[UN] BROKEN #33
Beberapa saat lamanya keduanya hanya saling menatap. Tidak ada yang bicara tau berniat mengeluarkan kata-katanya. Alea sekuat tenaga menahan dirinya untuk tidak memeluk tubuh kacau suaminya.
"Apa kau memang berniat untuk mengakhiri ini semua? Dan memutuskan untuk kembali pada Renata? Iya?"
Kafka masih diam, hanya menatap Alea dengan bibir bergerak seakan ingin mengatakan sesuatu.
Dia mencintaimu, bodoh! Apa kamu tidak melihat bagaimana lelahnya dia? Kapan kau akan berhenti bersikap bodoh, Kaf?
Kalimat Adam kembali meremas-remas hatinya. Benarkah Alea mencintainya?
Untuk apa dia mati-matian mempercayaimu kalau dia tidak mencintaimu? Kebanyakan wanita akan menuruti rasa cemburunya begitu ada wanita lain mencoba masuk. Kau berkali-kali menyakitinya karena masa lalumu. Tapi apa Alea pernah meninggalkanmu?
Kafka semakin tidak berkutik. Kalimat Adam kembali menyerangnya. Ingin rasanya ia meneriakkan Aku mencintaimu! Sangat!! Tapi lidahnya kaku. Ia ingin memeluk tubuh itu. Tapi tertahan ketika kembali sisi batinnya mengejeknya bahwa ia benar-benar sangat payah.
Mengenai Renata? Alea bilang Renata akan segera bercerai. Tidak! Ia tidak peduli lagi dengan wanita itu. Kalau saja diam bisa menjelaskan semuanya.. Kalau saja mata bisa menceritakan segala apa yang ia rasakan.. Tapi yang terjadi ia hanya diam tidak tau apa yang harus dikatakan apalagi dilakukan.
Alea menarik nafasnya dalam-dalam kemudian tersenyum kecut. Ia mengangguk singkat, tidak berani menatap Kafka. Ini sangat meyakitkan.
"Fine. Jika memang itu sudah menjadi keputusanmu. Aku akan menunggu surat itu. Terimakas...,"
Ucapnnya terhenti ketika menarik cepat tubuhnya dan memeluknya erat. Alea merasakan tubuh itu sedikit bergetar ketika memeluknya. Tidak ada kata. Hanya pelukan erat yang seolah mengatakan jangan pergi. Perlahan tangan Alea terangkat membalas pelukan itu. Mengusap punggung Kafka.
"Kaf.."
Sedikit bau badan bercampur alkohol sempat mengganggu kenyamanannya. Tapi merasakan basah di bahu, membuat Alea mengurungkan niatnya untuk menyudahi pelukannya. Mungkin saja ini pelukan terakhir dari Kafka.
Siapapun pasti tidak menginginkan sebuah perpisahan. Tapi meskipun itu harus terjadi, bolehkah ia meminta satu saja kenangan manis, salam perpisahan termanis dari Kafka? Alea menahan nafasnya. Ia tak mampu lagi menahan sedihnya. Air matanya mulai mengalir dalam diam.
Ini akan menjadi pelukan terakhirnya. Tapi ia berjanji tidak akan berhenti mencintai Kafka. Jika memang Kafka ingin mengakhirinya, berarti memang itu sudah keputusannya.
Bahkan cinta pun bukan menjadi dasar seseorang untuk bersatu. Tapi sebuah keputusanlah yang membuatnya bersatu atau malah berpisah.
Menyakitkan. Memang. Tapi ini yang harus Alea terima. Tidak selamanya dongeng berakhir manis, bukan?
Alea menggigit bibir dalamnya. Mencoba meresapi bagaimana nyamannya pelukan itu.
Aku tidak akan melupakan ini. Seseorang yang berhasil membuatku jungkir balik. Terkadang merasa lemah dan bahkan terkadang seperti jalang yang tidak bisa mengontrol ledakan emosi. Aku mencintaimu, Aditya Kafka.
"Maaf," bisik Kafka setelah beberapa saat lamanya. Suaranya berbisik nyaris tak terdengar.
Dia mengatakan maaf. Alea merasakan tubuhnya lemas seketika. Ia tersenyum kecut dibalik tangisnya. Ia tidak bisa apa-apa selain menerima bukan?
"Tidak apa-apa. Aku --baik-baik saja. Maaf," ucap Alea lirih. Ia meringis nyeri kemudian bergerak melepaskan diri dari pelukan Kafka.
Tapi pria itu kembali mengetatkan pelukannya.
"Tidak bisakah kita seperti ini selamanya?"
"Kaf..,"
"Aku tau kamu tidak baik-baik saja. Aku tau aku terlalu sering menyakitimu. Aku selalu membuatmu menangis. Aku --sangat payah. Aku tau kamu berhak bahagia. Mungkin dengan pria itu...,"
Tidak!! Jerit Alea dalam hati. Ia memejam kuat, mengakibatkan genangan air matanya meluncur deras.
"Tapi bolehkah aku menjadi lelaki egois? Yang selalu menahanmu untuk tetap bersamaku? Atau bahkan dengan gilanya menyingkirkan siapapun yang ingin mengambilmu dariku? Dengan segala kepayahanku? Aku tau ini sangat konyol. Tapi..., aku tidak bisa apa-apa tanpa kamu..."
"Lalu intinya?" Alea melepaskan dirinya dari pelukan Kafka, menyusuri manic mata itu mencari apa yang Kafka maksud.
"Tetap bersamaku." Kafka menatapnya lurus, penuh pengharapan.
Tetap bersamaku.
Kalimat itu terus menggema. Untuk beberapa detik Alea hanya bisa ternganga. Ia berharap seseorang membangunkannya dari mimpi ini.
"Baby..,"
Tangan Alea terulur untuk menyentuh wajah itu kemudian tangan Kafka bergerak menahan tangan Alea agar tetap di wajahnya. Hangat dan nyaman. Padahal hanya dengan sentuhan lembut tapi hatinya menghangat seketika.
"Tetap bersamaku," ulangnya lagi.
"Ya!" sahut Alea cepat kemudian kembali memeluk tubuh itu.
"Ini serius, Alea. Maksudku, kamu tau bagaimana payahnya aku. Kamu juga bagaimana sempurnanya Alfa. Aku.."
Buru-buru Alea menggelengkan kepalanya di dada Kafka. Ia semakin menenggelamkan wajahnya di sana.
"I just wanna you, My man. My--Man."
My Man. Senyum kecil tersungging di bibir Kafka. Hatinya menghangat mendengar sebutan sayang yang sempat ia lupakan karena dibutakan rasa cemburunya. Ia membawa tubuh Alea semakin tenggelam dalam pelukannya. Tidak peduli dengan wanitanya yang mungkin sesak nafas. Ia terlalu bahagia. Bibirnya jatuh mengecupi kepala Alea tanpa henti.
"I love you," bisik Kafka.
"I love you too," balas Alea dengan senyum tersungging di bibirnya.
"Jangan ada laki-laki lain di hidupmu. Apalagi di hatimu. Kalau sampai ada jangan salahkan aku kalau aku menghancurkannya," ucap Kafka serius.
"Aku mengerti. Dan Alfa, hanya teman."
"Juga tidak tentang dia!"
"Kaf,,"
"Tidak!!"
Alea mendongakkan wajahnya, menatap pria itu dengan tatapan memohon.
"Pokoknya tidak, Baby."
"Hanya teman, Kaf. Please...,"
"Aku cemburu sangat. Pokoknya tidak dengan pria itu!"
Alea mengerucutkan bibirnya. Mendengus kecewa. Ia melepaskan diri dari pelukan Kafka. Meninggalkannya menuju ke perpustakaan pribadinya.
"Karena dia jauh lebih baik dari aku!!" teriak Kafka masih dari tempatnya berdiri.
Alea berhenti di ambang pintu. Ia berdecak. Rasa cemburu pria itu masih saja besar. Padahal sudah tau Alea hanya memilihnya. Alea menggeleng pelan kemudian melanjutkan langkahnya. Ia duduk di kursi rotan berlapis busa yang dibungkus dengan kain flanel warna biru muda.
"Baby!!"
Alea menegakkan wajahnya. Ia melihat wajah kesal pada pria itu.
"Apa?!" ketus Alea sebal.
"Pokoknya jangan pria itu!"
"Iya, ah!"
"Janji?"
Alea menggeleng. Ia kembali berdecak, "dia hanya teman, Kaf. Kapan kamu akan mengerti? Kan aku sudah memilih kamu."
"Tapi..," Kafka mengusap tengkuknya. Kemudian menjatuhkan dirinya di samping Alea.
"No! Kapan kamu akan..,"
"Okay. Kamu boleh berteman dengannya. Tapi, jangan menemuinya tanpa sepengetahuanku. Jangan..,"
"Itu namanya tidak ikhlas!" Alea mendelik kesal.
"Sedikit," Kafka meringis lebar.
Apa? Astaga!! Alea menggeleng tak habis pikir.
"Kamu sudah bukan abege lagi, Kaf."
"Aku tau. Tapi kamu membuatku selalu merasa muda," ucapnya tanpa merasa keliru.
Alea melebarkan matanya. Apa katanya?
"Aku serius," ucap Kafka. Tangannya menarik Alea hingga terjatuh di dadanya. Kedua lengannya kini memeluk gemas tubuh mungil itu. Menyandarkan kepala Alea di antara ceruk lehernya.
"Kaf,"
"Yes, Baby."
"Alfa..,"
"Ya. Kau boleh berteman dengannya. Asal, jangan sendirian. Jangan hanya dengan anak-anak saja. Aku tidak mau ada berita buruk tentang keluarga kita."
"Thanks."
"Apapun untuk kamu, Baby."
Alea tersenyum. Ia mengecup ringan rahang Kafka, membuat pria itu terkekeh geli. Ia lantas terdiam ketika Kafka mendekatkan wajahnya hingga berjarak beberapa centi saja. Saling menatap tapi bukan lagi berselimut emosi. Kali ini penuh kasih. Bibirnya saling mengembangkan senyum dan rona bahagianya. Sedetik kemudian bibir lembut itu menempel pada bibir Alea. Basah dan menimbulkan kupu-kupu berterbangan.
"Daddy! Mommy!!"
"Abiel!!" seru keduanya bersamaan. Kafka segera menjauhkan wajahnya dari Alea setengah kesal.
"Ada apa, Sayang?" tanya Alea menggerakkan kepalanya ke arah pintu.
"Abiel mau es krim," ucapnya mendekat.
"Kau bisa mengambilnya di lemari es, Sayang. Atau minta tolong sama Mbak Tanti. Oya, kan ada Bunda Adel," ucap Kafka.
Abiel menggeleng. Wajahnya memberengut. Ia kemudian naik ke pangkuan Alea yang sedang bersandar di dada Kafka.
"Abiel maunya sama Mommy," rengeknya.
"Sama Mommy?" tanya Alea lagi.
Abiel mengangguk. Kedua tangannya mengalung di leher Alea. Kepalanya bersandar di dada Alea.
"Kalau begitu, ayo bangun."
"Tapi makannya di sini," ucap Abiel lagi.
"Kenapa tidak makan bersama dengan Arsy dan Annish?"
"Di bawah ada Seina, Mom. Abiel tidak suka," lenguhnya.
Apa? Seketika tawa Kafka dan Alea pecah. Jagoan kecilnya ini memang tidak menyukai Seina, anak Maura-Beny karena gadis kecil itu terlalu agresif dengan Abiel. Sama seperti Maura dulu.
"Beny ke sini?" tanya Alea.
"Tidak tau."
"Iya, ada Papa Beny sama Mama Maura. Lagi di bawah sama Bunda Adel. Ayah Adam lagi di kamar Abiel," ucap Abiel meng-iyakan.
"Okay, Abiel tunggu di sini sama Daddy ya?"
Abiel mengangguk patuh. Ia kini berpindah ke pangkuan Kafka. Tapi kemudian ia berteriak kencang.
"Daddy bau! Daddy belum mandi! Daddy jorok!!"
Kafka mendelik kesal. Bisa-bisanya anaknya menghinanya.
"Tapi Daddy ganteng. I miss you," ucap Abiel terkikik. Ia mencium pipi Kafka dan mengalungkan tangannya di leher Kafka.
***
Tbc...
Dapet ga sih feel nya.. soalnya bikinnya di kereta.. okee otewe pulang ke jakarta..
happy reading.
30 Sept 2015
S Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top