[UN] BROKEN #27
Prince. Lebih tepatnya Alfa Mahenra. Entah sejak kapan pria itu mulai mengusik hati Alea. Ia seakan terlempar kembali ke masa lalu. Bukan berarti sudah berpaling dari Kafka. Tapi tidak munafik. Semuanya memiliki ruang tersendiri bukan?
Kafka adalah kenyataan yang harus ia hadapi saat ini. Seorang pria yang akhir-akhir ini sangat menguji kesabarannya, mematahkan hatinya berkali-kali. Tapi dia pula yang membuatnya jatuh kembali, meleleh tanpa sisa karena besarnya cintanya.
Lalu Alfa adalah seseorang dari masa lalunya. Kisahnya ternyata belum benar-benar selesai. Cintanya yang masih sama besar untuk Alea selalu menjadi kekuatan Alea untuk kembali berdiri. Dia menguatkannya, mengembalikan semangatnya hanya dengan kilasan indah masa lalunya. Dan bodohnya, Alfa dengan sukarela melakukannya.
Alea menghela nafasnya pelan. Menatap bayangannya di cermin. Entah berapa lama ia berdiri di depan cermin hanya untuk memikirkan sesuatu. Sampai kemudian ia tersadar ketika sebuah tangan mungil menggapai-gapai kakinya. Alea menjatuhkan tatapannya pada bayi yang sedang berusaha berdiri dari merangkaknya. Seulas senyum lembut tercipta di sana. Ia membungkukkan badannya, meraih tubuh mungil itu dalam gendongannya.
"Ehehm? Apa yang kau inginkan, Baby boy?" tanya Alea gemas yang hanya dijawab dengan celotehan. Tangan mungilnya meraih rambut Alea, menarik-narik kecil, menjadikannya sebuah mainan.
"See? Kau mengacak-acak rambut Mom, Sunny," ucap Alea berpura-pura cemberut.
Tak lama Alea terkekeh, menyerah dan membiarkan Aaron memainkan rambutnya. Ia menghadiahinya beberapa ciuman di wajah menggemaskan itu. Tangannya meraih tas kemudian beranjak keluar dari kamarnya.
"Mbak," panggil Alea sambil menuruni anak tangga.
"Iya, Al?"
"Sudah siap, Mbak?" tanya Alea. Ia berencana untuk berbelanja bulanan setelah menjemput Abiel pulang sekolah.
"Iya, sudah, Al. Sini biar mbak saja yang menggendong Aaron," ucap Mbak Tanti mendekat.
"Tidak apa-apa. Ayo. Pak Han hari ini mengantar Kafka ya?"
"Iya, Al. Katanya mengantar bapak meeting di luar."
"Oh, begitu? Okay, terpaksa menyetir sendiri," gumam Alea, menuju ke deretan lemari kecil yang tergantung di dinding, berisikan kunci-kunci tergantung dengan rapi.
Ia menuju ke garasi, memilih salah satu mobil kemudian membuka pintunya, diikuti oleh Mbak Tanti. Kali ini ia menyerahkan Aaron pada Mbak Tanti sebelum akhirnya ia mengemudikan mobil berwarna hitam itu. Tanpa ia sadari mbak Tanti menatapnya dengan senyum kagum dari sampingnya.
Meski tubuhnya mungil, cantik tapi bukan berarti lemah. Selalu saja menjadi poros. Bahkan, senyumnya selalu tercipta meski lelah menghadapi keruwetan rumah tangganya. Bapak sangat beruntuk mendapatkan istri sepertinya. Ia bahkan selalu memperhatikan anak-anaknya, tidak melulu bergaya seperti para wanita diluar sana, gumamnya tanpa kedip.
"Al," panggil Mbak Tanti lirih.
"Kenapa, Mbak?" Alea melirik sekilas.
Lirikannya dijawab dengan gelengan kepala. Wanita ini terkadang membuat Alea gemas.
"Kenapa?" tanya Alea lagi.
"Tidak. Hanya kagum saja. Kamu tidak pernah memiliki rasa lelah. Mengingat akhir-akhir ini selalu saja ada yang membuatmu kesal," ucap Mbak Tanti akhirnya.
Alea tertawa lirih. Ia sendiri tidak tau. Kalau bicara lelah, jujur saja Alea merasakannya. Tapi dia selalu menekankan bahwa ini bukan titik terendahnya, bukan titik nol yang mengharuskan ia benar-benar berhenti dan menyerah. Kalau hanya masalah perempuan itu, sedikitnya Alea masih bisa berdiri kembali.
"Setiap orang juga memiliki batas, Mbak. Titik terendah, titik nol. Tapi, hidup kalau menuruti rasa lelah, mau dibawa kemana kita?" gumam Alea diplomatis.
Mbak Tanti mengangguk paham. "Kamu benar. Jangan sampai menyesal, Al. Jangan sampai seperti aku. Aku sudah kehilangan semuanya. Kau masih ingat bukan ketika pertama kali aku memohon pekerjaan pada Bapak untuk menggantikan Tina yang berhenti karena menikah?"
Alea mengangguk. Saat itu, Pak Han merupakan teman almarhum suami wanita yang berusia hampir 40 tahun ini. Pak Han lah yang membantu Mbak Tanti untuk mendapatkan pekerjaan ini. Sebelumnya memang Alea tidak berniat mempekerjakan pembantu lagi tapi melihat wanita yang harus membiayai sekolah anak-anaknya, akhirnya ia dan Kafka memutuskan untuk menerimanya. Bahkan sampai sekarang, Alea menganggap seperti ibu atau bahkan kakak.
"Aku ingat, Mbak."
"Jangan pernah menyerah, Al. Sekeras apapun kau ingin menyerah. Jangan sepertiku. Aku dulu menulikan apa yang suamiku katakan. Pada akhirnya semua yang dia katakan ternyata benar. Wanita itu memang sengaja menggodanya. Saat aku ingin meminta maaf, Tuhan lebih dulu memanggilnya. Suamiku tertimpa beton saat sedang bekerja di proyek."
Ia memejamkan matanya sejenak, mengusir sesak yang tiba-tiba datang. Tidak, itu tidak akan pernah terjadi. Batinnya bersumpah demikian.
"Aku harap itu tidak akan terulang, Mbak."
"Bapak sangat mencintaimu, Al. Hanya saja ia terkadang seperti tidak mau tersaingi. Meski dengan anak-anaknya sekalipun."
"Kau benar, Mbak. Tapi, aku mengerti. Hidupnya penuh drama. Ia dari kecil kehilangan orang tuanya. Jadi, wajar saja jika terkadang bukan tapi.. sering bersikap manja seperti bayi besar," ujar Alea terkekeh.
Alea berusaha untuk selalu memahami. Bagaimana Kafka saat menjadi pimpinan di kerajaan bisnisnya -selalu tegas dan dingin-. Kemudian bagaimana Kafka jika sudah bersama keluarganya -manja, seakan haus kasih sayang-. Seakan ia memiliki dua Kafka yang sangat bertolak belakang.
"Lho, Al, Al. Kak Abiel-nya menangis," seru Mbak Tanti memecahkan lamunan.
Tergagap. Ia buru-buru menepikan mobilnya kemudian turun menghampiri Abiel yang duduk sambil menangis di ayunan taman bermain sekolahnya.
"Sayang, maafkan Mom. Mom lama ya?" ucap Alea dengan nada bersalah, berjongkok di hadapan Abiel.
"Mom lama," ucapnya serak, merengut.
"Maafkan Mom ya? Ayo pulang. Abiel pulang awal ya? Biasanya jam segini Abiel masih di kelas," tanya Alea, mengangkat tubuh Abiel dan menggendongnya.
Abiel hanya mengangguk kemudian membenamkan wajahnya di ceruk leher Alea. Kedua tangannya mengalung ketat. Masih terdengar sisa isak dari pria kecilnya ketika ia mendudukkan Abiel di samping kemudi. Sementara Mbak Tanti sudah pindah ke belakang begitu Alea turun.
"Anak Mom, jangan menangis. Kita akan jalan-jalan. Abiel mau apa? Es krim?"
"Abiel mau ketemu Dad."
"Dad?" Dilihatnya Abiel mengangguk mantap. "Tapi Dad sedang banyak meeting dengan orang di luar, Sayang. Besok lagi ya ke kantor Daddy-nya?"
"Ehem," jawabnya singkat, menganggukkan kepalanya. "Tapi nanti Abiel mau makan burger," lanjutnya.
"Iya, nanti kita makan burger. Tapi setelah antar mbak Tanti belanja ya?"
"Yes, Mommy."
Pria kecilnya kembali duduk manis menatap lurus ke depan. Alea kembali melajukan mobilnya menuju ke sebuah supermarket yang berdekatan dengan sebuah restoran langganannya. Hanya memerlukan waktu seperempat jam untuk sampai di sana. Alea turun mengambil trolly belanjaan. Saat ia kan mendorong, mbak Tanti lebih dulu mengambil alih, meletakkan Aaron di dalamnya seperti biasa.
"Biar saya, Al," ucap Mbak Tanti.
"Tapi, mbak...,"
"Tidak apa-apa."
"Tante! Tante Lea!!"
Suara anak kecil mengalihkan perhatiannya dari trolly belanjaan. Ia tau siapa yang berteriak. Ia hanya mengangguk saat Mbak Tanti berpamitan masuk ke supermarket itu. Tak lama si pemilik suara datang langsung menubruknya seakan tak bisa lagi menahan kangen.
"Hay, Nick. Dengan siapa?" tanya Alea mengusap puncak kepala Nick. Sementara Abiel hanya memperhatikannya dari genggaman tangan Alea.
"Dengan ayah. Tapi ayah sebentar lagi ada meeting," ujarnya cemberut.
"Oya? Jadi kamu sendirian ditinggal ayah meeting?"
Ia mengangguk.
"Eheemm, Kak Nick bisa ikut kami kalau mau," ucap Abiel tiba-tiba.
Matanya berbinar seketika. "Boleh?"
"Bilang dulu dengan ayahmu," ucap Alea akhirnya.
"Nick ke tempat ayah dulu, Tan. Nanti kembali lagi."
"Tidak perlu. Kamu mau sama Tante Lea? Boleh kok." Sebuah suara berat hadir disertai senyum menawannya. Sekilas membuat Alea kikuk.
"Prince?" ucapnya tanpa sadar.
"Titip Nick boleh kan? Dia merengek-rengek minta dijemput karena sekolahnya pulang lebih awal. Aku tidak tau kalau semuanya dibubarkan."
"Tidak masalah," ucap Alea menarik Nick dalam gandengannya.
"Thanks so much, Peri kecil. Kalau sudah aku di restoran itu ya?"
Alea mengangguk paham. Matanya kembali bertemu tanpa bisa di hindari. Saling menatap lembut dengan senyum seakan saling berbalas.
"Okay, semoga sukses meetingnya," ucap Alea tulus.
"Terimakasih, peri kecil."
Alea segera masuk bersama dua pria kecil di gandengannya, menyusul mbak Tanti. Tanpa ia sadari sepasang mata menatapnya dengan segenap emosinya. Dadanya bergemuruh, ingin segera meluapkannya. Tangannya mengepal tanpa sadar.
Dia milikku. Sampai kapanpun akan tetap menjadi milikku! Aku bersumpah akan menghancurkan siapapun yang berusaha mengusik milikku. Geramnya dalam hati dengan mata menatap nyalang.
***
Tbc ..
yg di mulmed itu cast-nya Aaron. lucu nggak sih?
btw, sorry lama. soalnya lagi banyak urusan.. mau booking tiket ga dpt2 penuh ters ampe akhir bulann :( #curcolll
happy reading yaa
22 Sept 2015
S Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top