[UN] BROKEN #24

"Baby...,"

Alea memutar bola matanya, jengah ketika Kafka menunjukkan wajah memelasnya, meminta Alea untuk tetap tinggal menemaninya bekerja.

"Bagaimana kalau Renata kembali lagi? Tidak mau kan? Jadi, di sini saja ya?" bujuk Kafka.

"No. Aku harus menjemput Abiel. Dia tidak akan kembali lagi," jawab Alea tak terbantah.

"Al..,"

"Happy working, My Man."

"Baby..,"

Alea menggeleng pelan, "aku sudah di sini satu jam lebih, Kaf."

"Tapi nanti ke sini ya?"

"Aku tidak janji. Kalau tidak, sampai jumpa di rumah ya?"

Alea mengecup bibir Kafka sekilas kemudian melangkah keluar dari ruangan super luas milik Kafka. Baru beberapa langkah keluar dari pintu Kafka, sebuah tangan nenarik pinggangnya. Ini pasti perbuatan Kafka! geramnya dalam hati.

"Kaf!"

"Aku antar sampai kamu dapat taksi," ucapnya tegas.

"Tidak perlu. Kembali ke ruanganmu, Sayang."

Kafka membuang mukanya. Ia mendesah. Kemudian kembali menatap Alea. Tangannya meraup wajah Alea, mendaratkan bibirnya pada bibir Alea. Memaksanya untuk membalas dengan lumatan-lumatan intens-nya. Ia terlihat tak peduli dengan beberapa pasang mata karyawannya yang kebetulan melintas.

"Kafka!!" desis Alea kesal begitu Kafka menyudahi ciumannya.

"Apa salahnya? Mereka tau kau milikku. Kau istriku bukan selingkuhanku. Okay, hati-hati di jalan. Kabari aku jika sudah sampai rumah. Aku akan pulang lebih awal," ucap Kafka.

Alea mengangguk cepat kemudian berjalan meninggalkan koridor itu. Lift kali ini hanya diisi dirinya seorang. Alea mengembuskan nafasnya. Dalam hati ia menggumamkan kata lelahnya. Ia lelah menghadapi apa yang akhir-akhir ini menerjang rumah tangganya. Benaknya berkata, andai aku bisa memilih, aku ingin 20 tahun lalu tidak pernah terjadi. Aku dan dia tidak akan terpisah. Tapi Tuhan...

Alea kembali mengembuskan napasnya. Ia menggelengkan kepalanya. Sungguh lucu kenapa tiba-tiba ia mengingat pria masa kecilnya. Pria gembul yang selalu melindunginya. Tanpa sadar ia tertawa sendiri.

"Lupakan, Alea! Dia sudah tidak ada lagi," desisnya sedih.

Kebakaran di rumah susun itu sudah menelan segalanya. Teman sepermainannya termasuk pangeran kecilnya. Ada banyak korban jiwa saat itu. Puluhan mayat tanpa identitas. Dan tentu saja dia termasuk di dalamnya. Alea hanya bisa meraung-raung di pelukan mama-papa nya saat itu.

"Semoga kamu bahagia di sana, Prince," bisik Alea sesak.

TING!

Buru-buru Alea membersihkan wajahnya dari air mata yang menetes. Ia melangkah tegap keluar dari lift seakan semuanya baik-baik saja. Ia menebar senyum pada beberapa yang menyapanya dengan sebutan Mrs. Kafka. Dengan sopan ia menolak satpam yang ingin mencarikan taksi untuknya. Ia terus melangkah keluar menujuk ke shelter bus terdekat.

"Alea!"

Alea menghentikan langkahnya. Sebuah mobil menepi dengan kaca terbuka, menampilkan sosok pengemudi. Melihat sosoknya membuat nafasnya lega seketika. Ia seperti mengenal lama pria itu padahal baru bertatap muka sekali. Ayah Nick. Tak lama pria itu keluar dari mobilnya. Kali ini tanpa mengenakan jas. Hanya kemeja dengan dua kancing terbuka, menampilkan sedikit tubuh sempurnanya dan lengan terlipat rapi sebatas lengan. So damn hot!!

"Hay, sedang apa kau di sini?" sapa Alfa mendekat.

Alea meringis gugup. Mata itu sangat menyejukkan saat menatap Alea. Alea menyadari itu.

"Al, hey?"

"Oh, aku? Ehm, menunggu taksi."

"Mau kemana dan darimana?"

"Aku ada perlu sedikit di daerah sini. Setelah itu aku mau pulang."

"Hehemm? Tidak menjemput anakmu?"

Alea merasakan tatapan intens dari Alfa. Tapi entah kenapa ia tidak merasa takut sedikitpun. Semuanya malah membuatnya nyaman. Apa?!! Ini --aku sudah gila, batin Alea.

"Ya, tapi nanti. Terlalu lama untuk menungguinya," jawab Alea.

"Ya, kau benar. Kau harus menunggu dua jam lebih di sana," ujar Alfa sambil melirik jam tangannya, masih pukul 07.35

Alea tersenyum tipis.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Entah kenapa tiba-tiba mulut Alea meluncurkan pertanyaan itu dengan mudahnya. Bahkan ia sendiri merasa kaget. Ia merutuki mulutnya dalam hati. Bukankah hal itu sama saja hanya akan membuat ia dan Alfa terjebak lama dalam sebuah perbincangan yang tak penting? Seharusnya ia sudah berada di dalam taksi menuju ke rumahnya, menunggu waktu untuk menjemput Abiel.

"Aku habis bertemu dengan clien. Ada meeting pagi. Al, mau meluangkan waktu untukku?"

Hah? Seketika Alea menoleh bingung. Ia melihat Alfa menaikkan alisnya sebelah, menantikan jawabannya. Sikapnya sangat santai dan itu mengingatkannya pada seseorang.

"Meluangkan waktu?"

Alfa mengangguk, "mungkin kita bisa mengobrol di cafe depan sekolah anak kita sambil menunggu Abiel pulang. Daripada kau bolak-balik membuang waktu kan?"

Alea nampak berpikir sejenak. Memangnya dia tidak bekerja? Kening Alea berkerut memikirkan pria itu.

"Sekali-kali aku tidak bekerja tidak apa-apa kan? Selama ini aku selalu disibukkan dengan pekerjaan yang tidak tau waktu. Bahkan aku sering tidur hanya beberapa saat kemudian bekerja kembali."

"Aha? Benarkah? Kau bukan robot, Alfa." Alea tertawa mendengar betapa sibuknya pria itu.

"Lalu aku bisa apa?" kekehnya.

"Oh, okay. Kurasa kau benar daripada aku bolak-balik membuang waktu."

"Jadi?" Alfa mengerlingkan matanya memastikan apa yang Alea katakan.

Entah kenapa ia meng-iya-kan ajakan Alfa. Ia sama sekali tidak merasa takut dengan orang asing seperti Alfa.

Sejenak ia tertegun saat Alfa membukakan pintu untuknya. Bukan masalah ia membukakan pintu dan tergolong sweet tapi lebih karena melihat senyum Alfa. Manis dan menawan seperti milik prince-nya. Dan selama ini yang ia lihat, hanya prince-nya yang memiliki senyum itu.

"Apa ada yang salah denganku?"

Sebuah suara membuat Alea tergagap. Ternyata tanpa sadar matanya mengikuti setiap gerakan Alfa. Ia bahkan tidak menyadari jika Alfa sudah duduk di belakang kemudi, menatap dengan kening berkerut.

"Tidak," jawab Alea kikuk. Ia merasa malu dengan dirinya sendiri.

"Yakin? Okay, kalau begitu kita jalan sekarang," ucapnya sambil mulai melajukan mobilnya perlahan.

"Ehem? Hanya mengingatkanku pada teman kecilku dulu. Senyummu sangat mirip dengannya."

Alfa terdiam. Wajahnya menegang kaku tanpa Alea sadari. Ia membuang tatapan ke samping jendela.

"Teman kecilmu?" tanya Alfa setelah menetralkan suaranya.

Alea menganggukkan kepalanya, "tapi itu sudah lama. Anggap saja masa lalu."

Alea melirik Alfa. Pria itu nampak mengerutkan keningnya kemudian menoleh.

"Kenapa?"

"Ya. Memang seharusnya begitu. Setidaknya dia sudah bahagia di sana," ucap Alea sendu.

"Maksudmu sudah tidak ada?" Alfa menatapnya penuh tanya. Bukan, ia hanya berpura-pura tidak tau.

"Iya. Tuhan mengambilnya saat kebakaran bersama kedua orang tuanya. Saat itu aku baru pulang dari luar kota bersama kedua orangtuaku. Kami tidak dapat menemukan mereka. Jasadnya sudah tercampur dengan yang lainnya."

Baik Alea ataupun Alfa terdiam. Seakan sesak menyelimuti keduanya. Alea sesak karena mengingat peristiwa pahit itu, sementara Alfa mengingat kasus penculikan dirinya dibalik kebakaran yang disengaja itu. Tapi lidahnya kelu untuk menjelaskan semuanya pada Alea.

"Kau masih mengingat namanya?" tanya Alfa memecah keheningan.

Alea tersenyum getir. Ia menoleh, menatap Alfa.

"Tentu saja. Aku selalu mengingatnya. Semuanya. Alfa Mahenra K." Alea terkekeh sejenak. "Dia selalu marah ketika aku menanyakan kepanjangan dari K. Katanya itu hanya huruf saja, jangan di perpanjang."

"Oya? Pasti dia sangat menyebalkan ya? Kau senang berteman dengannya?"

Alea tertawa. Mengenang prince-nya membuat ia ingat semua yang pernah mereka lakukan bersama. Berangkat dan pulang sekolah bersama meskipun beda sekolah. Ia masih SD dan prince sudah SMP kelas 1. Rentang usianya terpaut 3 tahun.

"Dia selalu melindungiku."

"Kau dulu sering dibully?"

"Tidak. Tapi dari teman-teman lelaki-ku. Dia juga sering menemaniku saat orangtuaku harus dinas ke luar kota. Dia sangat baik."

Alea menyunggingkan senyumnya. Betapa saat ini ia jadi merindukan prince-nya setelah bertahun-tahun ia menyimpannya dalam sebuah kenangan. Prince-nya yang selalu membuatnya istimewa. Sejenak ia mengingat bagaimana ia mengenal pacaran. Prince yang mengenalkannya. Saat itu yang ia rasakan hanyalah bahagia karena pria kecilnya memperlakukannya dengan sangat baik.

"Kau harus belajar dengan baik, Peri kecil."

"Tapi ini susah, Prince," bantahnya cemberut.

"Aku akan mengajarimu. Kemarilah," ucapnya sambil mengambil buku dari tangan mungil Alea kecil.

"Prince..,"

"Apa?"

"Teman aku suka bilang pacaran. Memang pacaran itu apa, Prince?"

Pria kecil itu terdiam, berpura-pura mengerjakan PR gadis kecilnya. Tapi terganggu karena gadis kecilnya terus mendesaknya.

"Okay, baiklah. Pacaran itu cowok dan cewek menghabiskan waktu bersama. Jelas kan?"

"Berarti seperti kita dong, Prince?"

Pria kecil itu menatap peri kecilnya dalam-dalam. Ada keraguan di matanya. Tapi, peri kecilnya memang sudah mencuri hatinya sejak ia mengerti bahwa ada suka yang tak biasa jika bersamanya.

"Memangnya kamu mau jadi pacar aku?"

Peri kecilnya mengangguk. "Kenapa tidak? Prince baik. Aku suka."

"Tapi mana ada prince gembul, Peri kecil."

"Tapi nanti Prince akan menjadi sangat tampan. Prince..,"

"Kamu mau janji tidak?"

"Apa?"

"Hanya ada Prince di hati peri kecil," ucapnya yang langsung dijawab dengan anggukan dari gadis kecil itu.

Sepotong kisah yang tidak pernah bisa Alea lupakan hingga saat ini. Ia hanya menyimpannya sebagai kenangan.

***

Tbc

sengaja di potong dulu.. lanjut besok yaa..

happy reading

18 Sept 2015
20.13

S andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: