[UN] BROKEN #18
"Aku menunggumu sejak makan siang. Kamu sudah menerima pesanku kan?"
Pesan?! Alea mendelik. Renata menanyakan pesannya. Alea menegakkan tubuhnya. Ia mengamati setiap gerak Kafka. Pria itu kini tertawa sinis.
"Sudah kubilang jangan pernah berharap lagi. Lagipula pesan yang mana? Atau mungkin aku lupa kalau aku sudah menghapusnya...,"
Alea mengembuskan nafasnya lega. Ia kembali duduk santai dengan mata masih terfokus pada dua orang dewasa itu. Yang satu menatap dingin dan satunya lagi masih pada harapannya.
"Tapi ini tentang anak kita, Kafka," ucapnya bersikeras.
Anak? Alea menahan napasnya. Hal yang paling ia takutkan adalah jika anak itu benar-benar anak kandung Kafka. Renata pasti akan berjuang untuk anaknya. Ia akan mengambil Kafka darinya, dari kedua anaknya. Bagaimana jika ini benar terjadi? Alea menggigit bibirnya kuat-kuat. Tak peduli dengan rasa asin yang mulai tercipta karena luka kecil bibirnya.
"Anak yang mana? Jangan mengarang cerita!" ucap Kafka tajam.
"Aku tidak main-main, Kaf! Dia membutuhkan kamu. Sangat!"
"Dan keluargaku lebih membutuhkan aku!"
Terdengar tawa hambar dari wanita itu. Alea masih mampu menahan diri untuk tetap duduk di kursinya. Matanya masih terus mengawasi.
"Kamu sudah berjanji untuk selalu mencintaiku. Hanya ada aku kan, Kaf? Lalu apa susahnya sih bilang sama dia kalau kamu tidak mencintainya. Kita akan bahagia, Kaf. Dia bisa kan melakukan semuanya sendiri? Ada aku dan anak kita yang membutuhkan kamu. Jauh membutuhkan dibanding dia." Suaranya kini terdengar pilu bernada memohon.
Alea mulai berdiri dari duduknya. Ia mendekat perlahan tanpa menimbulkan bunyi. Ia melihat jelas bagaimana Kafka mencengkeram kuat lengan Renata. Matanya seakan siap untuk membunuhnya.
"Dengar, kamu dan pikiranmu yang tertutup rapat, lihat kembali dan renungkan. Aku-dulu memang pernah mencintai kamu. Tapi tidak sekarang. Alea adalah satu-satunya tempat ternyamanku. Satu paket dengan anak-anakku. Jangan bermimpi, Rena!!" gertak Kafka dengan suara lirih penuh penekanan.
Alea semakin mendekat. Ia bisa melihat jelas bagaimana Renata meringis menahan sakit cengkeraman Kafka. Sedikit lagi Renata menghilangkan kesabarannya, maka yang terjadi selanjutnya pasti Kafka akan mencekiknya. Alea tau itu. Ia segera menghampiri Kafka.
"Sayang?" panggil Alea dengan suara setenang mungkin. Jangan sampai mereka tau kalau ia mendengar dan melihat semuanya dari awal.
Dengan cepat Kafka melepas cengkeramannya kemudian menoleh ke samping, dimana Alea berjalan menghampirinya. Ia tersenyum manis seolah tidak terjadi apa-apa. Tangannya terbuka menyambut tubuh Alea untuk masuk ke dalam rengkuhannya.
"Kamu darimana? Aku mencarimu, Baby," tanya Kafka, memberikan kecupan di pelipis Alea tanpa ada risih dilihat oleh Renata.
"Aku habis dari kasir membayar minumanku," jawa Alea.
Bohong jika Kafka percaya begitu saja. Restoran sebesar itu pasti pelayanannya full. Alea hanya mengerling ketika mendapatkan tatapan bermakna menuntut dari Kafka.
"Hm, okay, Renata maaf. Sepertinya kami harus segera pulang," ucap Kafka langsung membimbing Alea keluar tanpa menunggu jawaban Renata.
Kafkaaa!!!!! teriak Renata dalam hati. Ia mendengus kesal dan putus asa. Ia sudah bersusah payah untuk mengabaikan Alfa yang memang sepertinya pria itu sama sekali tidak menyadari adanya dirinya. Tapi...., ia sendiri pun tidak menyadari jika ada Alea. Renata mengerang. Wanita itu bukan wanita biasa. Dia tajam dan berbahaya, batin Renata menilai sosok Alea.
***
Alea melirik Kafka. Sedari tadi pria itu diam menatap lurus sambil mengemudikan mobilnya. Mulutnya terkatup rapat, membentuk garis lurus.
"Kaf,"
Pria itu tidak menyahut panggilannya. Alea memanggilnya lagi. Dan responnya masih sama sampai ia mengulang ketiga kalinya. Alea membuang nafasnya.
"Kamu marah sama aku?" tanya Alea lebih bernada menuntut.
Akhirnya Kafka menoleh. Matanya menatap Alea tajam.
"Iya!!" jawabnya berselimut emosi.
"Kenapa?"
Kafka menepikan mobilnya. Ia membuang nafasnya kasar.
"Kamu bilang kenapa? Seharusnya aku yang bertanya kenapa! Kenapa kamu tidak bilang kalau Renata mengirim pesan dan kamu menghapusnya?!!"
Apa?! Alea melengos kesal. Bisa-bisanya Kafka membentaknya hanya karena ini? Ia kemudian kembali menatap Kafka. Kali ini bercampur dengan kemarahannya.
"Jadi, dia masih penting bagimu? Jadi kamu masih berharap dia untukmu?" tanya Alea datar. Matanya menatap Kafka dingin.
"Aku tidak bermaksud begitu. Tapi aku tidak suka dengan caramu! Kamu egois. Kamu selalu mengambil keputusan sendiri. Bagaimanapun aku juga perlu tau!"
Alea tertawa hambar. Sekuat tenaga ia menahan air mata yang siap meledak.
"Begitu? Jadi menurutmu aku egois? Aku selalu mengambil keputusan sendiri? Jadi salah kalau aku berusaha menjaga keluargaku agar tetap baik-baik saja? Salah jika aku hanya bermaksud tidak menambah beban pikiranmu? Okay,.. okay, aku coba untuk menerima," ledak Alea kemudian melemah pada kalimat terakhir.
"Aku tidak menyalahkanmu. Aku hanya tidak suka dengan caramu!!"
"Tidak suka? Lalu apa?!! Apa aku harus diam saja ketika suamiku diganggu oleh mantan kekasihnya? Apa aku harus diam saja ketika dia berusaha merebut harta kami? Pelindung kami? Lalu juga apa aku harus diam saja membiarkan anak-anakku kehilangan ayahnya?" Amarah Alea kembali meledak.
Sesaat Alea diam, mengambil nafas sebanyak-banyaknya. Dari sudut matanya ia melihat Kafka diam mengepalkan tangannya. Jelas terlihat kalau pria itu sedang menahan dirinya. Alea menatap Kafka nanar.
"Maaf, jika aku selalu salah di matamu," lirih Alea kemudian keluar dari mobil Kafka. Ia menghentikan sebuah taksi yang sedang melintas. Sementara Kafka masih terdiam di dalam mobilnya.
Dengan suara serak, Alea menyebutkan sebuah alamat kemudian menyandarkan tubuhnya agar sedikit lebih rileks. Ia mendekap tubuhnya sendiri, berusaha menahan tangisnya agar tidak pecah.
Tidak. Aku tidak boleh menangis. Aku harus menjadi wanita yang kuat. Tidak melulu menggunakan air mataku. Semuanya yang menyakitkan itu terlalu berharga untukku tangisi, batin Alea. Ia membuang tatapannya ke luar jendela. Termenung, membayangkan bagaimana kelak jika ia harus berjuang sendiri untuk kedua jagoannya tanpa Kafka bersamanya. Bisa kah ia melakukannya dengan baik?!
"Bu, sudah sampai."
Suara sopir taksi membuatnya terkejut. Ia menegakkan tubuhnya. Memang benar sudah sampai. Ia mengeluarkan selembar uang untuk membayar ongkos taksi itu kemudian keluar. Kakinya berpijak sedikit lemas. Ia menatap bangunan berwarna coklat pastel itu kemudian melangkah tegap seolah tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.
"Al? Dengan siapa?" tanya Adel begitu membukakan pintu untuknya.
"Sendiri. Kak Adam lembur?" Alea mengedarkan pandangannya pada ruang tamu yang bergaya timur tengah itu.
"Iya. Baru saja menelpon katanya ada meeting tambahan. Ayo, Abiel sedang makan buah dengan Arsy dan Annish."
"Oya? Dimana mereka?"
Adel membawanya ke ruang TV. Tiga anak kecil itu sedang menonton cartoon sambil berguling-gulingan di karpet. Sesekali mereka mencomot potongan apel di piring yang tergeletak di meja kecil.
"Abiel," panggil Alea lembut.
"Mommy!!!" teriaknya riang. Ia segera bangun menyongsong kedatangan Alea.
Alea merentangkan tangannya, mengangkat tubuh Abiel dalam gendongannya. Ia menciumi pipi Abiel dengan gemas.
"Mau pulang atau menginap di rumah bunda Adel?" tanya Alea.
"Kalau Abiel menginap?"
"Mom pulang, kasian adik Aaron sendirian," jawab Alea penuh pengertian.
Abiel mendongak. Ia seperti sedang memikirkan apa yang harus ia putuskan. Alea menantinya dengan menahan senyum.
"Kalau begitu Abiel harus pulang dong?" tanyanya. Tangannya bergerak memilin-milin rambut Alea.
"Abiel di sini saja sama bunda Adel. Nanti ayah Adam pulang bawa kue lho," rayu Adel ditambahi anggukan kepala dari Si kembar Arsy dan Annish.
Abiel menggelengkan kepalanya.
"Abiel pulang saja, Bunda. Nanti adik Aaron tidak ada temannya. Besok Abiel main lagi, boleh?"
Adel terkekeh, "Tentu saja boleh, sayang. Cium bunda dulu."
Abiel mencondongkan tubuhnya, mencium pipi Adel kemudian dibalas dengan ciuman pula oleh Adel.
"Biar diantar supirku saja ya, Al?" tawar Adel.
"Tidak perlu, Adel. Aku bisa naik taksi."
"Tapi, Al. Bahaya lho malam-malam naik taksi."
"Tidak apa-apa, Bunda. Kan ada Abiel," sahut Abiel penuh percaya diri.
Alea tertawa, kembali mencium gemas pipi Abiel. Adel pun ikut tertawa, bagaimana bocah itu sangat menggemaskan.
"Oh, baiklah. Jaga Mom baik-baik ya, sayang?" pesan Adel.
"Siap, Bunda."
Alea kemudian berpamitan. Ia kini menggandeng Abiel meninggalkan rumah itu.
"Mom, Daddy kemana?" tanya Abiel mengayun-ayunkan gandengan tangan Alea.
Alea terdiam. Ia seperti disiram air es. Tak tau harus menjawab apa. Sementara itu ponselnya berdering nyaring di dalam tasnya. Ia kemudian merogohnya. Sejenak ia terdiam melihat siapa yang menelponnya. Kafka! Ia membiarkannya begitu saja, memasukkannya kembali ke dalam tasnya.
"Telfon Daddy ya, Mom?" tanya Abiel.
"Bukan. Ayo, masuk," ucap Alea berbohong sambil membukakan pintu taksi yang ia berhentikan untuk Abiel.
"Memangnya Daddy sibuk ya, Mom?" tanya Abiel sendu.
"Iya. Seperti ayah Adam. Tidak apa-apa, kan masih ada Mommy," hibur Alea.
"Yes, Mommy."
Maaf, Sayang. Kali ini Mom berbohong. Tapi Mommy janji, berhasil atau tidak, Mom akan menjaga Dad untuk Abiel. Mom tidak akan membiarkan seseorang mengambil Dad darimu, batin Alea. Ia merengkuh tubuh Abiel, mengusapnya penuh sayang.
***
Tbc
13 Sept. 2015
S Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top