[UN] BROKEN #35
"Waow! Ada apa seorang Bos Besar datang kemari pagi-pagi? Apa kau akan melakukan sidak?" Adam menaik-turunkan alisnya.
Matanya memicing mendapati Kafka sudah duduk manis di sofa ruang kerjanya begitu ia membuka pintu ruangannya. Padahal waktu masih menunjukkan pukul 07.04 Sementara jam kerja di mulai pukul 07.30. Ia terkekeh saat Kafka menjawabnya dengan dengusan singkat.
Pria itu beranjak menghampiri Adam. Seringaian kecil tercipta di sudut bibirnya. Ada apa? Matanya Adam menyipit. Ia mulai was-was. Apa ada kesalahan darinya di dalam mengoperasikan perusahaan yang memiliki dua anak cabang itu?
"Aku datang bukan untuk sidak. Tapi untuk memperingatkanmu," ucap Kafka datar penuh keseriusan. Mimik mukanya dingin dan tajam seperti sebagaimana Kafka, salah pengusaha yang sangat ditakuti di kancah bisnis multinasional itu.
"Apa ada yang salah dengan pekerjaanku?" tanya Adam penuh kewaspadaan.
Kafka tidak menjawab. Hanya menatapnya lurus tepat di manic mata Adam seakan ingin membunuhnya tanpa perasaan.
Mimpi apa ia semalam? Adam mengembuskan nafasnya. Perasaan ia sudah bekerja semaksimal mungkin mengurus induk dan dua anak perusahaan yang bergerak di bidang property itu. Tapi kenapa masih saja ada kesalahan? Kalau boleh meminta lebih baik Adam mengelola satu perusahaan saja seperti dulu.
Bunuh saja aku sekarang, Kaf! teriaknya dalam hati.
"Aku harus memperingatkanmu. Lain kali hati-hati kalau bicara di depan Abiel mengenai hubungan seks kalian. Abiel secara frontal menceritakannya kepada kami termasuk perdebatan kalian saat Adel meminta kepadamu membuat adik buat si kembar.
Kau kan tau bagaimana Abiel. Mulut cerdasnya dan pikirannya sangat cepat merespon. Aku tidak mau dia bicara terlalu jauh dengan bahasa sebagaimana orang dewasa berbicara. Dia masih anak-anak. Kalau tidak, aku tidak akan mengijinkan Abiel menginap di rumah kalian meski si kembar yang merengek-rengek."
Adam membulatkan matanya. Jadi ini bukan tentang perusahaan?
"Jadi ini bukan tentang perusahaan?"
"Bukan. Tapi ini jauh lebih penting dari masalah perusahaan. Aku harus bekerja keras mendidik Abiel agar tidak brengsek seperti aku. Kuharap kau mengerti."
Adam mengembuskan nafas leganya. Tapi mengenai Abiel? Adam meringis ragu. Adel memang suka tidak tau tempat mengungkapkan keinginannya untuk segera dipuaskan. Huhft! wanita itu. Ia juga baru menyadari. Abiel berbeda dengan anak kembarnya dan anak-anak yang lainnya. Dia diam tapi sekalinya bicara seperti orang dewasa.
"Aku mengerti. Aku akan bicarakan kepada Adel untuk menjaga sikap. Maafkan bundanya. Aku akan berusaha untuk menjadi ayah yang baik."
"Baguslah. Itu saja. Maaf, membuatmu sampai berkeringat dingin. Tapi..., memang sengaja. Ternyata mudah untuk menjahili seorang Adam El Pasha yang terkenal serius bekerja," ucap Kafka kemudian tertawa geli.
"Aku akan mencekikmu!" geram Adam kesal.
Sementara Kafka tergelak tawanya tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. Tak lama kemudian ia mengeluarkan ponselnya, memeriksa agenda kerjanya hari ini.
Meeting lagi dengan K-Furniture? Akan ada Alfa di sana. A-L-F-A. Pupil matanya mengecil untuk beberapa saat. Otaknya memikirkan sesuatu.
Perusahaan itu mengalami penurunan profit pada beberapa musim terakhir. Ada beberapa masalah termasuk tentang keuangan baru-baru ini. Ditemukan beberapa titik penyelewengan. Oups!
Kafka seperti mendapatkan sesuatu ketika orang suruhannya membawa informasi-informasi penting mengenai kemerosotan perusahaan keluarga Kneth yang menjadi mitra bisnisnya sejak ia merintis perusahaannya.
"Aku tertarik untuk me-merger K-furniture. Rencananya aku akan menggabungkannya di bawah naungan perusahaan ini. Jadi, jika nanti penawaranku di setujui, tanggungjawabmu akan bertambah satu. Mengerti?"
"Apa? Ini bukan lelucon kan?" tanya Adam menahan tawanya.
"Tidak. Aku sedang me-review informasi-informasi yang kuperoleh. Baru kemudian aku mengajukan penawaran. Sejauh ini, keyakinanku 50% seiring data yang kuperoleh baru sebagian."
"Tapi furniture.."
"Termasuk property juga kan? Aku akan mengajakmu nanti jika aku akan mengadakan pertemuan sekaligus kamu mempelajari medan yang akan kau tangani."
Adam menaikkan alisnya sebelah. Ia menatap Kafka, mencari kesungguhan yang sebenarnya tidak perlu ia ragukan lagi. Pria itu terkenal sangat ambisius. Apapun yang sudah menjadi keputusannya tidak akan terbantahkan. Apalagi mengenai perusahaan. Tapi ada yang tidak biasa kali ini.
"Tidak ada motif lain kan selain murni hanya masalah perusahaan?" tanya Adam hati-hati.
"Maksudmu?"
"Oh, C'mon, Kaf. Aku cukup tau bagaimana kamu. Aku bahkan lebih tua darimu."
"Umur tidak menjamin seseorang lebih pintar dan berpengalaman."
Adam berdecih, "Oya?"
"Tentu saja. Okay, kurasa cukup sekian. Aku harus kembali ke pusat. Ingat, hati-hati dengan Abiel. Dan mengenai rencana merger ini, ini serius. Aku akan mendapatkannya," ucap Kafka serius.
Ia menyipitkan matanya tajam, mengarahkan ibu jari dan telunjuknya seperti pistol ke arah Adam. Bukti bahwa ia tidak main-main. Sementara Adam hanya bisa menggeleg lemah.
Tentu saja ada motif lain. Aku akan memegang kendali perusahaan Alfa agar pria itu tidak banyak bergerak. Terutama masalah wanitaku.
"Sudah kubilang. Apapun akan kulakukan untuk memberi pelajaran pada siapapun yang mencoba mengusik apa yang sudah menjadi milikku," gumam Kafka menyusuri koridor menuju ke basemant, parkir khusus direksi. Di wajahnya nampak seringaian kecil namun mematikan.
***
"Kafka!!"
Kafka mengetatkan rahangnya begitu mendengar teriakan di ambang pintu. Ia menatap marah ke arah meja receptionist. Bagaimana bisa pegawainya membiarkan wanita ini menerobos masuk?
"Nurastika!!" teriak Kafka geram pada receptionist itu.
"Pak, Maaf, saya.. sudah berusaha mencegah sesuai perintah bapak. Tapi..," gadis itu nampak ketakutan setengah mati.
"Wanita ini mendorongnya hingga terjatuh. Maaf aku tadi tidak bisa membantu banyak. Aku sedang menerima skype dari Mister Jason untuk proyek yang di Sydney," ucap Beny memberi pembelaan pada receptionist itu.
Kafka membuang nafasnya kesal. Ia melirik pada receptionist yang penampilannya nampak sedikit berantakan. Ia lalu memberi isyarat untuk segera meninggalkannya sambil berkata tidak ada toleransi untuk lain kali.
Ia kini beralih menatap sinis wanita yang ada di hadapannya.
"Apa lagi urusanmu?" tanya Kafka dingin.
"Aku -sudah -bercerai. Apa kamu lupa? Kemarin aku menelponmu untuk mengatakan itu. Mari kutunjukkan acta ceraiku," ucapnya bersemangat.
"Aku tidak berminat melihatnya. Dan, aku tidak ada urusan dengan statusmu. Mengerti? Jadi, silakan keluar dari ruangan saya!"
"Kaf,"
"Renata Febriana! Aku tidak ada urusan lagi denganmu sejak kita berakhir. Kuharap kau masih menggunakan otakmu untuk mencerna setiap kalimatku dengan jelas."
"Tapi..," Renata menatap luruh Kafka. Ia seakan meminta Kafka untuk mendengarnya. Tidak! Mengerti pengorbanannya.
"Aku tidak memintamu untuk bercerai. aku tidak memintamu untuk kembali. Malah aku berharap kamu tidak ada sama sekali," jawabnya tanpa peduli apakah kalimatnya menyakiti orang lain atau tidak.
"Beri aku kesempatan untuk melakukan yang terbaik untukmu, Kaf."
"Satu-satunya yang terbaik adalah kamu pergi sejauh-jauhnya dari kehidupan kami. Aku sudah memperingatkanmu dengan baik-baik. Jangan sampai aku menghancurkanmu, Renata."
"Kaf.. please. Kalau kamu tidak mau melakukan ini demi aku, please lakukan demi darah dagingmu. Nichlause..,"
"Anakku?" potong Kafka dengan mata menyipit tajam.
"Ya. Dia darah dagingmu, Kaf. Aku juga membawa hasil tes DNA-nya kalau kamu tidak percaya."
"Oya? Berikan padaku!"
Dengan tenang Renata mengambilnya dari dalam tasnya. Ia menyerahkannya pada Kafka sambil meneliti makna tatapan Kafka. Tapi ia sama sekali tidak bisa membacanya. Pria itu juga dengan santai membacanya dari awal sampai akhir tanpa ada kata yang tertinggal.
"Ini benar, Kaf."
"Nichlause Aditya?" Kafka menggumamkan nama itu. Alisnya naik sebelah lalu menatap Renata dengan tajam.
Kafka berbalik menuju ke meja kerjanya dengan sangat tenang. Tapi dalam hatinya ia mulai ragu.
Apakah benar itu anaknya? Bagaimana bisa? Ia bahkan tidak merasa pernah berhubungan dengan wanita itu meski pernah ia bangun mendapati dirinya tanpa busana sama dengan wanita itu yang terlelap dalam pelukannya.
"Kaf," panggil Renata lagi.
Kafka menegakkan wajahnya. Dia duduk bersandar dengan angkuhnya di kursi kerjanya. Matanya menatap Renata dengan sorot tak terbaca. Kemudian senyum sinisnya tercipta samar.
"Apa kau yakin anakmu itu adalah darah dagingku?" tanya Kafka sambil mengelus dagunya sendiri.
"Ya," cicit Renata.
"Apa yang membuatmu yakin?"
"Apa yang perlu diragukan? Aku tidak pernah berhubungan dengan mantan suamiku. Kau tidak lupa kan saat kita terbangun sama-sama naked di pagi sehari sebelum aku menikah? Apa yang diragukan lagi? Jelas-jelas dia anak kita. Aku dan kamu."
"Anak kita?"
Kafka membeku ketika mendapati Alea sudah berdiri di ambang pintu, menggumamkan kata sialan itu.
"Baby..," desis Kafka. Ia takut Alea salah paham lagi. Ia beranjak, melangkah lebar mendekati wanitanya.
"Baby ini..,"
"Dia berhak tau, Kaf. Bahwa dia sudah merebut pria dan ayah dari seseorang," ucap Renata penuh percaya diri.
"Oya? Jelaskan padaku anak yang mana?" mata Alea menyipit.
Seketika Kafka melemas. Ketakutannya kembali datang. Bagaimana kalau Renata memberikan hal tes DNA itu pada Alea?
Apa yang ia pikirkan sekarang sedang terjadi. Alea membaca lembar kertas itu dengan serius. Tak lama kemudian ia menatap Kafka dan Renata bergantian.
"Okay, jadi ini benar hasilnya? Yakin?"
Renata mengangguk puas.
"Okay, aku bisa apa?" Alea hanya tersenyum tipis kemudian berbalik pergi.
"Baby!!" panggil Kafka. Tapi wanita itu melambaikan tangannya tanpa berhenti atau menoleh sedikitpun, membuat Kafka seperti dunianya runtuh seketika. Ini semua terlalu tiba-tiba.
Selesai.
Selesai sudah dunia Kafka.
***
05 Okt 2015
S Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top