[UN] BROKEN #17

"Kaf, angkat telponmu. Dari tadi bunyi terus," seru Alea sambil menguncir rambut panjangnya.

Ini sudah kesekian kalinya Kafka mengabaikan telponnya. Pria itu hanya menggumam tanpa beranjak dari duduknya. Alea menggelengkan kepalanya, menatap Kafka yang masih asyik duduk di sofa sudut kamarnya sambil memangku laptop. Matanya terfokus pada layar laptop. Sementara jemarinya sibuk menekan tuts-tuts keyboard.

"Kafka, ini Beny yang telpon," geram Alea. Ia meraih ponsel yang tergeletak di ranjang kemudian memberikannya pada Kafka.

"Thank you," lirih Kafka sambil meringis tanpa dosa.

"Ya, Ben?"

"Lama sekali kamu mengangkatnya? Ada clien baru ingin langsung bertemu denganmu. Bisa tidak? Aku pernah bertemu beberapa kali dan kudengar dia pria yang menjanjikan untuk diajak kerjasama."

"Aku sedang tidak ingin diganggu, Ben. Kau pasti bisa meng-handle nya," ucapnya tanpa melepas fokusnya pada pekerjaannya.

Terdengar helaan nafas dari seberang. Kafka tau, Beny mulai menyerah dengan clien yang ia bicarakan saat ini.

"Dari perusahaan apa? Dan siapa namanya?"

"Dari tadi, Kaf," sahut Beny terdengar penuh kelegaan. "Dari kontraktor panel listrik. Dia ingin mengajukan kerja sama atas ressort yang akan kita bangun tahun depan," lanjutnya.

Kafka menaikkan alisnya. Ia nampak berpikir sejenak.

"Bilang saja tidak. Kita kan sudah bekerja sama dengan pihak Eldrich dan selama ini tidak ada masalah kan?"

"Memang tidak ada masalah. Tapi dari pihak marketing, beberapa waktu lalu mereka mengirim price list dan harganya lebih miring," jelas Beny.

Masalah harga ya? Kafka terdiam. Ia menekan dua tombol di keyboardnya untuk menyimpan data yang baru saja ia kerjakan kemudian menutup laptopnya. Ia beranjak menuju ke perpustakaan pribadi Alea, duduk menjajari Alea di sebuah kursi rotan.

"Masalah price memang termasuk penting. Tapi, Ben... price list milik Eldrich masih bisa masuk jauh kok. Lagipula milik Eldrich barang impor yang kualitasnya tidak main-main."

"Hum, baiklah. Aku akan mencoba untuk menolaknya kembali. Dan oya, ada pertemuan dengan pengusaha furniture nanti sore. Kuharap kau bisa meluangkan waktu."

"Apa lagi ini?" desah Kafka.

"Mereka akan mengenalkan produk baru mereka yang sudah disesuaikan dengan rancangan hotel kita."

"Hm, jam berapa?"

"After lunch ya?"

"Okay. Alamatnya kamu kirim segera."

Kafka mengembuskan nafasnya. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Alea. Tangannya bergerak menyusup ke pinggang wanita itu melingkar hangat.

Alea menoleh sekilas. Ia kemudian menutup bukunya dan meletakkannya di meja kecil di sampingnya.

"Abiel pulang ke rumah Kak Adam. Adel akan menjemput mereka," ucap Alea memberi tau.

"Begitu?"

Alea menganggukkan kepalanya.

"Aku lelah," keluh Kafka lirih.

"Ada apa lagi?" tanya Alea mengernyit. Ia bergerak membalas pelukan Kafka. Ia mengerti kebiasaan Kafka saat lelah, ingin dimanja.

"Tidak ada. Hanya lelah saja dan biarkan aku seperti ini. Baby...,"

"Hm?" Alea menggerakkan kepalanya, menatap Kafka-nya.

"Nanti sore bisa temani aku?"

"Kemana?"

"Ketemu sama clien. Ada meeting kecil di luar. Tapi ada Beny juga sih. Aku mau kamu ikut. Ya, please?"

Alea memiringkan sedikit wajahnya. Ia nampak sedikit berpikir.

"Lama?" tanya Alea akhirnya.

"Kuharap tidak. Nanti pulangnya sekalian jemput Abiel. Mau ya?"

"Kalau tidak?"

Kafka mengeratkan pelukannya. Ia mengendus bawah telinga bagian belakang Alea. Membuat wanitanya menggeliat geli.

"Harus mau. Aku sedang ingin ditemani kamu kemana-mana. Keberadaanmu membuatku nyaman, Baby," paksanya.

Alea memutar bola matanya. Ia berusaha melepaskan pelukan Kafka. Tapi tenanganya tak sebanding dengan kuatnya pelukan Kafka. Pria itu malah kini menghujaninya dengan ciuman-ciuman kecil di tengkuknya sambil tertawa kecil.

"Kaf!"

"Iya dulu baru aku berhenti," ucapnya tak mau kalah.

"Iya!! Sudah ah!"

"Thanks so much, lovely baby," bisik Kafka, mencium gemas pipi Alea kemudian melepaskannya.

"Baby, nanti pilihin aku baju untuk meeting ya? Kemeja saja. Tidak perlu pakai jas nya," pinta Kafka.

Alea hanya menggumam. Tangannya mengambil kembali buku bacaannya selepas Kafka meninggalkannya. Tapi, baru beberapa lembar ia dapat, Kafka kembali dengan membawa setoples kacang mede oven beserta sebotol minuman dingin. Ia meletakkannya di meja kecil samping Alea. Alea melirik penuh pertanyaan.

"Kaf?"

Pria itu tak menjawab panggilannya. Ia meninggalkannya kembali setelah meletakkan semua yang ia bawa. Alea mengembuskan nafasnya. Kepalanya menggeleng pelan. Kemudian ia melanjutkan bacaannya.

"Baby, geser sedikit."

Alea menegakkan wajahnya. Ia menggeram dalam hati. Belum ada 5 menit Kafkanya kembali. Kali ini ia membawa laptop dan sebuah map yang Alea yakin itu berisi berkas-berkas pekerjaannya.

"Kamu kenapa ke sini? Kamu kan punya sendiri, Kaf," ujar Alea.

"Tapi aku maunya kerja ditemani sama kamu. Makanya aku bawa semuanya ke sini," jawabnya bersikeras.

"Jangan aneh-aneh, Kaf."

"Aku serius. Geser sedikit, please!"

Alea mendengus. Ia melihat senyum kemenangan ketika ia menggeser pantatnya, memberikan ruang lebih dari lebar untuk Kafka. Pria itu tertawa kecil sambil duduk bersila dan laptop di pangkuannya.

***

Alea tengah memoleskan lipstick berwarna nude ketika Kafka sudah rapi dengan kemeja navy-nya. Ia merapikan rambutnya sekilas dengan jari-jarinya kemudian beralih merapikan blouse-nya yang berwarna putih tulang. Sangat serasi dengan kulit putihnya. Kakinya jenjangnya terbalut celana jeans biru donker. Sementara kakinya mengenakan wedges setinggi 5 cm berwarna putih. Ia tak menyadari tatapan memuja Kafka dari belakangnya. Pria itu berdiri dengan tangan bersilang di depan dada.

"Selalu cantik," puji Kafka tulus. Tangannya menyusup melingkari perut Alea.

"Jangan mulai, Kaf. Ayo, berangkat."

"Selalu siap, Ibu Peri," bisik Kafka sambil tersenyum geli.

Ia membiarkan Kafka menempel ketat padanya. Semenjak kehadiran Renata, Alea merasa Kafka berubah manja padanya. Padahal selama ini ia mengenal Kafka, seorang pria yang sangat mandiri, selalu memposisikan dirinya sebagai pelindung keluarga. Tapi sekarang, keadaan berbeda.

Alea mengernyit ketika Kafka membelokkan mobilnya, memasuki sebuah restoran di depan gedung kantornya. Pikirannya langsung mengingat pada pesan Renata tadi pagi. Tapi tidak mungkin kan Renata masih setia menunggu sampai sore?

"Baby, c'mon..,"

Alea tergagap. Ternyata Kafka sudah turun bahkan ia kini membukakan pintu untuknya. Tangannya terulur minta disambut dengan manis. Setelahnya, Kafka kembali menempel ketat memasuki restoran itu. Mungkin tangannya sudah di lem sehingga tidak bisa lepas dari pinggang Alea.

"Kaf, aku tunggu di sini saja ya?" ujar Alea ketika Kafka ingin mengajaknya masuk ke private room, ruangan yang sudah di booking Beny.

"Tapi...,"

"Tidak mungkin kan aku menunggui kamu di dalam. Sama saja aku ikutan meeting," sindir Alea.

"Tapi di dalam ada perempuannya lho, Al. Pihak furniture selalu membawa asistennya. Dan itu perempuan."

"Aku tidak tertarik. Sudahlah, aku tidak kemana-mana," ucap Alea bersikeras.

"Yakin?"

"Iya. Buruan, kamu sudah ditunggu."

"Kiss dulu." Tanpa menunggu jawaban Alea, Kafka mendaratkan ciumannya di sudut bibir Alea kemudian bergegas masuk ke dalam.

Alea menarik kursi untuk ia duduki. Tangannya meraih buku menu kemudian memesan sebuah minuman hangat pada seorang pelayan beserta kue muffin bertabur almond di atasnya. Ia kemudian mengedarkan tatapannya sambil menunggu pesanannya. Matanya terhenti di satu sudut.

Dia masih di sini. Terlihat lelah, berulang kali menatap ponselnya. Alea memicingkan matanya. Dia tak pernah menyerah untuk mendapatkan Kafka, gumam Alea. Aku perlu tau sesuatu, batinnya lagi. Ia kemudian berpindah ke meja lainnya yang tidak terlihat oleh Kafka maupun wanita itu. Terletak di sudut dekat bar. Alea menunggunya menit demi menit. Ia tak sabar untuk menunggu sesuatu itu.

Alea sama sekali tidak menyentuh kue-nya selama satu jam penuh. Selera makannya tertutupi dengan rasa penasarannya. Tak lama ia melihat Kafka keluar dari ruangan itu. Ia celingak-celinguk setelah berjabat tangan dengan rekanan kerjanya. Tunggu, pengusaha furniture itu, Alfa? Oh, dunia sempit sekali. Alea kembali fokus pada Kafkanya.

Apa yang ia bayangkan tadi kini terjadi. Ia melihat Renata bergegas menghampiri Kafka ketika semua rombongan berdasi itu sudah meninggalkan restoran itu. Alea menatapnya dengan berusaha tenang. Tangannya bersilang di dada. Dalam jaraknya ia masih bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Tidak! Lebih tepatnya, apa yang sedang Renata bicarakan.

"Kafka!!" pekiknya tertahan.

Alea melihat, Kafka hanya menyipitkan matanya.

"Aku tau kau pasti akan datang. Benar kan?"

"Maksudmu?"

"Untuk aku, kita. Kita harus bicara dari hati ke hati, kaf."

"Aku tidak tau apa yang kau bicarakan. Aku ke sini bukan untuk kamu. Dan lagi aku tidak tau kalau kau ada di sini."

"Aku menunggumu sejak makan siang. Kamu sudah menerima pesanku kan?"

Pesan?! Alea mendelik. Renata menanyakan pesannya. Alea menegakkan tubuhnya. Ia mengamati setiap gerak Kafka. Pria itu kini tertawa sinis.

"Sudah kubilang jangan pernah berharap lagi. Lagipula pesan yang mana? Atau mungkin aku lupa kalau aku sudah menghapusnya...,"

Alea mengembuskan nafasnya lega. Ia kembali duduk santai dengan mata masih terfokus pada dua orang dewasa itu. Yang satu menatap dingin dan satunya lagi masih pada harapannya.

***

Tbc..

12 September 2015

S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: