[UN] BROKEN #15

"Al?"

Dilihatnya Kafka sedikit terkejut ketika mendapati ia keluar dari kamar anak-anak. Alea hanya menatapnya sekilas kemudian melangkah pergi. Melihat sosoknya membuat Alea harus menahan napas selama beberapa saat sekaligus menahan nyeri.

"Kamu sudah pulang?" tanya Kafka mengejar langkah Alea menuju ke kamarnya.

"Seperti yang kamu lihat," jawabnya datar.

"Kenapa aku tidak melihatmu masuk?"

Alea membalikkan badannya. Ia menatap Kafka dalam-dalam. Bibirnya tersenyum singkat.

"Kau sedang menerima tamu," sahutnya singkat kemudian beranjak ke ruangan kecil bersebelahan dengan ruang kerja Kafka. Ruangan kecil tempat ia menghabiskan waktunya membaca novel.

"Al, bisa kita bicara?"

Alea menghentikan langkahnya yang sudah sampai di ambang pintu. Ia membalikkan badannya, menatap Kafka datar. Tidak! Ia tidak bermaksud marah pada Kafka. Ia hanya butuh waktu untuk menata hatinya. Ia menunggu tanpa sepatah kata.

"Ini -tentang Renata. Masa laluku," lirihnya takut-takut. Ia bahkan tak berani membalas tatapan Alea.

Alea mengembuskan nafasnya pelan. Tangannya kini memutar kenop pintu.

"Kita bicara di dalam. Masuklah," ucap Alea tanpa menoleh lagi.

Ia duduk meringkuk di kursi rotan berlapis busa yang berbalut kain flanel biru muda. Tak lama Kafka menyusul duduk di sampingnya.

"Apa? Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Alea parau.

"Aku -dan Renata dulu memang saling mencintai..,"

"Okay, aku mengerti. Kalau itu yang akan kau bicarakan, aku rasa tidak perlu. Aku sudah tau dan maaf, aku sudah mendengar semua apa yang kamu bicarakan tadi," potong Alea terdengar sedikit bergetar namun ia masih menegakkan wajahnya.

Ia melihat Kafka terkejut, matanya terbuka lebar berkabut ketakutan. Alea menarik napasnya panjang. Ia berhasil membuat dirinya tetap baik-baik saja. Matanya masih menatap Kafka datar. Pria itu kini menundukkan kepalanya.

"Aku hanya ingin kamu tau. Mungkin aku butuh waktu untuk membereskan masalah ini," ucap Kafka.

Alea tertawa lirih. Ia menatap Kafka lebih dalam lagi, "Yakin kau akan membereskan masalahmu? Bisa?"

Kemudian Alea menggelengkan kepalanya. Entah kenapa ia merasa berat mempercayai Kafka kali ini. Karena ia tau, Renata tipe wanita yang tidak mudah menyerah.

"Kamu tidak perlu berjanji untuk menyelesaikan masalahmu. Apalagi dengan segera. Karena dari dulu pun masalahmu tak pernah menemui ujungnya. Masalahmu hanya tenggelam selama beberapa waktu kemudian ia akan timbul lagi. Selalu begitu dan itu terus berputar," jelas Alea.

Penjelasan Alea membuatnya terdiam. Ya. Alea benar kali ini. Masalahnya memang tak pernah menemui titik temu. Selalu berputar, tak pernah selesai.

Alea kembali menarik napasnya. Ia meraih novel terjemahan yang baru ia selesaikan separuhnya. Ia berencana ingin melanjutkan bacaannya.

"Aku tidak butuh janjimu, Kafka."

"Aku tau. Tapi aku akan menyelesaikannya secepatnya."

"Hm? Apa yang akan kau lakukan? Apa setelah kau mendapat ceramah dari Maura lalu kau baru mendapatkan kembali pikiran jernihmu?" tanya Alea tanpa mengalihkan tatapannya dari novel di tangannya.

"Aku akan menemuinya, membicarakan apa yang ia permasalahkan."

Alea kembali menegakkan wajahnya. Kali ini ia menatap serius wajah Kafka.

"Menemuinya kamu bilang?"

Kafka mengangguk. "Kenapa?"

Alea mendengus. Ia kembali menekuni bacaannya. Membiarkan Kafka menanti jawabannya selama beberapa saat.

"Kalau aku bilang menemuinya bukan solusi yang baik, apa kau akan percaya? Bagiku, dengan kamu menemuinya itu sama saja kau memberikan celah baginya untuk masuk. Atau, apa memang itu yang kau inginkan?"

"Apa maksudmu? Al, jangan memulai ke arah situ. Aku tidak bermaksud lain selain menyelesaikan masalah ini. Aku tak ingin berlarut bahkan berdebat denganmu."

"Begitu? Okay, terserah kamu saja. Hanya saja, aku akan mengatakan ini sekali dan jangan pernah kamu lupa. Mengerti?"

"Apa?"

Alea diam. Ia menutup bukunya kemudian menegakkan badannya. Matanya serius menatap manic mata Kafka.

"Dengar, hanya ada aku atau tidak sama sekali."

"Maksudmu?"

"Sudah jelas, Kaf. Hanya ada aku atau tidak sama sekali. Kamu memilih aku atau kepergianku?"

Alea terdiam beberapa saat. Matanya masih menjurus tajam pada manic mata Kafka. Setelahnya ia menarik nafasnya panjang, bangun dari duduknya dan meninggalkan Kafka yang masih termangu.

"Ketegasanmu sangat berarti di sini, Kaf. Kamu tidak bisa membairkan kedua-duanya masuk ke dalam hidupmu. Aku bukan wanita se-murah hati itu," ucap Alea ketika sampai di depan pintu. Ia berkata tanpa membalikkan badannya.

Maaf, bukan maksudku mendesakmu. Aku tau, masa lalu memang tidak mudah untuk di lupakan. Apalagi kau pernah sangat mencintainya dulu. Tapi ini aku --menutup mata dan tidak akan mau tau tentang masa lalumu. Karena buatku sekarang, hanya ada aku dan kamu. Tidak ada masa lalu diantaranya. Aku dengan segala keegoisanku.

***

Suara ketukan pintu menjelang senja membuat Alea menghentikan kegiatannya menemani kedua anaknya bermain di ruang keluarga. Ia melihat mbak Tanti sedikit tergopoh menuju ke pintu utama. Tak lama mbak Tanti kembali, kali ini menemuinya.

"Alea..,"

"Siapa, Mbak?" tanya Alea menatap mbak Tanti.

"Itu, Al. Dia perempuan. Mbak lupa nanya namanya. Mau bertemu Bapak."

"Perempuan?" Kening Alea berkerut. "Aku lihat dulu. Mbak Tanti temani anak-anak sebentar ya?"

Alea beranjak, merapikan sedikit bajunya kemudian menuju ke ruang tamu. Tidak. Ia hanya melihatnya dari jarak beberapa meter sedikit mengintip.

Dia? Tubuhnya menegang kaku. Ia berani datang kemari. Wanita itu? Alea menahan napasnya. Ia memejamkan matanya beberapa saat kemudian melangkah menuju ke ruang kerja Kafka. Ia mendapati Kafka tengah terpekur, duduk di hadapan laptopnya. Tapi matanya kosong.

"Apa kau akan memberi tauku kalau dia datang?" tanya Kafka saat menyadari kehadiran Alea.

"Jadi kau sudah tau dia akan datang?" tanya Alea datar.

"Dan aku tidak akan menemuinya," ucapnya. Ia memutar kursinya hingga membelakangi Alea.

Alea menaikkan alisnya sebelah. Ia tersenyum miring. Bukan meninggalkan Kafka, malah ia mendekatinya. Ia memutari meja kerja itu kemudian berdiri di hadapan Kafka dengan tangan bersilang di dada.

"Kenapa?"

"Tidak! Biarkan saja."

"Temui dia dan selesaikan. Kamu bilang kamu akan menyelesaikannya. Ini kesempatanmu. Ingat apa yang kuucapkan tadi."

Ia melihat Kafka memejamkan matanya. Wajahnya menyiratkan rasa lelah. Lelah mengurus kerajaan bisnisnya, lalu keluarga kecilnya dan juga lelah menghadapi wanita gila itu. Mengingat tiga hal itu membuat tatapan Alea luruh. Ia maju selangkah. Tangannya terulur mengusap lembut wajah Kafka. Ia melihat pria-nya memejamkan matanya, menikmati sentuhan lembut itu. Tangannya kini bahkan menggenggam erat tangan Alea menahannya di pipinya.

"Kalau saja boleh aku mengeluh, aku teramat lelah. Aku lelah, Al. Dulu Maura, sekarang dia. Kenapa rasanya Tuhan tidak membiarkan aku hidup tenang, bahagia dengan keluarga kecilku? Kenapa harus ada hal menyebalkan seperti ini?" lirihnya.

"Tidak apa-apa. Ini hanya sesaat. Segera temui dia. Aku yakin kau bisa menyelesaikannya," ucap Alea pelan.

"Aku akan segera kembali. Bawa anak-anak ke atas," ucap Kafka beranjak dari duduknya.

Ia melangkah lebar menuruni anak tangga bersama Alea di belakangnya. Ia menunggu Alea kembali ke atas bersama kedua anaknya kemudian menuju ke ruang tamu. Menemui wanita yang akhir-akhir ini membuatnya geram.

"Ada apa?" tanya Kafka langsung.

"Hey, Kaf," sapanya dengan senyuman terbaiknya.

Wanita ini?!! Kafka mengatupkan rahangnya. Ia benar-benar berniat menggoda Kafka. Pakaiannya minim menampilkan paha mulusnya. Rambutnya tersanggul ke atas memamerkan leher putih jenjangnya. Bahunya terbuka lebar dengan belahan dadanya. Semuanya membuat Kafka harus menahan diri untuk tidak menyeretnya keluar. Ia berusaha untuk tetap menghormati tamunya.

"Ada perlu apa?" tanya Kafka dingin.

"Aku tadi ke kantormu tapi kau tidak ada. Jadi, kuputuskan untuk ke sini."

Kafka mendengus.

"Aku ingin mengajakmu makan malam di luar. Bagaimana? Kau bisa?"

"Tidak. Aku akan makan malam dengan keluargaku," jawab Kafka tegas.

"Ayolah, sekali-kali."

"Bukan sebuah masalah jika itu dengan suamimu, Renata. Pulang dan lebih baik urus keluargamu sendiri. Jangan lagi mengharapkan apapun dariku."

Ia melihat Renata terkejut sesaat. Kemudian ia berhasil mengendalikannya kembali. Renata bukan lagi perempuan yang lugu.

"Kenapa? Kita bisa meluruskan kesalahpahaman ini, Kaf."

Kafka menyipit.

"Kesalahpahaman yang mana? Aku tidak menemukan kesalahpahaman di sini. Satu-satunya kesalahpahaman adalah kamu sendiri. Kamu berharap kembali padaku."

"Apa yang salah? Kita saling mencintai bukan?"

Kafka tertawa sinis.

"Saling mencintai? Itu dulu, Rena. Sebelum kamu menghancurkan semuanya. Sekarang tidak ada lagi. Sedikitpun. Sekarang, aku dan Alea saling mencintai. Jadi, jangan pernah terpaku dengan masa lalu. Sampai kapanpun ia tak akan pernah menjadi sebuah harapan. Kenangan tetaplah kenangan. Dan sayangnya aku tidak membiarkan kenangan itu ada. Aku sudah menghapusnya.

Lebih baik kamu pulang sekarang. Apapun keputusanmu dulu, itu yang menjadi tanggungjawabmu sekarang. Sentuhlah kembali keluargamu. Jangan menjadi wanita rendahan," ucap Kafka tegas.

"Kaf,"

Kafka menggeleng tegas. Ia berdiri dari duduknya, pertanda mempersilahkan Renata untuk keluar dari rumahnya.

"Aku tidak akan menyerah untuk memperjuangkanmu, Kaf. Karena hanya aku yang boleh bersamamu," desis Renata.

"Tidak ada yang perlu diperjuangkan. Kita sudah berakhir sangat lama. Sebaiknya kamu belajar menerima keadaan!"

"Tidak! Kamu yang harus mendengarkan aku. Diantara kita sangat berharga untuk dilupakan, Kaf. Aku akan membuatmu menyadari itu."

"Jangan pernah bermimpi. Kamu yang seharusnya menyadari bahwa semua sudah berbeda. Aku anggap ini selesai, Renata."

"Kaf!!!" teriak Renata saat Kafka masuk meninggalkannya yang tetap kukuh tidak ingin pergi.

Tapi pria itu sama sekali tidak menghiraukannya. Ia menghilang, menyisakan Renata yang kembali duduk dengan segenap emosinya.

Kamu bahkan tak mau mendengarkan aku lagi. Kenapa? Perasaanku masih sama, Kaf. Tidak pernah berubah. Rintih Renata dalam hati. Ia kini terisak sendiri di ruang tamu, berharap Kafka kembali menemuinya.

***

TBC...

06 September 2015
09.42 WIB

S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: