[UN] BROKEN #16

"Ikut aku! Aku ingin bicara denganmu," titahnya dingin begitu wanita itu masuk ke rumahnya.

Ia melenggang masuk ke sebuah ruangan. Ruang kerjanya. Kemudian ia duduk dengan angkuh di atas kursi kebesarannya. Tatapannya dingin, menelanjangi Renata yang melangkah pelan memasuki ruangan itu. Selama ia bersama, ia tak pernah menginjakkan kakinya ke ruangan ini. Matanya menyapu setiap sudut ruangan itu. Simple tidak terlalu banyak ornamen.

"Aku tidak menyuruhmu untuk menilai ruang pribadiku. Duduk!"

Renata meliriknya sekilas. Pria itu tak pernah berubah. Selalu dingin sejak awal. Ia menarik kursi dan duduk di hadapan Alfa.

"Kau tau aku bukan tipe pria yang basa-basi. Baca dengan jelas. Tidak perlu kau bertanya karena aku tau kaupun menginginkan ini."

Alfa memberinya amplop coklat. Ia membukanya, menarik berkas yang tersimpan di dalamnya. Matanya terbuka lebar. Tangannya gemetar. Ia tak pernah menginginkan ini. Tidak! Setidaknya sampai ia benar-benar mendapatkan Kafka kembali baru ia menginginkan hal ini.

"Alfa..," Suaranya tercekat.

"Tidak ada yang perlu dipertahankan dari pernikahan yang kosong ini. Bagaimanapun aku juga membutuhkan keluarga yang hangat. Kamu selalu fokus pada ambisimu.

Tapi memang bukan salahmu. Akupun juga sebenarnya tak pernah menginginkan pernikahan konyol ini. Jangan takut, Nick akan tetap bersamaku. Kau bebas melakukan apa saja. Dan lagi sedari dulu pun kamu tidak pernah melirik Nick. Kurasa cukup jelas. Segera tandatangani berkasnya, aku tunggu besok pagi."

"Tapi Alfa,"

Alfa menggeleng tegas. Ia menggerakkan tangannya lurus ke arah pintu, tanda ia menyuruh Renata untuk meninggalkan ruangannya. Tidak hanya itu. Ia juga tidak ingin berdebat dengan wanita itu.

"Please! Satu menit!" ucapnya memaksa.

Alfa berdiam. Ia malah membuka laptopnya, mulai melanjutkan pekerjaannya.

"Satu pertanyaan! Satu kata," tawar Renata.

"Okay!" sahutnya tanpa menatap Renata.

"Kenapa? Kenapa kau ingin mengakhirinya secepat.."

"Satu kata, kau bilang. Memang seharusnya," jawab Alfa.

Renata terdiam. Pada akhirnya ia menyerah. Alfa memang tak pernah menginginkannya sama seperti dirinya. Tapi kali ini, seharusnya ia bahagia karena ia mendapatkan perceraian ini dengan mudah. Ia tak perlu menarik urat-uratnya, berdebat dengan Alfa agar perceraian itu terjadi.

Tapi sekali lagi, ia merasa tak rela untuk mengakhirinya apalagi secepat ini. Mencintai Alfa? Jelas tidak. Perasaannya masih sama, hanya untuk Kafka. Pria itu, hanya karena ia terbiasa tinggal bersama pria itu maka rasanya ada yang aneh jika ia tidak bersama lagi. Padahal ia sama sekali tidak pernah menghabiskan waktu bersama Alfa. Jangankan Alfa, Nick pun itu sangat terpaksa jika supirnya benar-benar sibuk memenuhi perintah Alfa.

"Tuhan, Nick sangat senang hari ini. Kami makan bersama. Ayah bahkan mau menyentuhku untuk yang pertama kali. Terimakasih juga sudah membuatku merasakan pelukan hangat. Nick sayang ayah dan Tante Lea, Tuhan."

Renata mematung di depan pintu kamar Nick. Ia merasakan perih sayatan kalimat-kalimat Nick yang menggambarkan bagaimana kesepiannya anak itu, bagaimana tidak becusnya dirinya menjadi seorang ibu. Lalu siapa Tante Lea? Kekasih baru Alfa-kah? Secantik apa Lea sampai bisa meluluhkan dinginnya Alfa?

Seketika dunianya berubah haluan. Ia melupakan Kafka. Ia sibuk memikirkan Alfa. Ia meringis pedih. Selama lebih dari 10 tahun ia bersama, ia hampir tidak mengenal Alfa.

***

"Ayo, Nick. Segera selesaikan sarapanmu. Kita berangkat bersama," perintah Alfa datar.

Nick mengangkat wajahnya. Ia nampak terperangah. Mata polosnya nampak meneliti lekuk wajah ayahnya yang sibuk menekuni sarapannya, seakan memang tidak ada siapapun di meja makan itu. Padahal ada Nick dan Renata. Nick melirik Renata yang juga nampak acuh. Bedanya wanita itu tidak menikmati sarapannya dengan baik.

"Alfa," suara Renata mengisi keheningan.

Alfa hanya meliriknya sekilas. Ia terlihat enggan untuk menatap maupun mendengar suaranya.

"Apa ini tidak bisa dibicarakan lagi?" tanya Renata lirih.

"Aku rasa semuanya sudah jelas. Ayo, Nick. Kurasa kau sudah menghabiskan sarapanmu," ucap Alfa. Matanya menatap Nick yang sedang menghabiskan segelas susunya.

"Oya, kurasa kau bisa secepatnya kembali dengan pacarmu itu."

Ia beranjak saat Nick mulai menggendong tasnya di punggung. Seperti biasa, anak itu berlalu tanpa kata. Sama seperti dirinya. Alfa segera menyusul langkah kecil Nick. Anak itu nampak berjingkat senang. Ini, pertama kalinya ia pergi sekolah diantar ayahnya.

"Mungkin aku tidak bisa menjadi ayah yang baik untukmu. Tapi aku akan berusaha untuk itu. Kau mengerti?" ujar Alfa sambil menstarter mobilnya.

"Ayah?"

"Hm? Aku akan belajar menjadi ayah yang baik untukmu. Ya, aku tau itu tidaklah mudah. Tapi...,"

"Nick menyayangi ayah, bagaimanapun ayah memperlakukan Nick," ucap Nick tulus, menatap wajah Ayahnya.

Kemudian aku akan berusaha mencari ibu yang baik untukmu, batin Alfa. Ia kemudian melajukan mobilnya. Cukup lancar karena masih cukup pagi.

Mendadak ia tersenyum sendiri. Pikiran nakalnya menghadirkan sosok Alea secara tiba-tiba. Ia membayangkan wanita itu bersamanya, bahagia menyatukan dua keluarga. Ia dan Alea menghabiskan waktu bersama mencintai anak-anaknya. Entah kenapa dadanya berdesir, menghangat seketika.

Kau membuatku kembali merasakan perasaan asing ini, Alea. Hanya dengan sekali bertemu, menatapmu. Ini --sungguh gila. Kau mengantarkan kembali perasaan itu. Sudah sekian lamanya kita tidak bertemu. Mungkin kau sudah melupakanku. Tapi, aku masih ingat. Alea Salsabill, gadis kecilku.

Ia menghela nafasnya. Alea kecilnya, ia kini menemukannya kembali. Setelah bertahun-tahun ia mencoba mncarinya, Tuhan baru mempertemukannya sekarang. Alea-nya tumbuh menjadi wanita sempurna. Lembut penuh kasih sayang. Ia ingat jelas bagaimana Alea memperlakukan Nick. Semula ia tak menyadari bahwa wanita itu adalah Alea-nya. Tapi melihat lekuk wajah dan sorot matanya yang selalu berbinar, membuatnya yakin bahwa itu adalah Alea-nya. Karena mata legam indah penuh binar itu hanya dimiliki oleh Alea. Ia tak pernah menjumpai pada wanita manapun.

"Ayah," panggil Nick lirih.

Alfa tergagap. Ia menoleh pada anaknya yang duduk di sampingnya.

"Kurasa sudah sampai. Selamat belajar, Nick. Aku akan menjemputmu nanti siang," ucap Alfa.

"Benarkah?" Nick menatapnya dengan mata penuh binar. Alfa menjawabnya dengan anggukan kecil.

"Hm. Sampai jumpa nanti siang, Nick."

"Sampai jumpa nanti siang, Ayah. Nick tidak sabar menunggu untuk nanti."

Alfa tersenyum singkat. Tangannya terulur mengusap kepala anaknya.

***

Alea memejamkan matanya menatap beberapa missed call dan pesan baru di ponsel Kafka yang tergeletak di meja rias. Pria itu cukup ceroboh. Ia terburu-buru mengantar Abiel sampai-sampai melupakan ponselnya. Tangan Alea tergerak untuk meraihnya. Wanita itu lagi!!

Kafka, kali ini aku serius. Kita harus bicara mengenai status anak itu. Dia, anak kita, Kaf. #Renata

Kafka, aku tunggu siang ini di depan resto kantormu, please. #Renata

Anak kita? Alea mengembuskan nafasnya. Jemarinya bergerak menghapus pesan itu dengan cepat kemudian meletakkannya kembali di atas meja rias.

"Apapun yang akan kau lakukan, Renata, aku yang akan menggagalkannya," gumam Alea sambil melangkah pergi. Senyum miringnya tercipta samar.

"Alea,"

Alea menjengit kaget. Ia sampai menutup keras pintu kamarnya. Kemudian ia mengembuskan nafasnya lega saat mendapati pemilik suara itu meringis tanpa dosa menghampirinya.

"Astaga, Kafka!!" geram Alea mendelik kesal.

"Kenapa?" kekeh Kafka merangkul pinggang Alea. Ia mendaratkan kecupan sekilas di pelipis Alea.

"Kamu? Kenapa cepat sekali? Kemana kamu mengantar Abiel?" tanya Alea mengernyit curiga.

Kafka meringis. Ia mengusap tengkuknya tanpa melepas pelukannya di pinggang Alea.

"Tadi aku ketemu Adam di ujung gang. Terus dia menawarkan untuk mengantar sekalian. Dan --Abiel langsung mau. Jadi, aku bisa pulang cepat. Kangen sama kamu," jelas Kafka.

Alea menggelengkan kepalanya tak habis pikir. Untung saja Kafka tidak melihat apa yang ia baru saja lakukan.

"Kaf,"

"Ya, Baby?"

Alea terdiam. Ia terlihat ragu untuk mengatakan sesuatu. Tanpa sadar ia menggigit bibir dalamnya.

"Kalau, ini kalau ya? Kalau Renata...,"

Kafka mendengus. Ia menempelkan jemarinya di bibir Alea, menyusuri lembutnya bibir Alea membuat wanita itu membuka mulutnya tanpa sadar menikmati sentuhan Kafka.

"Aku tidak mau mendengar kamu membahas dia lagi. Semuanya tidak berarti apa-apa."

"Dia mengajakmu kembali," bisik Alea keras kepala.

"Aku tidak akan mau. Aku tidak butuh siapapun selain kamu, Baby."

Alea terdiam. Matanya menatap dalam mata Kafka. Penuh kesungguhan dan menghangatkan hatinya. Dalam beberapa saat, Kafka menarik tubuhnya lebih dekat, sedikit memutar hingga kini berhadapan tanpa jarak. Alea bisa merasakan lembutnya gesekan hidung mancung Kafka di hidungnya. Lalu pria itu menundukkan sedikit kepalanya, melumat bibirnya dengan lembut.

***

TBC..

ga tau kenapa otak nakal gw memilih cowok di mulmed itu sbg Alfa.. xixiixii gantengan Alfa dari Kafka.. gimana kalo Alea sama Alfa?

gw ga dapet feel.. asli, lagi ancur berantakan mood nya..

#sedikit curhat

08 Sept 2015

S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: