[UN] BROKEN #19

Alea menatap iba ketika melihat Abiel terlelap di tengah perjalanan pulang. Ia bahkan tidak tega membangunkan pangeran kecilnya begitu sampai di rumah. Wajahnya sangat damai dengan senyum samar tercipta di bibir merahnya. Alea mengangkat tubuh itu sangat hati-hati setelah membayar ongkos taksinya. Satu lengannya penuh dengan dua tas, miliknya dan milik Abiel. Pak Han, penjaga rumahnya menyambutnya dengan tergopoh-gopoh, buru-buru membukakan pintu gerbang untuknya.

"Biar saya bantu, Nyonya. Kak Abiel biar saya gendong," ujarnya.

"Alea, Pak. Terimakasih. Bapak, tolong bawakan tas nya saja. Boleh, Pak?" Alea mengerling mengingatkan.

"Tapi, Kak Abiel cukup berat, Alea."

Alea menggeleng pelan.

"Kasihan, Pak. Nanti dia terganggu tidurnya."

"Tapi tidak apa-apa saya hanya membantu membawakan tasnya saja?"

"Tidak apa-apa, Pak. Terimakasih sebelumnya," ucap Alea tulus.

Alea segera masuk sambil menggendong Abiel yang terlelap setelah memberikan kedua tasnya pada Pak Han. Langkahnya sangat hati-hati saat menaiki anak tangga. Ia merebahkan tubuh kecil Abiel ke ranjang. Tangannya melepas sepatu dan kaus kakinya dengan pelan. Ia terdiam sejenak setelah menyelimuti Abiel.

Kamu adalah alasanku untuk bertahan. Apa yang seharusnya menjadi milikmu, sebisa mungkin aku pertahankan, Sayang. Tapi jangan membenciku jika pada akhirnya aku gagal melakukannya, bisik Alea dalam hati.

Tangannya terulur untuk mengusap pipi tembem itu. Satu tetes air mata lolos secara diam-diam. Alea menarik nafas sesaknya. Punggung tangannya segera mengusap bersih air matanya. Ia membungkuk, mengecup lama kening Abiel kemudian beranjak meninggalkannya. Ia melirik ke arah boks bayi. Ada Aaron terlelap tenang di sana. Senyumnya tercipta samar ketika ia mengecup sayang kening bayi itu.

"Aku sangat mencintai kalian," bisik Alea ketika ia hendak keluar dari kamar anak-anak.

Ia menutup rapat pintu itu kemudian melangkah ke kamarnya. Ada Kafka sedang berdiam diri di balkon. Alea tidak berniat untuk menyapanya. Ia langsung ke kamar mandi, mengganti pakaian dan membersihkan dirinya. Selama hampir setengah jam ia baru keluar. Matanya menoleh ke arah jam dinding, masih pukul 19.35. Dering ponselnya menyita perhatian Alea. Tidak, Kafka juga tapi Alea mengacuhkannya.

"Ya, Adel?"

"Sudah sampai rumah?" tanya Adel.

"Iya, sudah. Terimakasih sudah mau menjaga Abiel seharian."

"Aku yang berterimakasih. Kehadiran Abiel membuat si kembar jadi jarang berantem," ucap Adel.

Alea tertawa kecil. Ia mengambil duduk di tepi ranjang.

"Kuharap besok kau mengijinkan Abiel main lagi di sini," ucap Adel lagi.

"Besok? Boleh. Nanti aku sendiri yang akan mengantar. Iya, sampai nanti, Adel. Salam untuk Kak Adam ya?"

Alea meletakkan ponselnya di meja lampu nightstand. Ia beranjak meninggalkan kamarnya untuk makan malam. Tapi langkahnya terhenti di ambang pintu. Ia terdiam beberapa saat menatap pria nya yang masih saja berdiri terdiam di balkon sebelum akhirnya ia memutuskan untuk menghampirinya.

"Sudah makan?" tanya Alea datar beberapa meter di belakang Kafka.

Alea memutar bola matanya kesal. Pria itu mengacuhkannya. Ia maju selangkah lebih dekat.

"Kafka," panggil Alea sedikit lebih keras.

Pria itu membalikkan tubuhnya. Sudah tidak ada kemarahan di sana. Hanya tatapan sendu. Pria itu tidak menjawab. Matanya menatap mata Alea, mencoba mengatakan apa yang ia rasakan sekarang. Alea menarik nafasnya dalam-dalam. Ia membuka tangannya lebar.

Untuk sesaat Kafka masih bergeming. Hanya menatap Alea dengan sorot tak terbaca.

"Come in," ucap Alea lebih lembut dengan tangan masih terbuka.

Layaknya Abiel, Kafka langsung menyambutnya. Memeluk tubuh mungil itu dengan erat. Bibirnya tidak mengatakan apa-apa tapi bahasa tubuhnya mengatakan maafnya, penyesalan dan ketakutannya. Alea merasakan Kafka mulai membenamkan wajahnya di ceruk leher Alea. Pelukannya bahkan terasa semakin erat. Perlahan tapi pasti, Alea membalas pelukan pria itu, memberikan usapan-usapan kecil di lengan Kafka.

"Jangan pergi lagi dariku. Jangan berlari ataupun menjauh dariku. Kamu membuatku takut. Aku --aku tidak marah tapi aku hanya ingin kamu membicarakan dulu apapun itu denganku. Maafkan aku," ucapnya dengan suara timbul tenggelam.

Alea hanya terdiam. Membiarkan Kafka berbicara sendiri tentang sesalnya. Hingga beberapa saat lamanya Kafka tidak lagi bersuara, Alea melepaskan pelukannya. Tapi tidak dengan pria itu. Kafka terlihat enggan melepaskannya.

"Aku mau makan malam, Kaf. Kamu sudah?" tanya Alea menatap wajah Kafka.

Pria itu menggeleng, "aku tidak bisa melakukan apapun sejak kamu turun dari mobilku. Kamu meninggalkanku. Kamu tidak mau menjawab telfonku. Bahkan kamu tidak mau membaca messenger-ku."

Alea membulatkan matanya. Pria ini mulai merajuk. Tangannya terulur meraih wajah Kafka, menariknya hingga bibirnya bertemu. Ia memberikan lumatan-lumatan lembut yang langsung berbalas semakin liar.

"Maaf," bisik Alea sambil mengakhiri ciumannya. Ia mengambil nafas sebanyak-banyaknya. Dahinya bersatu dengan dahi Kafka. Pria itu tak kalah kacaunya. Dadanya naik-turun kehabisan nafasnya.

"Jangan lakukan lagi," bisik Kafka. Kedua tangannya masih menempel ketat di pinggang Alea.

"Asal kamu tegas mempertahankan keluarga ini," sahut Alea dengan tatapan penuh kasihnya.

"Aku akan berusaha untuk itu. Tetap bersamaku, Baby."

Alea mengangguk sekilas. Bagaimanapun ia tak pernah bisa membenci atau marah berkepanjangan dengan pria ini. Melihat wajah dan tatapan matanya saja hatinya sudah lumer.

"Kalau begitu ayo kita makan malam," ajak Alea.

"Suapin," pintanya.

"Ayo," sahut Alea pendek, enggan berdebat dengan Kafka yang ujungnya Kafka pasti akan lebih manja lagi padanya.

Kafka terus menempel ketat padanya sambil menuruni anak tangga menuju ke meja makan.

"Kaf, duduk. Aku mau memanaskan sup sebentar."

"Kamu bisa menyuruh mbak Tanti kan?"

Alea menggelengkan kepalanya. Bayi besarnya sungguh merepotkan kali ini. Ia memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan Kafka.

"Jangan mulai. Seharusnya aku masih marah padamu, Kaf."

"Tidak. Tidak boleh." Kafka semakin mengeratkan pelukannya. Alea membuang nafasnya. Ia kembali melangkah dengan Kafka yang menempel terus padanya.

"Telfonmu," ucap Alea ketika mendengar dering ponsel di tangan Kafka. Ia berharap dering telfon itu melepaskan Kafka darinya.

Tapi yang terjadi, Kafka malah meletakkan ponselnya, membiarkan ponsel itu terus menyalak melantunkan sebuah lagu. Alea sedikit menggeram.

"Kaf!"

"Itu dari Renata. Jadi biarkan saja," jawabnya singkat.

Kedua tangannya kini malah memeluk tubuhnya, mengecupi kepala Alea kemudian turun ke bagian leher. Alea diam menggigit bibirnya menahan suara aneh yang hendak keluar. Matanya terpejam kuat berusaha mengendalikan dirinya.

"Kafka!" ucap Alea mengingatkan. Tangannya membuka microwave, memasukkan mangkuk sup untuk dipanaskan.

"Aku mencintaimu, sangat," bisik Kafka. Nada suaranya kini berubah penuh gairah.

"Duduk, Kaf. Kalau seperti ini kamu akan memakan aku sebagai makan malammu!"

"As your wish, Baby," bisik Kafka menyeringai nakal.

"Tidak! Aku lapar," bantah Alea mendelik galak.

"Makanan penutup," tawar Kafka. "Tidak ada penolakan!"

Apa-apaan?! Ia mengatupkan rahangnya geram. Kalau bukan suaminya, ia pasti sudah melempar Kafka dengan piring alas mangkuk di sampingnya. Ia menggeleng tak habis pikir sambil menatap Kafka yang kini melangkah menuju ke meja makan.

***

Alfa memperhatikan anak kecilnya dengan seksama. Wajah Nick nampak tidak bersemangat, berkabut sedih dan kecewa. Ia hanya mengaduk-aduk makanannya tanpa ia makan. Pelayan pun bilang sejak pulang sekolah Nick sudah seperti itu. Ia belum makan seharian.

"Ada apa?" tanya Alfa membuka suara.

Nick menggelengkan kepalanya. Ia kemudian menatap Alfa sendu.

"Tidak biasanya kamu seperti ini. Kamu berantem dengan teman sekolah?" tanya Alfa lagi. Ia menyingkirkan piring kotor miliknya.

"Nick kangen Tante Lea. Dari kemarin Nick tidak bertemu dengan Tante Lea," ucapnya lirih.

"Mungkin Tante Lea-nya lagi sibuk."

"Nick mau ketemu Tante Lea. Ayah punya nomer telponnya Tante Lea tidak?"

"Tidak, Nick."

"Yaahh..," desahnya kecewa. Alfa menghela nafasnya. Ia mengusap tengkuknya, tidak tau harus berbuat apa.

"Besok ayah antar pagi-pagi. Kamu bisa menunggunya di gerbang. Siapa tau Tante Lea mengantar...," Alfa berpikir keras mengingat nama anak yang menggemaskan itu.

"Abiel, Ayah," ucap Nick mengingatkan.

"Nah, ya. Abiel. Bagaimana?"

"Janji ya, Yah?"

Alfa mengangguk mantap. Ia ikut tersenyum melihat senyuman lebar dari Nick.

"Sekarang kamu makan. Nanti sakit kalau tidak makan," perintah Alfa.

Anak itu cukup menurut. Ia mulai menyuap makanannya.

"Setelah itu kamu belajar ya?"

Nick mengangguk patuh sambil mengunyah makanannya.

"Tapi ayah temani Nick ya?" pintanya.

"Ya, boleh." Alfa mengangguk. Dalam hati ia tak pernah menyangka pada akhirnya ia mau menyentuh Nick dan masuk ke dalam kehidupan anak itu. Bukan itu saja, ia pun membiarkan hatinya menyayangi Nick seperti seharusnya.

Alea, kapan kita ada waktu untuk bicara. Berdua. Aku ingin mengingatkanmu tentang kita dulu, peri kecilku. Bisik Alfa dalam hati sambil memandangi Nick.

***

Tbc

14 Sept 2015

S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: