[UN] BROKEN #29

Tidak. Ia tidak menyalahkan kehadiran Alfa. Ia tidak menyalahkan kegilaan Renata. Dan ia juga tidak menyalahkan kepayahan Kafka. Satu-satunya yang ia salahkan adalah keadaan yang memaksanya untuk mendapatkan itu.

Alea menyandarkan tubuhnya pada sisi lemari. Ia belum berhenti menangis. Satu tangannya meremas dadanya. Sikap kasar Kafka membuatnya terlempar jauh. Sakit bahkan sangat. Kafka tidak pernah seperti ini sebelumnya. Apa ia harus menyerah?

Kepalanya tergeleng perlahan. Bukan waktunya untuk menyerah. Ia tidak ingin kedua anaknya kehilangan keluarga utuhnya. Tapi bertahan dengan Kafka yang kini tidak mempercayainya rasanya sangat sulit untuk tetap berdiri. Tapi kalau menyerah? Renata mungkin akan menertawakan dirinya. Tidak! Ini tidak boleh terjadi.

Kafka hanya meluapkan rasa cemburunya. Tidak benar-benar meragukannya, kan?

Dewi batinnya menatapnya iba, merengkuh sisi batinnya yang rapuh. Alea terdiam menenggelamkan wajahnya di antara lututnya.

***

-Katakan, jika aku kurang memahamimu, Kaf.-

Kalimat itu terus bermain di telinga Kafka. Kedua tangannya gemetar, meremas kepalanya. Ia hancur sekarang. Mulutnya terus merutuki kebodohannya yang tidak bisa mengendalikan dirinya. Ia sudah sangat menyakiti Alea kali ini. Ia meragukan wanitanya padahal ia sendiri tau, tidak mungkin Alea meninggalkannya. Tapi melihat tatapan mata itu...,

Ia menggeleng keras. Bagaimana kalau Alea benar-benar menyerah menghadapinya? Bagaimana kalau Alea benar-benar meninggalkannya? Dan parahnya bersama laki-laki itu. Kafka terdiam, menyerah pada tangisnya. Ia melupakan gender-nya yang seorang laki-laki. Katanya laki-laki pantang menangis. Tapi kali ini ia tidak memikirkan itu. Penyesalannya lebih besar dari pada gengsinya.

"Alea.., Baby..," desisnya tanpa henti.

Ingin rasanya ia meremukkan tangannya yang sudah menyakiti wanitanya. Bagaimana bisa ia kesetanan seperti tadi? Bagaimana bisa ia tidak menatap Alea? Bukankah selama ini Alea yang selalu ada untuknya?

Seseorang dalam dirinya tak berhenti mencemooh dirinya.

-Kamu bukan apa-apa tanpa Alea, Bodoh!!-

Ia meringis perih. Memang kenyataannya demikian.

"Apa yang harus kulakukan?"

Maaf tidak bisa mengembalikan keadaan kan? Batinnya bertanya demikian. Ia terlalu takut untuk menemui Alea. Takut jika Alea sudah berubah membencinya. Kali ini ia sangat keterlaluan. Seharusnya ia bisa bertanya baik-baik.

"Baby, Im really sorry..," bisik Kafka. Tangannya meraih bantal Alea memeluknya erat dan menciuminya dengan rakus. Ia terus membisikkan kalimat itu seakan ia benar-benar berbicara dengan Alea. Sementara tubuhnya luruh di lantai, bersandar pada sisi ranjang.

Ia bahkan tak menyadari kehadiran Alea.

"Baby.., Baby, I love you. Baby.."

Melihat Kafka demikian, sisi hatinya seperti di remas kuat. Bagaimanapun cinta mengalahkan segalanya.

-Bertahanlah, Al. Jangan sampai kamu menyesal seperti Mbak.-

Alea menarik nafasnya dalam-dalam. Ia mendekati pria itu. Tak peduli jika nanti Kafka akan membanting tubuhnya kembali.

"Kafka..," panggilnya serak. Ia menyejajarkan tubuhnya, menghadap Kafka. Tangannya menyentuh pelan lengan Kafka.

"Kamu akan meninggalkanku?" tanya Kafka datar, menegakkan wajah kacaunya.

"Kenapa kamu berpikir demikian?" tanya Alea lirih.

"Karena aku sudah menyakitimu. Aku tidak menghargaimu. Tidak seperti dia," ucap Kafka tercekat. Hatinya terasa perih mengucapkan kalimat sialan itu.

Alea menatap nanar pria-nya. Perlahan kepalanya tergeleng. Demi apapun ia tak pernah berpikir demikian. Ia sangat mencintai pria ini.

"Apa kamu sudah tidak menginginkan aku lagi?" tanya Alea hati-hati. Demi Tuhan!! Ia benci pertanyaan ini. Pertanyaan yang sama sekali tidak terbayang olehnya.

"Tapi kamu berhak bahagia."

Tidak! Ini sangat menyakitkan. Bahagiaku hanya bersamamu, Kaf. Apa kamu tidak melihatnya? Rintih batin Alea.

"Aku mengerti aku payah. Aku sudah menyakiti kamu. Aku..,"

Alea semakin tak kuasa menahan dirinya untuk tidak menangis. Hatinya semakin tak karuan mendengar racauan Kafka. Satu kesalahan di sini adalah tidak pernah saling menceritakan masa lalunya. Terlebih keduanya tak pernah berpikir jika mereka akan datang kembali.

"Maafkan aku," ucap Alea serak. Ia menarik bantal yang dipeluk Kafka, kemudian menggantikan dengan dirinya. Ia memeluk erat tubuh itu.

"You know how much I love you, Kafka," bisik Alea menenggelamkan wajahnya di dada pria itu.

Satu gerakan membuat tangisnya semakin mendalam. Ketika tangan Kafka membalas pelukannya bahkan lebih erat. Ia merasakan tubuh itu bergetar, pecah bersama tangisnya.

"Maafkan aku," bisik Kafka.

"Aku yang salah," bantah Alea.

"Tapi aku menyakitimu. Aku kasar padamu," bisiknya. Ia kini membenamkan wajahnya di ceruk leher Alea. Tempat ternyaman yang tidak tergantikan.

"Aku tau maksudmu baik."

"Apa kau akan tetap meninggalkan aku?"

"Tidak akan. Sekeras apapun kamu meminta."

"Aku mencintaimu. Apa kamu merasakannya? Aku hanya takut seseorang mengambilmu dariku. Apa kamu memahaminya?"

"Aku mengerti. Dan aku masih di sini."

"Kamu melakukannya.."

"Karena aku juga mencintaimu. Sangat," potong Alea.

Alea merasakan pelukan Kafka semakin erat. Tapi tidak untuk menyakitinya. Hanya merupakan bahasa tubuh yang menandakan bahwa ia benar-benar tidak ingin kehilangan Alea. Ia juga mendengar Kafka membisikkan penyesalannya.

"I love you," bisik Kafka akhirnya.

"I love you too, My Man."

Untuk beberapa saat lamanya ia membiarkan Kafka memeluknya erat. Mengecupi puncak kepalanya, menghirup rakus aroma shampoo-nya. Ia merasakan baju bagian bahunya basah. Ini sudah pasti karena tangis Kafka. Ia merasakan semua gerakan Kafka termasuk saat merubah posisi Alea agar duduk mengangkangi pahanya, membuat pelukannya semakin erat dan melekat pas.

"Kau tidak akan meninggalkan aku kan?"

"Jangan mengulanginya lagi," pinta Alea.

"Ingatkan aku selalu."

"Ya. Better?" Alea menjauhkan badannya. Tangannya menangkup wajah Kafka, menelusurinya dengan gerakan jarinya.

Kafka menggeleng, "aku masih takut."

"Aku tidak akan pergi. Aku mencintaimu. Aku sudah mengatakan ini berkali-kali," bisik Alea menyandarkan dahinya pada dahi Kafka.

"Jangan pergi..., Kumohon. Biarkan seperti ini," bisiknya.

Tangannya kembali menarik Alea jatuh ke dalam pelukannya. Masih sama eratnya.

"Aku harus menjemput anak-anak. Aku sudah berjanji..,"

"Sebentar saja. Sampai aku yakin ini bukan mimpi."

Alea membiarkan Kafka kembali mengecupinya. Terkadang ia merasakan tetesan air mata Kafka tak sengaja jatuh di wajahnya.

"Kaf," Tangan Alea terulur, mengusap pipi Kafka. Wajah itu sangat lembab.

"Apa aku tidak boleh menangis?" tanyanya serak.

"Ya. Kau boleh. Setiap orang boleh menangis."

"Baby..,"

"Ya?"

"Maukah kamu mengajari aku untuk kuat? Seperti kamu?"

"Kamu yang terbaik, Kaf."

"Tapi aku bodoh. Aku payah."

"Itu kekuranganmu. Aku tidak bisa hanya menerima kelebihanmu kan?"

"Aku semakin merasa bodoh."

"Maka diamlah. Aku masih di sini bersamamu."

Dering ponsel keduanya menyalak saling bersahutan. Tapi keduanya tak ada niatan sedikitpun untuk meraih dan menjawabnya. Kafka malah semakin tenggelam memeluk Alea seakan tak akan ada waktu lagi. Sesaat kemudian Alea teringat janjinya pada Abiel.

"Kaf, ini sungguhan! Aku harus menjemput Abiel."

"Kita baikan kan?"

"Jangan seperti anak kecil, please."

"Jawab dulu."

"Iya, kita baikan. Sekarang biarkan aku pergi menjemput Abiel."

"Tidak!!"

"Kafkaa,"

"Tidak boleh. Kalau tidak bersamaku. Aku tidak mau laki-laki itu mendekatimu lagi."

Alea memutar bola matanya. Baru saja berbaikan, sekarang Kafka sudah mulai lagi kembali dengan sifat cemburuannya.

"Kita jemput Abiel. Kamu jangan jauh-jauh dari aku," ucapnya tegas.

"Susah punya suami cemburuan!" dengus Alea beranjak bangun dari pelukan Kafka.

"kamu menyinggungku!"

"Buruan. Ganti bajumu. Aku tunggu di bawah."

"Tunggu di sini saja! Nanti kau meninggalkanku," ucapnya mendelik tajam.

Alea terkikik. Ia duduk di tepi ranjang, memperhatikan Kafka sedang berganti pakaian. Ia begitu ketakutan ditinggal Alea sampai-sampai ia tidak mau berganti pakaian di kamar mandi. Oh, my! Kalau saja ia hanya berdua dan tidak sedang ditunggu anaknya mungkin Alea sudah khilaf menerjang tubuh menggiurkan itu.

"Ayo," ucap Kafka membangunkan dirinya dari lamunan nakalnya.

Alea beranjak, berjalan lebih dulu. Namun sebuah tangan menahannya.

"Apa lagi?" tanya Alea mengernyit.

"Begini, biar tidak ada yang melirikmu," ketus Kafka menarik pinggang Alea hingga menempel ketat padanya.

"Jangan terlalu cemburuan, Kaf."

"Kamu tidak tau rasanya takut kehilangan. Kamu juga tidak tau ketakutanku jika semua mimpi burukku menjadi kenyataan," ucapnya cemberut.

"Maaf," bisik Alea.

Ya. Ia tau bagaimana Kafka selalu mengigau untuk jangan meninggalkannya dalam setiap lelap tidurnya.

"Terlebih saat melihat kamu dengan dia. Rasanya semua mimpiku akan menjadi nyata. Aku takut, Baby."

"Aku mengerti. Ini tidak akan terjadi lagi."

"Aku tidak akan membiarkanmu pergi tanpaku lagi."

Alea memutar bola matanya. Mulai lagi! Kafka mulai lagi mengeluarkan sisi possesive-nya.

***

TBc

nggak jadi besok. sekarang aja update nya..

tapi besok jangan dtungguin yaa (ngarep)

kali ini aq dpt feel-nya. Tapi nggak tau deh nyampe ke kalian apa enggak.

xixixixi..

enjoy reading..

23 Sept 2015
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: