[UN] BROKEN #21

Alfa berjongkok di hadapan Nick. Ia mengangkat tangannya ragu lalu kembali menumpukan sikunya pada lututnya. Matanya masih menatap wajah Nick yang sejajar dengannya.

"Nick rindu tante Lea," lirihnya sendu tak bisa menutupi kekecewaannya ketika melihat yang mengantar Abiel adalah seorang Bapak tua dengan kemeja kotak-kotak.

"Ya, nanti kau akan bertemu," ucap Alfa. Ia menyipit, apakah itu suami Alea? Rasanya tidak mungkin.

"Sekarang masuklah. Aku akan mencari tante Lea-mu itu," ucap Alfa.

Nick menegakkan wajahnya.

"Benarkah?"

"Hm. Belajarlah yang rajin. Nanti siang aku akan menjemputmu," ucap Alfa.

Ia terdiam menatap pria paruh baya yang menggandeng Abiel dengan sorot tak terbaca. Sedetik kemudian ia menepuk lembut punggung Nick, menyuruhnya untuk masuk.

Ia berdiri memandangi punggung Nick bersama kekecewaannya.Tangannya berkacak pinggang, membuang napasnya begitu saja.

"Aku akan mengobati rindumu, Nick. Membawakan Alea untukmu," gumam Alfa lirih kemudian berbalik ke arah mobilnya.

Ia menatap kosong jalanan macet itu. Pikirannya melayang pada 20 tahun silam. Di saat usianya masih 13 tahun.

Kalau saja aku tidak meninggalkannya. Kalau saja aku kabur dan memilih tinggal bersama keluarganya, mungkin peri kecilku masih bersamaku. Ia akan sudah menjadi milikku

Alfa memukul bulatan kemudinya. Jelas terlihat amarah dan penyesalan tersulut di kedua matanya.

Semua karena Tuhan terlalu cepat mengambil kedua orang tuaku. Semua karena kekuasan Kakek. Dan semua karena perjodohan sialan itu!!!

Ia mengerang. Emosi membuatnya lepas kendali. Ia membenturkan kepalanya pada bulatan kemudi. Tak peduli sakit yang kini mendera. Kesakitan hidupnya selama ini lebih sakit dari pada benturan itu.

"Aku mencintainya. Aku mencintai peri kecilku. Kenapa Kau tidak menuliskan takdirku untuknya? Kenapa Kau menjebakku dalam kesakitan ini?!!" teriaknya marah.

"Aku bahkan harus menanggung anak tak berdosa itu. Sialan!!!" teriaknya lagi.

Alfa memejamkan matanya yang terasa memanas. Ia mengatupkan rahangnya keras. Cengkeramannya pada bulatan kemudi itu semakin mengerat. Segala sumpah serapah untuk keluarga besar mendiang kakeknya, Kneth keluar dari mulut kasarnya. Ia membenci, sangat membenci keluarga besar itu.

"Aku akan mengakhirinya. Sialan!! Kalian semua -sialan!!"

Ia membuang nafasnya kasar. Kemacetan di hadapannya seakan mendukungnya untuk menuruti emosinya.

Dering ponselnya membuat Alfa menggeram.

"Alfa!" bentaknya setelah ia memasangkan headset ke telinganya.

"Ini aku Renata," ucapnya menjawab bentakan Alfa.

"Apa?" sahutnya malas.

"Aku tau kau bekerja sama dengan perusahaan Kafka. Bisakah kau membantuku untuk...,"

"Tidak!" tolaknya mentah-mentah.

"Mungkin kau bisa mempertimbangkan. Aku mengetahui sesuatu tentang wanita yang kau puja-puja. Kita akan bekerja sama jika kau mau."

Alfa berdecak. "In your dream! Aku tidak akan bekerja sama dengan wanita semacam kamu. Lebih baik aku melakukan semuanya sendiri!"

"Yakin?"

"Kau tidak jauh beda dengan orang tuamu. Kau hanya seorang penjilat murahan."

"Tidak! Kau salah menilaiku. Aku wanita...,"

"Bitch!!" bentak Alfa melepaskan headset-nya begitu saja.

Tidak. Aku akan menghancurkanmu. Agar kamu tau bagaimana kalian sudah meruntuhkan hidupku dengan pernikahan konyol itu,  geramnya, menatap tajam jalanan yang mulai merayap.

***

"Aku panggilkan dokter ya?" tawar Alea menatap iba pada Kafka yang hanya bisa tergolek di ranjang sambil merintih menyebutkan namanya.

Kafka menggeleng lemah. Alea mendesah. Tubuhnya memang lemah tapi cengkeraman tangannya masih saja kuat. Alea membiarkan pahanya menjadi bantal untuk Kafka. Satu tangan kosongnya membelai lembut kepala Kafka, memberikan kenyamanan tersendiri.

"Sebentar lagi Dokter Lynch akan datang. Jangan membantah kali ini. Aku tidak ingin kau kenapa-napa, mengerti?" ucap Alea akhirnya setelah ia menyuruh Mbak Tanti untuk menelfon dokter pribadi mereka.

"No! Aku tidak mau!" bentaknya langsung.

Seketika Alea menjengit kaget. Ia kehilangan kata-katanya ketika mendapat tatapan marah Kafka.

"Kamu harus, Kaf," ucap Alea, melembutkan nada bicaranya.

"No! Aku tidak mau disuntik!!"

Oh?!!! Alea melongo untuk beberapa saat lamanya. Bukan karena bentakan Kafka tapi lebih karena ia baru ingat Kafka benci disuntik. Okay. Alea menghela nafasnya perlahan. Ia mengangguk mengerti. Tangannya kembali membawa kepala Kafka dalam pangkuannya. Membelainya hingga Kafka tenggelam dalam kenyamanannya.

"Kuharap ini waktu yang tepat," bisik Dokter Lynch menyembulkan kepalanya dari celah pintu.

Alea tergagap. Mendapati dokter muda yang tampan itu membuat Alea bernafas lega. Ia menganggukkan kepalanya sambil terus memberikan kenyamanan pada pria-nya.

Dokter Lynch nampak mengeluarkan peralatannya dengan cepat. Ia mulai melakukan serentetan pemeriksaan dengan sangat hati-hati agar Kafka tidak terbangun. Ia menaikkan alisnya sebelah. Perlahan ia mulai menyuntikkan jarum itu pada tubuh Kafka. Sesudahnya ia membereskan kembali peralatannya.

"Aku sudah menyuntikkan antibiotik. Kekebalan tubuhnya melemah. Ia terlalu banyak bekerja. Ingatkan untuk lebih pandai mengatur jadwalnya, Mrs. Kafka. Dan oya, aku mengerti dia tidak menyukai obat dan sejenisnya. Kau bisa memaksanya meminum juice, susu ataupun minuman sehat lainnya. Jangan biarkan dia meng-konsumsi junkfood untuk sekarang-sekarang ini," ucap Dokter Lynch dengan suara pelannya.

Alea mengangguk paham. Dengan gerakan mulutnya ia mengucapkan terimakasih.

Sepeninggal dokter Lynch, Alea membiarkan Kafka beristirahat. Ia beranjak bangun mengalungkan syal-nya untuk menyamarkan perbuatan Kafka di sekitar lehernya. Ia mengambil tasnya dan segera meninggalkan kamarnya. Langkahnya terburu-buru menuruni anak tangga karena ia tidak ingin terlambat menjemput Abiel.

"Mbak, titip Aaron sebentar," ucap Alea cepat pada Mbak Tanti. Ia mengecup sekilas pipi Aaron kemudian menyambar kunci mobil.

"Oya, Kafka sedang istirahat. Nanti kalau bangun, bilang saja aku sedang menjemput Abiel. Aku akan pulang secepatnya," cerocos Alea kemudian berjalan cepat.

Ia sedikit ugal-ugalan menyetir mobilnya agar segera sampai. Matanya fokus melibas jalanan. 15 menit kemudian, ia bernafas lega. Begitu ia sampai dan turun dari mobilnya, anak-anak TK mulai berhamburan keluar kelas.

"Mom?!!"

Alea mengernyit ketika Abiel berdiri di hadapannya menatap heran.

"Ya. Ini Mom?"

Abiel menautkan alisnya. Ia berkacak pinggang. Matanya menatapnya tajam tapi malah terlihat jenaka bagi Alea. Alea membungkukkan badannya, menyejajarkan wajahnya.

"Kenapa Mom tidak menunggu Dad? Kenapa bukan Paman Han yang menjemput? Kenapa harus Mom? Memangnya Paman Han kemana?" tanyanya keras.

Woah? Alea menaikkan alisnya. Ia menahan senyumnya. Abiel kecil sedang memarahinya. Benarkah? Alea menggeleng, menahan tawa.

"Dad sedang istirahat. Paman Han mengantar berkas untuk Om Beny. Jadi..,"

Abiel mendengus. Sangat lucu. Abiel-nya marah karena dirinya meninggalkan Daddy-nya yang sedang sakit. Oh, anak Daddy.

"Ayo, kita pulang," ucap Alea mengulurkan tangannya.

"Yes, Mom," sahut Abiel memutar bola matanya, menyambut uluran tangan Alea.

Alea berdecak gemas. Ia membukakan pintu mobil untuk Abiel. Saat hendak menutup seorang anak kecil memanggilnya lirih.

"Tante..,"

Alea membalikkan badannya. Ia mengernyit, mendapati Nick menatapnya berkaca-kaca. Bibirnya bergetar. Tapi kakinya ragu untuk mendekat.

"Kenapa, Nick?" tanya Alea lembut.

Nick terdiam ragu. Ia hanya menatap Alea tanpa berani mendekat. Tante Lea-nya yang cantik. Tante Lea-nya yang sangat ia rindukan. Tapi lidahnya kelu untuk berucap.

"Ada apa, sayang?" tanya Alea mendekat.

"Kau menangis? Ada yang menakalimu?" tanya Alea lagi. Tangannya bergerak untuk menghapus air mata bocah itu.

"Mau peluk Tante Lea," bisiknya patah-patah.

"Hehemm? Jangan menangis. Anak tampan tidak boleh menangis," hibur Alea merengkuh tubuh itu dalam pelukannya.

Ia membiarkan Nick memeluknya sangat erat. Ia juga membiarkan air mata Nick membasahi bajunya. Tangannya sesekali mengusap lembut kepala Nick. Ia melepaskan pelukan Nick ketika anak itu sudah tidak menangis lagi.

"Kembalilah belajar. Besok kita akan bertemu lagi, anak tampan," ucap Alea mengacak rambut Nick kemudian merapikannya lagi.

"Tante Lea, terimakasih," bisiknya tulus.

"Semangat belajar, sayangku," ujar Alea tersenyum.

Ia tertawa saat Nick berjinjit mengecup pipinya lalu berlari masuk ke dalam sekolahnya. Alea menggelengkan kepalanya lalu masuk ke dalam mobilnya.

"Apa dia tidak memiliki ibu?" tanya Abiel dengan nada tak suka.

"Hey, siapa yang mengajarimu berkata begitu?" tanya Alea kaget sambil menstarter mobilnya.

"Maaf. Abiel hanya ingin segera pulang. Dad..,"

"Mom mengerti, Abiel-ku," potong Alea, mengusap sayang kepala anak lelakinya.

Tanpa ia sadari seseorang menatapnya dengan senyum bahagia berselimut luka. Bahagia karena sudah membuat Nick-nya kembali tersenyum. Terluka karena keadaan membuatnya berpisah dengan gadis kecilnya.

Aku akan mengambil kembali semua apa yang seharusnya menjadi milikku. Tidak. Aku akan melakukan yang terbaik untuk peri kecilku. Aku akan membuatnya kembali dekat denganku dan mengingatkan padanya semuanya tentang kita dulu.

Matanya menggelap, menyisakan senyuman tipis di bibirnya. Ia melonggarkan dasinya kemudian menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi. Tangannya bertumpu pada bulatan kemudi. Matanya terpejam. Ia sibuk menata perasaannya untuk tetap terkendali.

***

Tbc..

makin rumit yaa? bingung? sabar yaa..

16 Sept 2015
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: