[UN] BROKEN #28

Dia siapa? Laki-laki itu..

Kafka mengerang frustasi. Marahnya meluap seketika begitu mengingat bagaimana mata itu saling menatap. Bukan sekedar menatap tapi ada kisah dibaliknya. Senyumnya pun saling bersambut seakan saling berbicara.

"Aarggh!! Bastard!!!" teriaknya memukul kemudi mobil hingga tangannya merah. Mungkin kalau dalam keadaan sadar, ia akan menjerit kesakitan.

Tok!! Tok!! Tok!!

Kafka menoleh ke arah jendela. Ada Beny sedang menanti dengan wajah cemasnya. Tunggu! Memangnya di sini yang bos-nya siapa? Yang asisten pribadinya siapa? Kafka mendengus sambil menurunkan kaca mobilnya.

"Lima menit lagi meeting dimulai, Kaf. Pihak K-furniture sudah siap sejak lima belas menit yang lalu," ucap Beny mengingatkan.

"Kau bisa meng-handle nya."

"Kaf..,"

Kafka menulikan telinganya. Ia kembali menutup kaca jendelanya. Beberapa kali Beny kembali mencoba mengetuk pintu mobil itu agar CEO-nya keluar. Tapi sepertinya Kafka tetap pada pendiriannya. Ia sempat sekilas mendengar teriakan Beny.

"Kaf, please! Selama ini kamu selalu profesional. Ayolah, lupakan dulu masalah pribadimu!!"

Kafka menggeleng. Ia meraih ponselnya.

"Pulang!! Aku tunggu di rumah. Sekarang!!" ucapnya dingin kemudian melempar ponselnya ke kursi penumpang tanpa menunggu jawaban dari seseorang yang ia telfon.

Ia menurunkan kaca mobilnya, menatap Beny yang masih setia menunggu. Pria itu masih berharap bos-nya berubah pikiran.

"Aku pulang!" ucapnya singkat lalu pergi begitu saja.

Dalam hati Beny bertanya-tanya. Apa yang membuat Kafka kehilangan kendali seperti ini? Ada masalah apa lagi? Renata lagi? Tapi kemarin-kemarin tidak demikian. Kafka masih bisa bekerja dengan profesional. Tidak seperti ini. Lalu ada apa lagi?

Beny menghela nafasnya dalam-dalam. Ia menatap kepergian Kafka kemudian kembali ke dalam restoran itu. Mengangguk hormat disertai senyuman pada beberapa orang dari pihak K-furniture.

"Bisa dimulai?" tanya pimpinan K-furniture, Mr. Alfa dengan nada berwibawa.

"Bisa. Saya mewakili Mr. Aditya. Kebetulan beliau sedang ada keperluan mendadak. Saya harap ini tidak mengganggu proses meeting," ucap Beny.

"Tidak apa-apa. Saya mengerti kesibukannya," ujar Alfa. Ia mengerti bagaimana kerajaan bisnis seorang Aditya Kafka. Perusahaan furniture miliknya hanyalah setengahnya dari milik Aditya Kafka. Jadi wajar saja bukan?

***

Tubuh Alea membeku ketika mendengar suara dingin Kafka. Entah apa lagi yang menyebabkan pria-nya marah lagi. Beberapa saat lamanya ia hanya memandangi ponselnya sebelum akhirnya ia memasukkan kembali ke dalam tasnya. Ia lalu menghampiri Mbak Tanti yang sedang memasukkan beberapa kotak susu kemasan.

"Mbak, masih lama?" tanya Alea. Sebenarnya ini adalah pertanyaan bodoh karena ia dan Mbak Tanti baru saja masuk, baru mendapat beberapa barang dari sekian puluh daftar belanjaannya.

"Kenapa, Al?"

"Pulang, Mbak. Nanti saja belanjanya. Kafka sedang PMS..,"

"Oh? Kamu pulang saja, Al. Aku tadi ditelpon Pak Han. Pak Han ada di depan ditinggal Bapak."

"Oh, Okay. Tidak apa-apa kan aku pulang dulu sama anak-anak?" tanya Alea. Ia tau, pasti Kafka meninggalkan Pak Han begitu saja. Tunggu, Pak Han di depan? Jadi, Kafka meeting di mana?

"Hati-hati, Al. Jangan sampai anak-anak dengar perselisihan kalian. Tidak baik untuk perkembangan mental," ujar Mbak Tanti menasihati. Alea mengangguk kemudian bergegas pergi setelah ia memberikan kartu kredit pada Mbak Tanti.

"Mom!!" Teriakan Abiel membuatnya berhenti.

"Mom mau kemana? Abiel ikut Mom," ucapnya berlari mendekat.

"Abiel sama Mbak Tanti sebentar ya? Mom mau jemput Daddy sekarang. Okay? Mengerti?"

"Abiel ikut," ucapnya dengan tatapan puppy eyes-nya.

Alea menggeleng. Ia berjongkok di hadapan Abiel, meraih kedua pundaknya. Matanya menatap anak itu memohon pengertian.

"Abiel temani adik Aaron ya? Sebentar saja. Nanti kalau Mom sudah selesai, Mom akan jemput Abiel. Terus kita makan burger, bagaimana?"

"Promise?"

"Promise," ucap Alea mengangguk.

"Okay, I'll waiting for you, Mom."

Alea mengecup pipi Abiel kemudian bergegas keluar dari supermarket itu. Ia menghentikan sebuah taksi.

Pikirannya sudah pecah entah kemana. Apa yang membuat Kafka terdengar seperti sedang menahan gelegak emosinya? Ada apa lagi? Tanpa sadar ia mengembuskan nafasnya. Lelah itu kembali ia rasakan. Ia sudah mencoba untuk bungkam, tidak mempermasalahkan Renata lagi selama wanita itu hanya mengirimi barang-barang sok sweet bukan so sweet. Ia lebih memilih menyimpannya seperti biasa. Alea menyandarkan tubuhnya, menatap keluar jendela sana.

"Terimakasih, Pak," ucapnya lirih ketika sampai di depan rumahnya.

Langkah tergesa memasuki rumahnya karena Kafka terlihat tidak sabaran dengan menghubunginya terus menerus. Dan sekalipun Alea tidak mengangkatnya. Biar saja semuanya ia bicarakan di rumah. Tapi apa yang akan dibicarakan?

Ia terus melangkah. Sudah pasti Kafka menunggunya di kamar. Benar saja. Wajah itu keras seakan tak sanggup menahan luapan emosinya. Alea mendesah sambil terus mendekat.

"Ada apa?" tanya Alea tanpa basa-basi.

"Siapa dia?!" geramnya dengan nada rendah.

Tangannya mencengkeram lengan Alea kemudian menghempaskannya dengan cepat di ranjang. Ia tidak memperhatikan bagaimana Alea meringis, menahan sakit tubuhnya saat dihempas keras. Secepat kilat Kafka mengurung ketat tubuhnya. Matanya menatap tajam menuntut penjelasan diantara rasa cemburunya. Satu tangannya menggenggam rahang Alea agar tetap lurus menatapnya.

"Kaf!" rintih Alea. "Kau menyakitiku," lanjutnya.

"Siapa dia?!" Suara menggeram rendah.

"Siapa apanya?" cicit Alea. Ia tidak bisa bergerak sama sekali. Tubuh itu bukan hanya mengurung tapi juga menguncinya.

"Katakan siapa dia!!"

"Yang mana? Aku tidak tau kamu sedang membicarakan siapa!" balas Alea setengah kesal.

"Oh? Jadi banyak?! Lalu yang tadi di depan supermarket siapa?! Aku benci melihat kalian bertatapan menjijikkan itu. Aku benci!!" teriaknya menghempaskan Alea lebih dalam lagi.

Ia bangun dari tubuh Alea dengan nafas memburu setelah ia menghempaskannya untuk kedua kalinya. Ia berdiri, berkacak pinggang. Masih dengan tatapan nyalangnya.

"Apa dia sempurna? Apa dia yang selalu memberikan apa yang tidak bisa aku berikan?! Kamu tidak mencintai aku lagi? Oh, pertanyaan bodoh! Tentu saja tidak. Tapi, aku tidak suka melihatmu dengannya! Aku membenci semua yang mengusik apa yang sudah menjadi milikku! Kau mengerti?"

Alea memejamkan matanya. Ia mencari sisa kekuatan untuk bangun. Pria-nya kini sedang kesetanan, terbakar cemburu.

"Bukan siapa-siapa. Dia hanya teman. Aku mengenalnya saat kecil dulu," jelas Alea berusaha bersikap tenang.

"Teman? Kamu bilang teman?! Teman mana yang saling menatap seperti itu? Teman mana yang tersenyum seperti itu? Teman mana?! Aku tidak bodoh, Al! Katakan teman mana? Ada cinta di sini," Kafka menunjuk ke kedua matanya, "Dan aku melihatnya. Kamu sebut itu teman?!! Katakan sejujurnya!!"

"Kaf!!" Alea berdiri berhadapan dengan pria-nya yang sedang frustasi.

"Kamu tidak tau bagaimana sakitnya aku! Kamu tidak tau bagaimana kecewanya aku..,"

"Fine! Dia Alfa, orang yang dulu pernah kucintai. Orang yang kuanggap ikut terlalap api kebakaran itu. Dan dia hadir lagi!" potong Alea membalas tatapan mata Kafka. Sejenak ia menyesali ucapannya ketika tiba-tiba ia melihat ada luka di tatapan matanya.

"Kamu tidak pernah mencintai aku!! Kamu tidak --pernah --mencintai --aku," desis Kafka. Ia tertawa sumbang kemudian meninggalkan Alea.

"Kafka!!" panggil Alea. Ia bergegas mengejar langkah lebar Kafka. Pria itu masih mendesiskan kalimat itu sambil menuruni anak tangga. Kemudian terduduk lemas di meja makan.

"Listen to me, Kaf.."

"Apa?! Apa yang harus kudengarkan? Kamu hanya mencintainya! Kamu tidak pernah mencintai aku! Kamu tak pernah memberikan tatapan itu padaku. Kamu hanya memberikan tatapan kasihan padaku! Dan bodohnya aku baru menyadarinya sekarang, di saat aku terlalu mencintai kamu. Terlalu takut kehilangan kamu!"

Alea menggeleng tak percaya. Kata-katanya sangat menyakitkan. Genangan air matanya mulai merembes. Ia tak mampu lagi menahannya.

"Kenapa? Kenapa kamu tidak bisa mempercayai aku sebagaimana aku mempercayai kamu bahwa kamu tidak lagi mencintai Renata. Bahwa kamu tidak tergoda untuk kembali dengannya?" tanya Alea bergetar.

"Kenapa harus?! Renata dan dia itu beda."

"Di mana bedanya? Mereka sama-sama menginginkan kamu dan aku. Dimana bedanya?"

Kafka terdiam, memejamkan matanya. Tangannya mengepal kuat.

"Tapi aku tidak pernah memberikan harapan padanya! Sementara kamu?!!"

"Tapi Alfa tidak pernah mengejar-ngejar seperti orang gila!! Dia hanya ingin berteman denganku dan tidak lebih!"

"Kamu membelanya, Alea!!"

"Apa bedanya dengan kamu, Hah?!!" balas Alea.

Kafka bangu dari duduknya. Matanya menyipit tajam.

"Kenapa kamu selalu menyalahkan aku? Aku lelah, Kaf. Tentang Renata, kamu menyalahkanku yang selalu mengambil keputusan sendiri. Dan sekarang tentang Alfa, yang lucunya kamu meragukan perasaanku. Aku lelah.."

"Al!!"

"Selama ini aku mencoba bertahan. Kamu lihat ini. Sudah saatnya kamu tau tentang ini.."

Alea berjalan menuju ke sebuah lemari. Ia membukanya dan mengeluarkan semua yang ia simpan selama ini. Hadiah-hadiah dan ucapan cinta kini berceceran di lantai.

"Kamu lihat?! Ini darimana? Dari Renata. Aku menyimpannya. Karena aku pikir, ini cukup aku yang tau. Aku tidak mau membuatmu bertambah pusing dengan hal sepele semacam ini. Aku peduli sama kamu sampai aku tidak memikirkan bagaimana perasaanku. Aku mencintai kamu, berkorban semuanya untuk kamu. Dan sekarang, kamu bilang aku hanya kasihan padamu? Apa semua yang aku lakukan tidak cukup untuk membuktikan bahwa aku lebih dari sekedar mencintai kamu?" ucapnya lirih menatap Kafka yang berdiri menjatuhkan tatapannya padanya.

Alea berdiri, menyusuri manic mata Kafka.

"Katakan jika aku kurang memahamimu, Kaf," bisik Alea serak.

Kafka mengerjabkan matanya. Ia kembali menatap Alea dengan sorot tak terbaca. Tidak ada lagi suara selain Alea yang menahan isak. Kafka masih terdiam sampai kemudian ia melangkah pergi. Ia meninggalkan Alea yang terduduk lunglai di lantai. Memeluk lututnya, membiarkan tangisnya melunturkan lelah dan emosinya. Sesak dan sakit itu kini kian menghimpit.

***

TBC..

Lanjut besok yaa.. aq ga dpt feel soalnya.. marah dan sedihnya garing rasanya.. iya nggak sih?

yg di mulmet kakak Abiel, imut ga? xixixi

happy reading..

23 Sept 2015
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: