[UN] BROKEN #26
Kafka menatap luruh kamarnya. Kosong. Baru saja ia kehilangan segalanya. Sumber kekuatannya, alasan bahagianya dan porosnya. Hidupnya mati sudah seiring kepergiannya.
Wanitanya akhirnya menyerah untuk bertahan. Meninggalkannya karena kelemahannya dan memilih bersama seseorang yang selama ini menguatkannya, melindunginya. Menghapuskan tangis yang disebabkan olehnya.
"Alea..,"
"Tidak, Kaf. Aku tidak bisa lagi untuk bertahan. Aku --berjuang keras mempertahankanmu. Tapi kamu sendiri mematahkannya. Kamu, berulang kali melewatkan kesempatan itu. Kamu juga berulang kali membuatku berjuang sendirian.
Apa kamu pernah memikirkan perasaanku? Apa kamu pernah berpikir bahwa di sini bukan hanya kamu yang harus dipertahankan? Aku juga berharap kamu setidaknya menggenggam tanganku untuk meyakinkan bahwa kita bisa melakukannya bersama-sama."
"Beri aku kesempatan, Baby. Aku berjanji akan memulainya, kita bersama-sama."
Yang ia lihat, Alea menggeleng lemah. Alea terus mengemasi barangnya. Sementara amplop coklat sudah teronggok di meja rias. Surat gugatan perceraian.
Apa laki-laki itu memberikan segalanya? Apa laki-laki itu begitu sempurna di mata Alea? Tentu saja, bodoh!! Kafka meringis getir.
"Aku sudah pernah bilang. Aku akan berjuang bertahan untukmu. Tapi ketika aku merasa gagal, aku bisa apa selain merelakan semuanya berakhir, Kaf? Kita hanya saling menyakiti. Dan ini, tentu saja tidak baik untuk rumah tangga ini."
"Apa ini karena laki-laki sok sempurna itu?"
"Laki-laki itu punya nama dan setidaknya dia jauh lebih baik darimu," tegas Alea, semakin meremas perasaannya.
"Alea...,"
"It's over, Kafka. Semuanya sudah berakhir, maaf."
Menyesal? Iya, sangat. Tapi ia bisa apa? Memanggil namanya pun sia-sia. Memang kenyataannya selama ini ia membiarkan Alea mempertahankan rumah tangganya seorang diri. Kafka sama artinya dengan memposisikan dirinya-lah yang paling penting dan dibutuhkan di sini. Padahal kenyataannya berbeda. Dia yang sebenarnya membutuhkan Alea.
"Baby.. gimme once more change.. please.."
"Baby,"
"Aleaaa, don't... leave.. me, please. Please.."
Alea mengerjabkan matanya mendengar teriakan memohon. Ia sedikit mengangkat kepalanya. Matanya segera menangkap gerakan gelisah dari pria yang memeluknya sambil terlelap.
"Kau selalu bermimpi buruk akhir-akhir ini," gumam Alea.
Ia menepuk-nepuk pipi Kafka, mencoba membangunkan sambil memanggil namanya. Gerakan itu tak kunjung berakhir. Kafka masih saja bergerak gelisah, malah kini suaranya terdengar pilu menahan isak.
Apa yang dimimpikannya? Batin Alea bertanya-tanya. Ia kini mengguncang tubuh Kafka.
"Kaf..? Hey, bangun!"
"Alea!!" serunya terbangun seketika hingga terduduk. Tubuhnya terasa lemas lalu pandangannya kosong. Ia terlihat mengusap wajahnya.
Melihatnya, Alea ikut bangun. Tangannya menyentuh lengan Kafka.
"Apa yang kau mimpikan?" tanya Alea pelan.
"Kaf?" panggilnya ketika Kafka tak kunjung merespon. Kali ini ia melingkarkan tangannya, mengusap-usap punggung Kafka. Dagunya menempel di bahu Kafka.
"Kau mimpi buruk lagi rupanya," gumam Alea.
Kafka menoleh. Apa yang Kafka lakukan membuat Alea tercengang. Pria itu menyambar tubuhnya, memeluknya sangat erat.
"Kau pergi meninggalkanku. Kau menyerah untuk bertahan. Kau pergi bersama pria itu. Kau membuatku mati, hilang arah," desisnya.
"Aku masih di sini."
"Tidak. Kau pergi bersamanya setelah meninggalkan surat sialan itu!! Dimana kau menaruhnya? Aku akan menyobeknya. Aku akan membakarnya hingga hanya abu yang tersisa," racaunya lagi dengan mata bergerak liar mencari letak surat sialan itu.
Bersamanya siapa? Surat apa? Dan apaan ini? Menyerah kemudian meninggalkannya? Bahkan sampai saat ini ia belum memikirkan keputusan buruk itu. Ia masih sangat mencintai Kafka-nya. Sama seperti dulu. Dan itu tak akan pernah berubah. Mungkin, mungkin jika suatu saat ia pergi, bukan karena ia sudah tidak mencintai Kafka dan mendapatkan yang lebih baik. Tapi, karena ia gagal dan tak tau lagi harus berbuat apa.
"Apa dia lebih segalanya dari aku?" lirihnya lagi.
"Ini hanya mimpi buruk, Kaf. Sebaiknya kamu minum dulu," ucap Alea sambil meraih gelas di meja nightstand.
Kafka meminumnya sedikit tanpa melepaskan seluruh pelukannya. Ia kembali memeluk Alea begitu Alea sudah meletakkan gelas itu. Meski sudah tidak meracau seperti tadi, tapi masih terlihat jelas ketakutan-ketakutan itu.
Tangan Alea bergerak memutar, memberikan usapan-usapan kecil menenangkan. Ia membiarkan Kafka menciumi rambutnya di antara ceruk lehernya.
"Kamu pergi meninggalkanku. Kamu sudah mendapatkan penggantiku."
"Oh, God!! Kafka, tidak ada dan tidak akan pernah terjadi. Aku masih di sini bersamamu. Itu hanya mimpi. Hanya mimpi, Kaf."
Alea melonggarkan pelukannya, bergerak sedikit hingga wajahnya bisa saling menatap. Tangan Alea menangkup wajah itu, matanya mengunci mata Kafka.
"Lihat aku, aku ada di sini. Itu semuanya hanya mimpi."
"Tapi terasa nyata," bantahnya berbisik.
Alea menggeleng. Ia mendekatkan wajahnya, mengambil bibir bawah itu kemudian menghisapnya pelan. Berganti dengan lumatan-lumatan. Untuk beberapa saat lamanya, Kafka hanya terdiam. Sampai kemudian Alea menggigit kecil bibir itu, Kafka tergagap. Secara alami ia larut ke dalamnya, membalasnya lebih dalam dan lebih panas lagi.
Tangannya mendorong tubuh Alea lebih ketat lagi. Satu tangannya lagi mendorong tengkuk Alea untuk bisa menciumnya lebih dalam lagi. Dan ia berharap ini semua benar-benar nyata.
Bibirnya kini turun menjelajahi setiap lekuk sudut tubuh Alea. Ia mulai mencecap rasa manis itu. Tubuhnya yang selalu membuat ketagihan seakan tak pernah ada rasa puas. Dalam beberapa detik, ia sudah membaringkan tubuh Alea, membuatnya menggelepar, mereguk kenikmatan.
Gerakannya mulus tanpa cacat. Cinta kini mendominasi, mengalahkan nafsu yang ada. Erangannya mulai memenuhi ruangan kamar itu saling menyambut sampai kemudian keduanya saling meneriakkan namanya dan berakhir dalam satu pelukan.
***
Kafka tersentak dari lelapnya. Ia memandang sekeliling kamarnya. Kosong. Aleanya benar-benar meninggalkannya. Jadi semalam? percintaan semalam hanya mimpi? Kafka mendesah. Ia beranjak dari ranjangnya, menuju ke wastafel. Ia membasuh wajahnya.
Kamu benar-benar meninggalkanku, Al. Gumamnya dalam hati.
Ia mengacak kasar rambutnya, frustasi. Ia tidak mempedulikan tubuhnya. Keluar dari kamar, menuruni anak tangga menuju ke dapur. Langkahnya terhenti begitu mendapati sosok itu tengah menyiapkan roti goreng isi telur di atas piring. Tanpa banyak kata ia langsung menyambar tubuh itu ke dalam pelukannya dengan penuh kelegaan.
"Kafka!!" pekik Alea kaget.
"Biarkan seperti ini. Biarkan aku memelukmu sebentar saja," bisik Kafka.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Alea heran.
"Aku tidak sedang bermimpi kan kamu masih di sini bersamaku?"
Alea memutar bola matanya jengah.
"Ya. Kau sedang bermimpi," cebik Alea.
Alea terkikik begitu Kafka cemberut. Ia meraih wajah Kafka, menyusuri wajah itu dengan jemarinya.
"Aku becanda. Ini nyata. Kau selalu mimpi buruk akhir-akhir ini."
"Jangan ada laki-laki lain di hidupmu. Hanya ada aku!"
Alea menaikkan alisnya. Ia menahan senyumnya. Kafka sudah mulai possesive lagi dengannya. Kali ini mungkin akan lebih parah.
"Kenapa tidak boleh?" Alea memiringkan wajahnya.
"Tentu saja tidak. Kau milikku. Dan jangan sekali-kali membuatku cemburu. Aku tidak tau akan menjadi apa pria itu jika kau berani membuatku cemburu," tegasnya.
"Aha? Kurasa itu sebuah tantangan yang menarik," goda Alea.
"Tidak! Ini ancaman bukan tantangan!"
"Ehem? Okay, kuanggap ini tantangan," ledek Alea lagi.
Ia terkikik saat Kafka mendengus kesal. Wajahnya mengeras.
"Aku mengerti, My man," bisik Alea pada akhirnya.
"Morning kiss," pinta Kafka dengan seringai kecilnya.
Alea menggeleng. Ia sengaja menggoda Kafka, memancing kekesalan pria itu.
"Aku akan memaksamu," ucapnya sungguh-sungguh. Ia mulai mendekatkan wajahnya, mengendus daun telinga Alea.
Tangan Alea mendorong wajah itu menjauh berkali-kali.
"Segera mandi dan... pakai bajumu. Badanmu lengket semua! Ayo," perintah Alea.
"Baby..,"
"No. Bersihkan badanmu, Kaf. Lagi pula bukankah semalam kau sudah melakukannya berkali-kali tanpa ada lelah, eh?" sindir Alea.
Kafka terdiam, mengingat apa yang dilakukan semalam. Jadi benar? Semalam ia mengawalinya dengan segenap perasaannya kemudian ia hilang kendali. Ia bercinta dengan liar melebihi seekor binatang. Meleburkan tubuhnya sampai ia tidak mampu untuk bangun lagi. Ia bahkan tidak peduli itu puncak keberapa kalinya yang digapai bersama Alea.
"Ingat?"
"Tapi aku mau lagi," ucapnya dengan cengiran.
"No. Aku lelah."
"Baby...,"
"Tidak, Kaf. Mandilah. Aku juga harus membangunkan Abiel."
"Aku rasa kita perlu memberikan adik untuk Aaron," ucapnya tak teralihkan.
Alea mendelik sebal. "Aaron baru satu tahun kemarin. Ia bahkan belum bisa bicara. Nanti kalau sudah besar!"
"Tapi, Baby.."
"No, Kafka!"
"Okay, tapi.."
"Apa?!" Alea melemparkan tatapan kesalnya.
"Jangan ada pria lain!" rajuknya lagi.
"Iya. Sudah sana!"
"I love you," ucap Kafka, mengecup singkat bibir Alea kemudian berlari pergi sebelum Alea melemparnya dengan sebuah piring.
"I love you too, My man," gumam Alea lirih. Ia tersenyum samar menatap kepergian Kafka.
***
tbc...
good morning everybodiiih..
happy reading
20 Sept 2015
S andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top