[UN] BROKEN #2

Alea mengernyit. Entah kenapa ia merasa aneh dengan wanita itu. Apalagi tadi membawa pria kecil yang sudah pasti itu anaknya jika dilihat dari kemiripan wajahnya.

"Mom," Suara Abiel membuatnya tergagap.

"Ayo ke ruangan Dad," rengek Abiel menarik-narik tangannya.

Alea kembali tergagap saat Abiel berteriak begitu sampai di depan ruangan Kafka.

"Daddy!!" serunya sambil melonjak-lonjak menunggu pintunya dibukakan Alea.

"Sssh, kecilkan suaramu, Sunny," tegur Alea lembut. Tangannya bergerak membuka pintu.

Dalam sekejab, Abiel sudah menerobos masuk, membuat pemilik ruangan tersebut sedikit tergagap. Koreksi! Tergagap. Alea bisa melihat keterkejutan dengan jelas di wajah Kafka. Tapi dengan cepat pria itu tersenyum lebar menyongsong tubuh mungil ke dalam pelukannya.

Ada yang aneh. Batin Alea berkata demikian. Tapi ia memilih untuk diam, menghampiri Kafka, mengecup pipi suami-nya. Sementara Abiel sudah duduk manis di pangkuan Kafka, di belakang meja kerja kebanggaannya.

"Nanti kalau besar, Abiel mau jadi kayak Daddy. Keren!" ucapnya membuat Alea mendelik pada Kafka.

"Oya? Dad bangga padamu, Boy," ucap Kafka dengan nada bangganya.

"No! Aku tidak mau Abiel besar seperti kamu!" desis Alea, berusaha mengontrol suaranya agar Abiel tidak mendengar jelas.

"Maksudmu?" Kafka menyipitkan matanya.

"Ya. Kau dulu.. kau tau apa maksudku," sahut Alea singkat. Ia memilih duduk di sofa hitam yang bertengger di ruangan besar itu.

Kafka meredup. Ia beranjak sambil menggendong Abiel, menjajari Alea yang tengah menidurkan Aaron ke sofa.

"Aku tau aku dulu bad boy. Tentu saja aku tak akan membiarkan keturunanku meng-copy semua apa yang pernah kulalui. Tapi biarkan Abiel kelak meneruskan bisnisku," ucapnya sendu. Ia sedikit tergores oleh kalimat Alea.

Bagaimanapun, seburuk apapun ia dulu, ia menginginkan yang terbaik untuk dirinya. Terlebih mengenai istri dan anak-anaknya. Rupanya Alea menyadari nada bicara Kafka. Ia menatap Kafka sejenak. Lalu membuka lengannya, menyusupkan ke balik punggung Kafka hingga melingkari setengah tubuhnya.

"Kau sangat sensitif akhir-akhir ini. Aku tak bermaksud untuk itu, My Man," ucap Alea bernada sesal.

Kafka memejamkan matanya, menikmati sentuhan-sentuhan lembut berpola lingkaran di balik punggungnya. Sentuhan yang membuatnya melupakan segala kekesalannya.

"Maaf. Aku sedang pusing. Adam tengah cuti panjang. Jadi, aku harus double check pekerjaannya yang dihandle asistennya. Dan ya, masih banyak lagi tetek bengek perusahaan," ucap Kafka lirih.

Alea tersenyum paham. Adam memang mengambil cuti panjang karena menjenguk ibunya yang tengah sakit di negara asalnya, Pakistan. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tau ada sesuatu yang tersembunyi dari Kafka. Entah apa itu, yang jelas Alea melihatnya. Namun lidahnya kelu untuk bertanya. Ia memilih untuk menyimpannya sendiri, berusaha melupakannya dan menganggap semuanya baik-baik saja.

"Oya, apa yang kau masak? Kau bawa cukup banyak kan? Aku ingin makan siang bersama dua jagoanku dan wanita cantikku," ucap Kafka membuyarkan lamunan Alea. Sedikit tergagap, Alea tersenyum singkat.

"Ya. Karena aku tau Abiel pasti akan merecoki makan siangmu, jadi aku membawa lebih," sahut Alea agak gugup.

"Oke, tunggu sebentar. Aku ingin menemui Beny dulu.

Beny? Kenapa harus dia yang repot menyambangi Beny, asistennya? Bukannya seharusnya dia yang menunggu Beny di ruangannya jika ada sesuatu hal? Lagi pula ada intercom bukan? Alea mengernyit samar sebelum ia mengangguk terpaksa.

"Dad..," panggil Abiel dengan raut wajah penuh tanya.

"Lil Boy, Dad ke ruangan Om Beny sebentar. Kau mau ikut? Ada Siena juga lho."

"Tidak," jawabnya singkat sambil berpindah, menyurukkan tubuhnya ke tubuh Alea.

"Sebentar ya? Hanya sebentar aku janji," ucap Kafka lalu menghilang saat pintu kembali tertutup.

"Ada sesuatu yang tak biasa," desah Alea.

"Apa, Mom?" tanya Abiel.

"Tidak. Hey, kau mau makan siang sendiri atau disuapi Mom?" tanya Alea mengalihkan pembicaraan.

"Kata ibu guru, Abiel sudah besar. Jadi Abiel harus bisa makan sendiri, Mom. Benarkah?"

Alea terkekeh, membalas tatapan mata bening Abiel.

"Ya, ibu gurumu benar, sayang. Kakak Abiel harus bisa makan sendiri, mandi sendiri, pakai baju sendiri," jawab Alea sambil menyisiri rambut coklat anaknya.

"Kalau begitu Abiel mau makan sendiri." Abiel meringis lebar memamerkan deretan gigi susu-nya.

"Anak pintar."

***

"Ben!"

"Hey, Kaf. Ada apa gerangan bos besar menyambangi asistennya?" goda Beny sambil merapikan berkas-berkasnya. Sementara Kafka hanya tersenyum masam menanggapi godaan Beny.

"Bagaimana bisa kau membiarkan dia masuk ke ruanganku?" tanya Kafka tanpa basa-basi.

Dia? Beny langsung mengatupkan bibirnya saat otaknya langsung menuju ke dia yang Kafka masuk.

"Tadi kau bilang iya," ucap Beny tak mau disalahkan.

"Karena kupikir itu Alea. Kau bilang dia membawa anak laki-laki."

"Kau memotong kalimatku. Kupikir kau memang sudah ada janji dengannya."

Hhh.

Kafka membuang napasnya. Ia menghempaskan tubuhnya ke sofa kecil. Tangannya memijit pangkal hidungnya.

"Memangnya ada apa dengan dia?" tanya Beny mendekati Kafka.

"Aku mencium sesuatu yang buruk darinya."

Sesuatu yang buruk? Alis Beny bertaut. Ia kemudian menepuk bahu Kafka sedikit keras, membuat pria itu terkejut.

"Kau pikir kau si alfa dalam serial werewolf?" decak Beny.

"Aku serius!"

Serius? Beny menaikkan alisnya sebelah. Ia terlihat berpikir sejenak.

"Kalau begitu, berhati-hatilah."

"Ya. Itu pasti. Kuharap kau tidak mengijinkan dia masuk ke ruanganku lagi apapun alasannya. Untung saja tadi Alea datang dia sudah pergi. Coba kalau masih ada. Aku jamin Alea pasti akan minggat saat itu juga."

"Kau nampak takut sekali dengan Alea," ejek Beny.

"Tentu saja. Aku sudah menyerahkan seluruh hidupku untuknya. Jangan mengejek! Kau pasti melakukan hal yang sama pada Maura."

Beny meringis. Tangannya mengusap tengkuknya. Memang kenyataannya demikian. Cinta sudah mengikat seluruh keberaniannya. Yang tersisa hanya ketakutan akan ditinggal pergi wanitanya.

"Okay, kuanggap kau jelas dan paham apa yang kumaksud."

"Kaf?"

Kafka menghentikan langkahnya yang sudah sampai di ambang pintu.

"Kemana Siena dan istrimu?"

"Belum sampai. Apa kau berniat menawari kami makan siang buatan Alea?"

"In your dream!" dengus Kafka. Beny terbahak melihat raut wajah Kafka. Ia bahkan masih tertawa meski Kafka sudah menghilang beberapa menit lalu.

***

Apa maksud dia datang kembali ke hadapanku dengan seorang anak laki-laki? Kafka mendengus gusar.

Wajahnya masih saja bisa membiusnya. Ia sama cantiknya dengan yang dulu. Bedanya kini ia terlihat lebih dewasa. Ada rasa yang berbeda saat Kafka kembali bisa menatap matanya.

Dulu, ia sangat mencintainya. Dulu, ia sangat memujanya. Tapi kemudian dia pula yang mengantarnya ke neraka. Dunianya menghitam sejak wanita itu menghilang begitu saja.

Bagaimana bisa ia menemukanku? Padahal sudah bertahun-tahun dia menghilang. Sebelas tahun yang lalu.

Kafka kembali menarik nafasnya. Apa maunya wanita itu? Datang hanya mengenalkan nama anak laki-lakinya, memeluknya cukup lama lalu berpamitan begitu saja. Nichlaus Aditya.

Bahkan wanita itu mengambil nama depannya untuk anak laki-lakinya. Aditya.

"Dad, ini punya siapa?"

Suara Abiel membuatnya terkejut. Ia melangkah tanpa sadar kalau ia sudah sampai di ruangannya. Ia menegakkan wajahnya, menatap benda yang berada di tangan Abiel. Satu keping lego berwarna biru itu bergoyang-goyang di tangan Abiel. Milik Nick!

"Oh, itu milik Om Beny, sayang," jawabnya cepat.

Bagus! Kau sekarang lincah berbohong, rutuk Kafka dalam hati. Abiel mengangguk paham. Berbeda dengan Alea. Sekian lama ia mengenal Beny, ia menjadi hafal apa saja yang biasa Beny lakukan. Tidak mungkin seorang Beny mau meluangkan sedikit waktunya untuk sebuah permainan konyol. L-E-G-O. Diam-diam Alea meneliti wajah Kafka. Pria itu kembali sibuk dengan pikirannya. Alea sangat paham bahwa ini diluar kebiasaan pria itu. Sebesar apapun masalah yang menimpanya, terlebih tentang perusahaan, Kafka tak pernah kehilangan kendali atas dirinya. Ini, yang sekarang, yang Alea lihat adalah Kafka yang sama dengan Kafka-nya saat dulu bermasalah dengannya.

Wanita itu? Alea menarik nafasnya. Entah kenapa tiba-tiba dadanya terasa sesak. Ia merutuki otaknya yang dengan mudahnya meluncur ke wanita tadi. Tanpa sadar Alea menggigit bibir dalamnya.

Haruskah aku menyelidikinya? tanya Alea dalam hati. Seseorang dalam dirinya berteriak -TENTU SAJA, BODOH!-.

"Kenapa?" tanya Kafka mengernyit. Wajah itu kini sudah berada dalam jarak beberapa centi di hadapan wajahnya. Alea mendelik kaget.

"Tidak!" sahutnya cepat.

"Oh. Ayo, makan siang," ajak Kafka sambil mengambil duduk di dekat Alea dan memangku Abiel. Alea mengangguk samar, kembali melupakan pikiran kotornya.

☆☆☆

cukup panjang kan? semoga masih cukup layak buat dibaca yaaa...

xixixi . . .

S_Andi
03 August 2015

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: