[UN] BROKEN #22

Alea menautkan alisnya melihat satpamnya terduduk lunglai di gardu pos dekat pintu gerbang. Ia lantas turun dari mobilnya, membuka sendiri pintu gerbang dan mendorongnya lumayan berat.

"Pak?" panggil Alea mendekat penasaran.

Tidak biasanya laki-laki itu tertidur di jam tugasnya. Alea menepuk-nepuk lengan laki-laki itu sedikit keras sambil memanggil-manggil namanya. Tapi tetap saja tidak terbangun. Alea mendengus kesal. Entah kenapa perasaannya mendadak tak karuan. Ia kembali ke mobilnya, memajukan sedikit kemudian menutup kembali pintu gerbangnya.

"Kenapa, Mom?" tanya Abiel begitu Alea kembali ke dalam mobil.

"Tidak," jawab Alea singkat membawa masuk mobilnya ke halaman tepat di depan garasi.

Alea memasuki rumah itu dengan sedikit aneh. Pintunya terbuka separuh. Ia menggandeng Abiel dengan was-was. Tidak ada apa-apa. Ia kemudian masuk ke kamar anak-anak. Wajahnya nampak terkejut ketika mendapati mbak Tanti tertidur di ranjang Abiel sambil memeluk Aaron. Bayi kecil itu nampak tenang. Matanya berputar-putar menatap langit-langit kamar.

"Astaga! Apa yang terjadi?" desah Alea tak habis pikir. Otaknya langsung bekerja, pasti ada yang tidak beres.

"Lepas seragammu. Lekas cuci kaki dan tanganmu. Setelah itu ganti bajumu. Mom akan kembali sebentar lagi. Jangan keluar kamar, mengerti?" ucap Alea tegas.

Abiel hanya mengangguk patuh tanpa bertanya lagi. Pria kecilnya langsung berlari menuju ke kamar mandi.

Alea mengembuskan nafasnya pendek. Ia melangkah menuju ke kamarnya. Sesuatu yang ia lihat membuat kepalanya ingin pecah. Alea mengatupkan mulutnya. Matanya menyalang marah. Setelah ia lelah kurang tidur, mengurus bayi besar disela mengurus kedua anaknya, kenapa hal seperti ini harus terjadi?

Alea menggeram tertahan. Tangannya mengepal kuat. Ia menarik lepas selimut yang menutupi dua tubuh polos itu.

"Aditya Kafka!!!" teriak Alea diluar kendalinya. Ia sangat marah saat ini.

Disuguhi pemandangan dua tubuh polos saling berpelukan erat di dalam selimut. Siapa yang tidak marah? Dua tubuh itu menggeliat demi mendengar teriakan kencang Alea. Matanya menatap nyalang Kafka yang terlihat sangat syok lalu berganti menatap wanita yang menyeringai penuh kemenangan.

"Apa yang kau lakukan di sini?!!!" teriak Alea menarik tubuh polos wanita itu hingga terjatuh ke lantai. Ia bahkan tidak peduli saat Renata -wanita itu- meringis sakit karena Alea menariknya dengan kasar.

"Baby, ini...,"

"Diam! Kenakan pakaianmu!!" seru Alea. Ia kemudian beralih menatap garang Renata.

Tangannya menarik kuat rambut Renata hingga wanita itu mendongak, meringis kesakitan.

"Jangan pikir kamu bisa memanfaatkan keadaan, Slut! Jangan pikir aku akan menangis! Tidak. Aku malah ingin membunuhmu sekarang!! Kamu pikir aku takut?! Kamu pikir aku akan diam saja? Kamu pikir aku tidak akan bisa sekasar ini, hah?" teriak Alea kesetanan.

Renata meringis perih. Bukan hanya di kepalanya tapi juga bibirnya. Tangan Alea menamparnya keras sehingga merobek sudut bibirnya.

"Aku akan membalasmu, Alea," desis Renata menatap tajam.

Alea menyeringai. Ia menghempaskan tubuh Renata hingga terhempas ke lantai. Ia mengambil potongan pakaian Renata kemudian melemparkannya tepat di mukanya. Ia masih dikuasai amarahnya.

"Baby..," panggil Kafka mendekat. Rupanya pria itu sudah mengenakan kembali pakaian lengkapnya.

"Diam! Jangan mencoba untuk menghentikan aku!" bentak Alea kesal. Ia kembali menatap wanita itu, membuang napasnya kasar.

"Kamu tidak tau bagaimana rasanya dipaksa menikah dan meninggalkan orang yang kamu cintai," desis Renata.

"Dan kamu juga tidak tau bagaimana rasanya rumah tanggamu diobrak-abrik masa lalunya," balas Alea sengit.

"Apa kamu pernah berpikir bagaimana tersiksanya.."

"Apa kamu juga pernah berpikir bagaimana tersiksanya aku berjuang mempertahankan rumah tanggaku? Bagaimana perasaan anak-anakku? Bagian mana yang tidak menyakitkan untukku, hah?!"

"Kamu tidak mengerti..,"

"Kamu yang tidak pernah mengerti. Sekarang pergi dari sini!!" potong Alea menunjuk lurus ke arah pintu.

"Tidak semudah itu!"

"Aku bilang pergi sekarang!! Pergi sekarang!!!" teriak Alea. Ia membuang napasnya kasar.

"Tidak akan!!"

"Kenakan bajumu sekarang!!"

Alea maju selangkah. Matanya mengintimidasi wanita itu. Perlahan tapi pasti wanita itu mengenakan kembali pakaiannya. Setelahnya, tanpa aba-aba Alea menarik kuat wanita itu, menyeretnya hingga keluar dari rumahnya. Ia menghempaskan wanita itu begitu saja kemudian mengunci pintunya dari dalam.

Langkahnya gemetar menuju ke dapur. Tubuhnya lemas seketika. Ia meremas kuat kepalanya. Terasa sakit seakan mau pecah. Tubuhnya limbung membentur dinding lalu merosot. Ia memeluk lututnya, menangis untuk yang pertama kalinya setelah 6 tahun lamanya tidak menangis. Tubuhnya gemetar. Ia sama sekali tidak menyangka akan bersikap demikian. Semuanya berada diluar kendalinya. Marah, sakit, kesal dan lelah semuanya membuatnya bertindak diluar akal sehatnya. Ia menelungkupkan wajahnya di antara lututnya.

Bolehkah aku menangisi keadaan? Bolehkah aku mengatakan bahwa aku sudah cukup lelah? Apa salahku, Tuhan? Kenapa aku harus mengalaminya? Apa aku selama ini tidak pernah menjaga keluargaku dengan baik? Apa aku yang salah karena terlalu diam? Apa Kafka yang salah? Atau wanita itu? Apa satpam yang bekerjanya tidak becus sampai wanita itu bisa melumpuhkannya?

Alea masih saja terisak. Beberapa kali ia mencoba membersihkan air matanya di wajahnya tapi sia-sia. Karena air matanya malah semakin deras mengalir.

"Salah siapa?! Siapa yang harus kusalahkan?" bisik Alea lemah.

"Baby,"

Suara Kafka memanggilnya terdengar jelas. Ia juga mendengar suara gerakan Kafka berhenti di hadapannya.

Alea menegakkan wajahnya. Ia bangun dengan sisa-sisa tenaganya. Melangkah menuju ke meja makan.

"Aku ingin sendiri," ucap Alea dingin.

"Aku bisa jelaskan. Aku tidak tau dan tidak sadar apa yang sebenarnya..."

"Aku ingin sendiri, Kaf!" tegas Alea. Aku juga tau kamu tidak melakukan itu. Mana mungkin kamu bisa tersadar secepat itu setelah Dokter Lynch menyuntikkan beberapa cairan untukmu, lanjut Alea dalam hati.

"Tapi, Baby..,"

Alea menggelengkan kepalanya. Ia mengangkat tangannya, menyuruh Kafka untuk meninggalkannya.

"Aku tau aku payah. Aku tidak pernah bisa tegas sepertimu. Maafkan aku," lirih Kafka tertunduk.

Ada semacam tangan meremas kuat batin Alea ketika mendengar kalimat lirih Kafka.

Alea menatap nanar pria-nya.

Bukan kamu yang tidak pernah bisa tegas. Bukan, kamu bukan pria yang payah. Hanya saja waktu dan keadaanmu tidak pas untuk mengeluarkan ketegasanmu, Kafka, batin Alea.

Dilihatnya Kafka berbalik, melangkah meninggalkannya. Entah apa yang mendorongnya untuk menahan langkahnya.

"Kaf!"

Pria itu berhenti, membalikkan badannya menatapnya sayu seakan tidak lagi memiliki kepercayaan dirinya.

"Maaf," gumam Alea mendekat.

Matanya kini bertemu saling mengunci.

"Tapi aku memang payah, Al. Kamu pasti malu punya suami sepertiku," bisik Kafka.

Alea menggeleng pelan tanpa melepaskan tatapannya dari pria itu.

"Kamu pernah berjanji kan?"

Apapun yang terjadi, kita akan selalu bersama.

Kafka mengangguk. Ia menggumamkan janji itu. Terdengar menyentuh karena ia mengucapkan dengan sepenuh hatinya.

"Apa ada alasan untuk aku malu memiliki suami sepertimu? Apa ada alasan untuk aku mengakhiri semuanya? Karena yang kutau kita memulainya tanpa sebuah alasan. Aku tidak akan menemukan alasan apapun untuk mengakhirinya. Kecuali kamu yang ingin mengakhirinya."

"Tapi memang aku payah," ucapnya.

"Bagian mana yang payah? Kita sudah lama bersama. Kita tau bagaimana kita masing-masing. Kamu selama ini sangat bertanggungjawab. Aku mengenalmu. Dan yang terjadi sekarang, Tuhan memberiku kesempatan untuk membuktikan bahwa kamu sudah mengajariku untuk bersikap tegas, mempertahankan apa yang seharusnya menjadi milik kita," urai Alea.

Dalam satu tarikan, Alea kini berada di pelukan Kafka. Erat tapi tidak menyakiti. Pria itu membenamkan wajahnya di ceruk leher Alea. Mengecupi rambutnya. Sementara Alea tidak bisa menahan air matanya untuk tidak lolos kembali. Tapi kali ini tanpa isak dan tanpa sesak. Semuanya menguap menjadi sebuah kehangatan. Sesaat ia menyadari, cinta itu tidak pernah pudar. Semarah apapun ia pada Kafka. Sebesar apapun ia bersikeras ingin menyerah. Tapi lagi-lagi Alea tidak bisa melakukan apa yang ia inginkan selain membiarkan cinta mengalahkannya.

"Aku mencintaimu selalu, Baby. Aku akan berusaha untuk tidak menjadi laki-laki yang payah. Aku harus bisa membuatmu bangga memilikiku. Selamanya," bisik Kafka di antara ceruk leher Alea.

"Aku mengerti. Aku juga mencintaimu. Ayo, kembali ke kamar. Kamu harus istirahat, Kaf."

"Temani aku,"

Alea memutar bola matanya. Ia melonggarkan pelukannya, menatap wajah Kafka. Pria itu mulai merajuk. Pwiuft!

"Kamu menghancurkan momment romantis ini," dengus Alea melepaskan diri dari Kafka. Ia melangkah meninggalkan Kafka.

Tak lama pria itu mengejarnya sambil terkekeh. Tangannya dengan sangat hafal berparkir di pinggang Alea. Ia mengecup singkat sudut bibir Alea membuat bibir wanita itu berkedut menggemaskan, menahan tawanya.

"Bukan menghancurkan. Kita bisa melanjutkanya di kamar. Aku ingin kamu menghilangkan bekas Renata."

Alea mendelik.

"No! Kamu harus istirahat. Kamu sedang sakit, Kaf!"

"Tidak untuk itu. Peluk aku selama aku tidur. Atau kau mau yang lebih? Aku akan segera memberikannya," ucap Kafka menyeringai nakal.

"Cabul! Ayo, bisa sia-sia nanti suntikan Dokter Lynch," ketus Alea.

"Suntikan?! Kamu membiarkan dokter sialan itu menyuntikku?! Kamu kan tau aku tidak mau disuntik!!" teriak Kafka horor.

Alea memutar bola matanya. Ia menghentikan langkahnya, berkacak pinggang.

"Heheemm? Kamu hanya takut disuntik. Dan nyatanya tidak sakit kan? Bagian mana yang sakit? Yang ada kamu sekarang sudah bisa bangun!"

Kafka meringis.

"Atau kamu bisa bangun karena pelukan wanita itu?" mata Alea menyipit tajam.

"Tidak!!! Jangan membahasnya lagi! Ayo!"

"Kafka!!" jerit Alea kaget saat Kafka mengangkat tubuhnya seperti mengangkat karung beras.

"Pusing kepalaku," lenguhnya begitu ia sudah membaringkan Alea ke ranjang.

Alea terkikik, "makanya jangan kebanyakan tingkah!"

Kafka mendelik. Wanitanya mencibirnya?! Oh, my! Ia menyeringai.

"Apa?!" ketus Alea.

"Tidak!" sahutnya menaikkan alisnya.

"Hmph..." Alea mendelik. Ia menggeram kesal tertahan saat Kafka membungkam bibirnya tanpa aba-aba. Ia tidak bisa berbuat apa-apa saat Kafka mengurung tubuhnya selain membalas ciuman Kafka dengan tidak kalah panasnya. Kafka tertawa diantara ciumannya kemudian ia kembali memperdalam ciumannya, mengobrak-abrik mulut Alea tanpa ampun.

***

Tbc ...

thanks so much buat yang udah mampir sekedar melirik story ini.. buat yang commen (jarang aku bls tapi aku baca kook) dan votenya..

semoga masih ada yg berminat buat nungguin kelanjutannya ya..

happy reading, guys

17 Sept 2015

S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: