisnisnya.
Wanita itu akhirnya menemui mantan kekasihnya. Membuatnya tidak sadarkan diri. Lalu mengarang sebuah cerita bahwa mereka bercinta. Hahaha, aku tidak habis pikir. Kenapa harus bertingkah seperti jalang?"
"Alea...,"
"Aku belum selesai, Kafka. Oke, aku lanjutkan. Wanita itu mengandung pada akhirnya. Jelas itu benih dari sepupu lelaki itu. Karena lelaki itu sama sekali tidak menyentuhnya. Kenapa? Karena ia sama sekali tidak tertarik. Terlebih setelah mengetahui wanita itu tidak bisa menjaga harga dirinya.
Bahkan sampai pernikahan itu berakhir. Lelaki itu masih menjaga hati dan tangannya. Kalian tau? Lelaki itu bersedia menjadi ayah dari anak yang bukan darah dagingnya karena senasib. Anak itu tidak pernah merasakan kasih sayang dari ayah dan ibunya. Sama seperti lelaki itu."
Alea melirik Renata yang berdiri membeku. Ia tersenyum penuh kemenangan. Matanya lalu beralih pada Kafka yang sibuk mencerna setiap cerita yang Alea ucapkan.
"Jadi bagaimana ceritaku? Apa ini menarik? Bisakah kalian mengambil kesimpulan?" Alea memainkan alisnya.
"Lalu kemana wanita itu?" tanya Kafka.
"Well, jadi..., wanita itu hanya sibuk mengejar mantan kekasihnya yang sudah memiliki kehidupan sendiri. Ia tidak peduli dengan pria kecilnya."
"Itu...," Renata terkesiap seketika. Lututnya terasa lemas. Bagaimana bisa?
"Ceritanya cukup sampai di sini. Sekarang, aku menginginkan kesimpulan kalian dari seluruh ceritaku. Perlu kalian ketahui, kesimpulan kalian adalah keputusan yang akan aku terima. Tentu saja dengan pertimbangan yang matang," ucap Alea lalu bergerak menuju ke sofa, duduk tenang. Namun matanya menatap tajam pada kedua orang itu. Terlebih Renata.
Mungkin aku dulu lemah. Tapi jangan berharap aku menjadi wanita lemah untuk kedua kalinya. Meski nanti aku cerai-berai tak berbentuk ketika aku sendirian meratapi apa yang menimpaku, batin Alea di sela tatapan tajamnya.
***
Tbc..
ga ngarepin feel. tapi emang aku bikinnya karakter Alea yang dingin dan datar. jadi ga ada feel.
iya nggak sih?
okew happy reading ya
07 Okt 2015
S Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top