[UN] BROKEN #32
Alea langsung melemparkan dirinya dalam pelukan Adam begitu pria itu datang bersama Adel dan kedua anaknya. Ia menumpahkan segala sesaknya pada kakak angkatnya itu. Seakan tau, Adel langsung membawa kedua anaknya ke kamar Abiel. Saat ini yang Alea butuhkan adalah seorang kakak bukan sahabat.
"Apa yang terjadi?" tanya Adam sambil mengusap punggung Alea, membawanya duduk ke sofa.
"Kafka.. Kafka.. ini, hanya salah paham. Dia pergi. Aku..," Alea menghela nafasnya. Ia memberikan jeda sejenak, "Dia mengira aku tidak mencintainya."
Dahi Adam berkerut. Ck, si bodoh!! Ada apa lagi dengannya? rutuknya dalam hati.
"Bisa kamu jelaskan dari awal? Kudengar masalah Renata sudah mereda. Apa wanita itu berbuat ulah lagi?" tanya Adam. Adel sempat menceritakan soal Renata padanya. Selama ini ia hanya mengawasi Alea karena ia percaya Little girl-nya pasti bisa mengatasinya sendiri.
Alea menggeleng pelan. "Ini giliran masa laluku, Kak."
Adam memicingkan matanya. Masa lalu Alea? Okay, wajar jika terjadi kesalahpahaman dengan si bodoh itu.
"Okay, tell me."
Alea mulai menceritakan tentang masa lalunya. Sementara Adam mendengarkannya dengan sabar. Tangannya tak berhenti mengusap lengan Alea sambil sesekali mengecupi kepalanya.
"Jadi namanya Alfa?"
Alea mengangguk.
"Pria lajang. Maksudku sudah menikah tapi masih perjaka? Waow, kedengarannya lucu. Tapi..,"
"Ini kenyataan."
"Hidup sendiri hampir sama seperti Kafka-mu? Kemudian dia hadir kembali? Kurasa ada kisah yang belum selesai di antara kalian. Wajar saja Kafka cemburu berat. Aku bisa jamin selama ini Kafka mengawasimu dengan mata-matanya. Kamu pasti melupakan itu."
Alea semakin tergugu. Rasanya seperti ia ketauan mencuri.
"Istirahatlah. Kau perlu mendinginkan kepalamu. Besok kalau Kafka pulang, kamu bisa membicarakan ini dengan baik-baik."
"Kalau Kafka tidak pulang?" Nafasnya tercekat saat mengatakan kalimat itu.
"Kita akan mencarinya."
***
Alea terbangun dengan kepala berat. Ia merasa seperti diputar dengan kecepatan penuh. Ia meringis, berusaha menggerakkan kepalanya ke arah samping. Seketika ringisannya menjalar ke hati. Kafka tidak pulang. Tangan lemasnya meraih ponselnya melirik jam yang tertera di sana. Sudah cukup siang.
08.32.
Ia memejamkan kembali matanya, berharap ketika ia membuka mata lagi, ia sudah dalam keadaan baik. Tapi setelah beberapa menit ternyata sama saja. Ini semua gara-gara ia terlalu lelah dan kebanyakan menangis hingga menjelang pagi.
Satu denting nada tanda pesan berbunyi dari ponsel Kafka. Ia iseng melihat pesan yang muncul di layar ponsel itu. Renata. Seketika ia dilanda sesak. Wanita itu kembali menghubungi Kafka di saat keadaan buruk seperti ini. Apa dia sudah tau? Alea tersenyum masam.
Hari ini sidang perceraianku dimulai. Kuharap akan menjadi awal yang baik untuk kita. Kafka, aku tidak akan pernah menyerah untuk mendapatkanmu kembali.
#Renata
Perceraian. Alea memijit kepalanya yang terasa semakin sakit. Kata yang paling ia benci. Perceraian. Haruskah ini juga terjadi pada dirinya?
"Morning, lil' girl," sapa Adam membuka pintu kamar Alea.
"Morning, Kak."
Ia berusaha bangun dari tidurnya. Begitu memaksakan sampai ia berusaha menahan rasa sakit yang luar biasa pada kepalanya. Ia meringis, memegangi kepalanya.
"Sarapan dulu. Setelah itu diminum aspirinnya. Kau harus istirahat dulu."
Adam meletakkan nampan di sisi meja kecil. Ia mengusap puncak kepala Alea dengan sayang.
"Abiel.."
"Tenanglah. Ada Adel. Mereka baik-baik saja."
"Maaf, merepotkan."
Adam menggeleng, "jangan dipikirkan. Bukankah aku selalu bilang, aku akan selalu ada untukmu kapanpun kau membutuhkanku."
"Kau kakak yang baik."
"Untuk adik tersayang apa salahnya?"
Alea tersenyum kecut. Ia membiarkan Adam menyuapi bubur untuknya.
"Kafka tidak pulang ya?" tanya Alea lirih.
"Jangan pikirkan itu dulu. Nanti aku yang akan mencarinya. Tadi aku sudah menelpon Beny. Dia juga tidak tau."
"Aku hanya mencemaskan dia."
"Ya. Tentu kau boleh mencemaskannya. Tapi kau harus banyak istirahat kali ini. Jangan membantah. Aku sudah menyuruh orang untuk mencarinya."
"Terimakasih, Kak."
"Apapun untuk kamu, Alea. Sudah, jangan dipikirkan. Habiskan dulu sarapanmu, ayo."
Alea tersenyum tipis. Ia kembali menerima suapan kedua dari Adam. Menelannya dengan susah payah.
Apa yang sedang Kafka lakukan sekarang?
Dimana ia tidur semalam?
Apa dia sudah makan? Bagaimana bisa ia makan kalau ponsel dan dompetnya ia tinggal?
Tanpa terasa ia kembali menangis di sela makannya. Menangis tanpa isak. Adam melihatnya. Terenyuh. Ia terdiam meletakkan mangkuk di meja kecil lalu bergeser, merengkuh Alea dalam pelukannya.
"Kafka pasti kembali," ujar Adam menenangkan.
"Bagaimana kalau tidak?" tanya Alea serak.
"Tidak. Dia pasti kembali."
"Renata ada sidang cerai hari ini."
"Jangan pikirkan wanita lain. Kafka tidak akan menceraikan kamu. Jika itu terjadi, aku yang akan memenggal kepala bodohnya."
Alea terkekeh di antara sisa tangisnya. Apa benar Kafka akan tetap mempertahankannya? Alea tersenyum kecut. Ia tidak yakin. Karena ia tau ia salah. Tidak seharusnya mulutnya dengan entengnya menyebut nama panggilan pangeran masa kecilnya. Semuanya sudah berlalu. Seharusnya ia hanya fokus menatap masa depannya agar tidak terjadi kesalah pahaman seperti ini.
Entah sudah berapa lama ia terlelap. Yang jelas ia terbangun saat mendengar suara-suara yang tidak asing baginya. Tapi ia tidak berniat untuk membuka matanya. Ia tetap diam dalam posisinya.
"Dia mencintaimu, bodoh! Apa kamu tidak melihat bagaimana lelahnya dia? Kapan kau akan berhenti bersikap bodoh, Kaf? Kau bahkan sudah menginjak pertengahan kepala tiga. Ayolah, Kaf. Lihat!"
"Dia mencintaiku?" terdengar suara bernada ragu. Entah sejak kapan Kafka kembali.
"Untuk apa dia mati-matian mempercayaimu kalau dia tidak mencintaimu? Kebanyakan wanita akan menuruti rasa cemburunya begitu ada wanita lain mencoba masuk. Kau berkali-kali menyakitinya karena masa lalumu. Tapi apa Alea pernah meninggalkanmu?"
Tidak terdengar lagi jawaban. Hanya terdengar langkah kaki mendekat. Alea menegang kaku. Entah siapa yang mendekat. Adam atau malah Kafka? Tapi sisi batinnya mengharap Kafka yang menghampirinya.
"Tapi Alea berhak bahagia. Jika Alfa yang bisa membuatnya kembali tersenyum, aku akan melepaskannya. Aku.. karena aku tau --aku hanya pria payah. Aku tidak sesempurna Alfa."
"Alfa?"
"Masa lalunya. Dia memanggilnya Prince." Terdengar tawa lirih dari Kafka. "Bahkan aku sendiri... dia tidak pernah memanggilku dengan panggilan sayang. Memang aku tidak punya. Lagipula aku ini apa?"
Alea semakin terdiam, menahan sesak yang tiba-tiba hadir. Ingin rasanya ia bangun dan menghambur memeluk pria itu kemudian mengatakan bahwa ia sangat mencintainya lebih dari apapun. My Man. Tidakkah itu cukup untuknya?
"Memang tidak mudah untuk melupakan masa lalu. Tapi bukan berarti kamu tidak berharga untuknya. Bukan berarti Prince yang kau sebutkan tadi adalah orang yang tepat untuk Alea."
"Alea sangat mencintainya."
Terdengar lagi langkah mendekat. Alea tak berani membuka matanya. Ia masih ingin mendengarkan pembicaraan itu.
"Kalau masalah mencintai, jujur saja aku juga masih mencintai istrimu, adikku, tapi.. yang terpenting adalah bukan cinta. Melainkan keputusan. Keputusan dengan siapa akhirnya kau akan menjalani hidupmu. Karena memang benar, cinta datang karena terbiasa. Dan Alea sudah memutuskan untuk bersamamu."
Beberapa saat lamanya hening. Tidak terdengar suara lagi. Hanya helaan nafas panjang yang ia yakin itu dari Kafka.
"Jadi bagaimana? Kau masih tetap ingin melepas Alea?"
Melepasku? Alea menahan nafasnya.
Aku bisa apa jika pada akhirnya Kafka benar-benar ingin mengakhirinya?
Butiran crystal kembali lolos membasahi bantalnya. Ia menggigit bibir dalamnya kuat-kuat agar tidak menimbulkan suara isakan.
"Kau yakin akan baik-baik saja tanpa Alea? Ayolah, Kaf. Kamu terlalu cemburu. Kamu harus mengendalikannya."
"Aku tidak cukup baik untuknya. Aku ini terlalu payah. Aku...,"
Tidak! Ini tidak boleh dilanjutkan. Alea bergerak bangun tanpa suara hingga tanpa di sadari oleh keduanya.
"Aku hanya pria malang yang beruntung mendapatkan sedikit mimpi indah. Ini tidak akan abadi. Aku tau. Aku pria malang, Adam.."
Pria malang? Pria payah? Apalagi yang akan Kafka katakan mengenai dirinya sendiri? Tidak cukupkah ia menyakiti dirinya sendiri?
"Kafka, please. Kemana Kafka yang tegas? Penuh percaya diri? Kemana? Kamu sama sempurnanya," ucap Adam menenangkan.
"Tidak. Itu tidak..,"
"Tapi aku mencintai pria malang itu," ucap Alea lirih penuh keyakinan.
"Alea...,"
Alea memberanikan diri untuk menyelami mata Kafka sampai kemudian ia berhenti ketika tatapannya bertemu.
"Aku keluar dulu. Kuharap kalian bisa menyelesaikannya dengan baik-baik," ucap Adam lalu bergegas keluar tanpa menunggu jawaban dari keduanya.
"Kafka," panggil Alea lirih. Sementara Kafka masih terdiam dengan sorot mata tak terbaca.
***
Tbc..
Dapet ga sih feel nya soalnya gue nulisnya agak nggak konsen. apa nggak nyambung? xixixixi.. sorry..
happy reading
29 Sept 2015
S Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top