[UN] BROKEN #34

Keadaan rumah tangganya mulai membaik. Bukan, katakanlah sudah baik. Selama hampir sebulan ini, seakan tidak ada lagi badai yang menghampiri. Alea menjalani hari-harinya seperti biasa, seperti sebelum badai besar itu datang. Mengurus dua jagoan kecilnya bersama Kafka, suaminya yang masih saja manja tapi tidak menyebalkan seperti bulan-bulan lalu.

Mungkin kalo sebuah cerita, ibarat ini adalah fase pendinginan --cooling down--, dimana si tokoh lepas dari masalah dan sedang menuju happy ending. Alea tertawa pelan. Ia nengembuskan nafasnya, sambil masih tertawa tak habis pikir mengingat masa-masa itu. Ia menurunkan kakinya dari ranjangnya hingga menyentuh lantai.

Ternyata rumah tangga bukan masalah hidup dengan seorang suami, bahagia dan memiliki seorang anak adalah paket kesempurnaan. Tidak! Tidak semudah dan sesederhana itu. Akan ada banyak perselisihan-perselisihan kecil atau bahkan besar yang rentan menimbulkan keretakan.

Ada banyak faktor di sini. Watak dasar, gaya hidup, masa lalu dan sosialita. Alea melirik pria yang tengah terlelap memeluk possesive pinggangnya. Ia tersenyum simpul. Masa lalu. Ia pernah merasakan semua faktor itu dan yang paling sulit baginya untuk dilalui adalah faktor masa lalu.

Karena masa lalu jauh lebih berbahaya dibanding dengan seorang selingkuhan.

Dan itu benar. Masa lalu adalah seseorang yang pernah mengerti kita luar dalam. Sementara selingkuhan hanya sebatas affair. Belum tentu dia mengerti kita dengan baik.

Alea bergerak melepaskan pelukan itu dan menggantikannya dengan bantal guling dengan hati-hati. Ia meraih ikat rambut di meja kecil lalu beranjak meninggalkan kamarnya sambil mengikat rambutnya. Sekali lagi ia menatap wajah polos suaminya yang sangat mirip dengan Abiel sebelum akhirnya menutup pintu kamarnya, menuruni anak tangga menuju ke dapur.

Ia mengambil cangkir dan teabag kemudian menyeduhnya. Menghirup perlahan wangi teh itu sambil berjalan menuju ke arah taman belakang. Ia duduk bersila di kursi ayunan kurung itu.

Jum'at ini ia membiarkan mbak Tanti yang menyiapkan sarapan pagi. Kemarin wanita itu bilang, ingin sekali membuat sarapan untuk mengenang almarhum suaminya. Hari ini, tanggal ini, adalah bertepatan dengan hari ulang tahun almarhum suaminya. Dan Alea menghargainya. Karena ia paham berapa besar wanita itu mencintai almarhum suaminya itu, dan Alea sendiri juga merasakan bagaimana ia sangat mencintai Kafka.

"Aditya Kafka...," gumam Alea sambil memejamkan matanya, menghirup segarnya udara pagi.

"Sampai sekarang aku belum bisa mengerti kenapa aku bisa terjebak di dalam kehidupannya," gumamnya lagi.

"Lagi-lagi kamu meninggalkanku," sungut seseorang sambil duduk merapat di samping Alea.

Alea memutar bola matanya. Kembali lagi! Dia tidak pernah berubah kan? Masih saja manja. Lihatlah. Sekarang dia merangsek, memeluk erat tubuh Alea sambil mengendusi leher Alea sementara matanya setengah terpejam masih mengantuk berat.

"Kafka,"

"Aku masih mengantuk, Baby. Aku baru tidur jam tiga pagi karena menggarap berkas sialan itu," lenguhnya dengan suara menggumam tak jelas.

"Kalau begitu kembalilah ke kamar."

"Kepergianmu mengganggu tidurku."

"Jangan lebay!"

Kafka hanya berdecak. Ia kini melepaskan pelukannya kemudian berbaring di pangkuan Alea sambil mencari posisi yang nyaman untuk tubuhnya.

"Kaf!"

"Aku masih mengantuk. Jadi biarkan seperti ini kalau kamu tidak mau kembali ke kamar menemaniku."

"Manja!"

"Hanya padamu," gumamnya.

Alea melarikan tangannya, menyisiri rambut coklat itu dengan lembut. Dia tau alasan kenapa Kafka sangat manja padanya dan memang hanya padanya. Karena pria ini takut kehilangan Alea. Sejak dulu dan tak pernah berubah.

Sementara pria itu semakin nyaman dalam tidurnya, menikmati sentuhan lembut tangan Alea. Bibirnya menyunggingkan senyum bahagianya. Meski samar namun tidak ada keraguan di sana. Bisakah waktu berhenti sekarang agar kisahnya tetap berhenti di sini? Bahagia selama-lamanya. Ia tidak ingin ada lagi badai yang mengancamnya. Kemarin adalah hal yang sudah membuatnya teramat lelah, baik tubuh, hati maupun pikirannya.

Andai ini ajang reality show mungkin ia sudah menyerah, mengibarkan bendera putihnya. Tapi ini lelakon yang harus di jalaninya.

"Aku ingin tetap seperti ini," gumam Kafka setengah sadar diantara kantuknya.

"Diamlah. Atau aku akan membiarkanmu tidur sendirian."

"Itu tidak akan terjadi, Baby."

***

Dering telfon rumahnya, menyita perhatian Alea yang sedang menemani anak-anaknya bermain di ruang keluarga, sore itu. Sementara Kafka sedang berada di ruang kerjanya, mengerjakan beberapa tugas yang mendesak. Alea beranjak menuju ke meja telfon.

"Kafkaaa!!! Huft! Akhirnya aku bisa menelponmu! Jangan ditutup dulu. Aku bawa kabar baik. Aku--sudah resmi cerai dengan suamiku," pekiknya girang.

Apa? Alea tercekat. Ternyata badai itu tidak benar-benar menghilang. Hanya mereda dan digantikan dengan yang lebih besar. Ini--Alea mengenal suara ini. Suara Renata. Tanpa banyak kata Alea langsung menutup telfonnya. Ia berdiri mematung masih dengan tampang syok-nya.

Demi apapun?!! Ia memerlukan pasokan udara saat ini. Tubuhnya melemas hingga ia bersandar di meja telfon. Kedua tangannya menahan tubuhnya dengan mencengkeram tepian meja. Tidak bisakah Tuhan menghapus --benar-benar menghapus badai itu?

"Baby?" panggil Kafka mengernyit heran. Ia melangkah mendekati Alea diikuti tatapan penasaran dari kedua anaknya. Terlebih Abiel. Anak itu langsung berdiri meletakkan mainannya.

"Ada apa?" tanya Kafka meneliti wajah Alea.

Alea hanya menatap kosong. Sampai kemudian ia tersadar oleh sentuhan Kafka di bibirnya.

"Oh-uh," Alea tergagap. Refleks ia menjauhkan wajahnya dari Kafka, menambah bingung Kafka.

"Ada apa?" tanya Kafka lagi.

"Tidak," jawab Alea cepat.

"Tapi wajahmu membohongiku. Ayolah, Baby. Tell me," ucapnya.

Alea tersenyum simpul. Ia tidak menjawab, hanya berjalan kembali berbaur dengan kedua jagoan kecilnya.

"Baby...,"

Kafka mendekat, mengikuti jejak Alea, berbaur dengan anak-anaknya.

"Kamu sudah selesai mengerjakan pekerjaanmu?" tanya Alea berusaha biasa saja seolah tidak terjadi apapun.

"Sudah. Dan jangan mencoba mengalihkan perhatianku. Kamu belum menjawab pertanyaanku."

Kafka menatap lurus Alea, memberikan tatapan mata menuntut. Tapi wanita itu mengedikkan bahunya.

"Baby, katakan. Atau aku akan mencari tau sendiri," ancam Kafka.

Alea mengembuskan nafasnya. Ia menoleh, menatap Kafka.

"Renata sudah resmi bercerai. Ia baru saja menelpon. Mungkin baru keluar dari persidangan."

"Oh."

"Segitu responmu?" tanya Alea menyipitkan matanya.

"Lalu aku harus bagaimana? Toh bukan urusanku, Baby. Masih banyak hal yang harus kuurusi, kenapa aku harus repot-repot mengurusi wanita itu?" ucapnya serius sambil meraih Aaron ke dalam pangkuannya.

"Yakin?"

"Jadi --kau meragukanku? Kurasa kita perlu memberikan adik untuk Aaron supaya kamu tidak berpikir yang macam-macam."

Alea mendelik. Bagaimana bisa pria ini modus di saat seperti ini?! Kafka hanya terkekeh, mengerling nakal.

"No!!"

"Abiel juga tidak mau. Tapi kalau Daddy mau bikin adik cowok, Abiel tidak keberatan. Abiel benci adik perempuan! Nanti seperti Seina!" celetuk Abiel dengan wajah polosnya.

As-ta-ga! Alea sukses menahan nafasnya untuk beberapa detik. Sementara Kafka meringis, ia melupakan anak pertamanya yang sangat kritis. Otaknya dengan cepat merespon setiap kalimat yang didengar olehnya. Abiel --terlalu cerdas untuk anak seusianya.

"Makanya lain kali hati-hati kalau bicara!" desis Alea tajam.

"Abiel beneran, Mom. Abiel sudah cukup satu adik perempuan. Annish," ucapnya mengangguk-angguk.

Annish adalah salah satu twins dari pasangan Adam dan Adel.

"Abiel juga sudah punya adik laki-laki. Ada adik Arsy sama Aaron," ucap Alea. "Jadi, tidak perlu adik lagi kan?" lanjut Alea.

"Ya, Mom benar. Tapi.., akan lebih seru kalau ada lagi."

Demi apa?! Ini anak usia 5 tahun tapi bicara seperti anak dewasa.

"Siapa yang mengajarimu berdebat?" tanya Kafka gemas.

"Abiel sering melihat ayah Adam dan bunda Adel sering itu..emm.."

"Berdebat?" sahut Alea.

"Iya!" jawabnya yakin.

"Oya?"

Abiel mengangguk.

"Ayah Adam keras kepala kata Bunda. Tapi sama-sama kata ayah. Abiel juga sering mendengar Bunda mengajak ayah untuk membuat adik lagi. Habis itu mereka berdebat lagi. Ayah Adam tidak mau. Terus.."

"Stop!! Enough, Buddy," perintah Kafka menatap Alea horor.

"Kakakmu!" Kafka menatap tajam Alea.

"Kayaknya lebih baik jangan terlalu seringa membiarkan Abiel menginap di sana!" desis Alea.

"Itu lebih baik! Aku harus bicara dengan mereka," geram Kafka.

"Ya. Kau harus. Tapi...,"

"Besok aku akan menemuinya. Tenang saja tidak dengan otot," ucap Kafka.

***

Tbc..

ga ngerti harus ngomong apa..

happy reading aja..

03 Okt 2015
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: