[UN] BROKEN #14
"Mh, maaf, selamat siang."
Alea menegakkan wajahnya. Ia sedikit kaget mendapati seorang pria dengan pakaian khas kantoran berdiri di depan mejanya. Kedua anak di hadapannya pun menegakkan wajahnya. Namun salah satu diantaranya segera berdiri tersenyum lebar, sangat senang. Meski senyumnya tak mampu menutupi seluruh kesedihannya.
"Ayah?"
"Ya. Kau sudah mulai makan rupanya," gumamnya datar. Tapi sekalipun tak menyurutkan senyum anak itu.
"Iya, maaf, Yah. Ayah, kenalkan ini tante yang selalu nolongin Nick. Namanya Tante Alea," ucapnya pelan.
"Hm? Anda ayah dari Nick?" tanya Alea ramah.
"Ya. Saya Alfa. Terimakasih sudah baik dengan anak saya."
"Sama-sama. Oya, kami baru mulai makan. Kalau anda berkenan anda bisa bergabung bersama kami," tawar Alea dengan bahasa formalnya.
Dilihatnya pria itu memiringkan sedikit kepalanya seperti sedang memikirkan sesuatu. Tak kemudian ia menarik kursi dan duduk di samping Alea. Ia berdehem kecil, merapikan jasnya yang sebenarnya tidak berantakan. Tujuannya hanya untuk menutupi sedikit kegugupannya. Alea berhasil membuatnya terlihat kacau padahal ia belum mengenalnya.
"Boleh. Aku belum pernah makan semeja bersama orang lain," gumamnya lirih. Bahkan dengan anak dan wanita yang berstatus menjadi istriku, lanjutnya dalam hati.
"Kalau begitu, anda mau memesan apa?"
Alea mengangsurkan buku menu yang menyajikan beberapa makanan sehat di kantin sekolah itu.
"Bisa samakan saja dengan kalian. Aku tidak menghindari makanan apapun," ujarnya.
"Okay, tunggu sebentar."
Alea beranjak memesankan makanan satu lagi untuk pria itu. Sesekali ia melirik interaksi antara ayah-anak itu. Dingin, tak menemukan sebuah komunikasi. Tapi Alea melihat binar bahagia di manic mata Nick. Tak lama Nick beranjak, berlari menghampirinya.
"Tante," bisik Nick.
"Ya. Ada apa, Sayang?"
"Nick sedang senang. Teramat senang. Ayah mau makan bersama dengan Nick. Ini -yang pertama," ucapnya dengan nada bahagia yang membuncah.
Alea mengernyit. Ia menatap dalam mata itu. Sampai di satu titik, dimana ia melihat anak itu benar-benar polos, ia merasakan sesak dan iba pada anak itu. Tangannya bergerak mengusap puncak kepala anak itu. Senyum lembutnya mengiringi usapannya.
"Dan akan ada makan bersama selanjutnya, Sayang. Jangan sedih. Ayahmu menyayangimu tanpa harus bilang padamu. Mengerti?"
"Dan aku senang bisa mengenal tante. Aku jadi tau bagaimana disayang ibu," lirihnya.
Anak ini? Alea tak sanggup lagi menatapnya lebih dalam. Semua yang ada padanya menunjukkan betapa ia selama ini kesepian. Entah apa yang terjadi pada orangtua anak itu. Selanjutnya Alea lebih memilih merangkul bahu anak itu. Sesekali mengusapnya pelan sambil menunggu pesanan keluar karena di kantin itu bersistem self service.
"Ayo, kita kembali ke tempat duduk," ajak Alea sambil membawa nampan berisi sup dan teh hangat.
Di mejanya, ia mendapati Abiel sedang bercerita dengan ayah Nick. Entah apa yang pria kecilnya ceritakan tapi ia menceritakannya dengan semangat. Pria dewasa itupun mendengarkannya bahkan terkadang tertawa. Matanya tak lepas menatap mimik lucu Abiel.
"Maaf, makanan anda.."
"Ah, ya. Terimakasih banyak. Dan, omong-omong putra anda sangat menggemaskan sekali. Dia anak yang sangat aktif. Oya, panggil aku Alfa saja," ucapnya.
"Alfa. Ya, baiklah. Kau tadi sudah mengenalkan namamu tapi aku tidak menyebutkan namaku. Maaf, Abiel memang seperti itu anaknya. Aku, Alea."
Pria itu terkekeh.
"Tidak masalah, Alea. Senang bisa mengenal kalian. Maaf jika Nick merepotkanmu."
"Sama sekali tidak. Dia anak yang manis, Alfa."
"Oya? Terimakasih banyak. Kalau begitu mari kita mulai makannya."
"Oh, ya ayo."
***
"Kemana Kafka yang tegas? Please, jangan lemah. Bicarakan dengan Alea. Ini masalah rumah tangga kalian. Bukan soal pacaran yang bisa putus kemudian kembali bersama. Kau sudah memiliki anak, Kaf. Setidaknya kau memikirkan bagaimana nasibnya kelak jika Alea tau kemudian meninggalkanmu.
Please, biacarakan mulai sekarang. Mumpung semuanya belum terlalu jauh. Alea tipe wanita yang gampang mengambil keputusan. Kau harus ingat itu."
Tidak ada sahutan lagi. Alea berdiri kaku di ambang pintu yang tertutup rapat. Tapi ia mendengar dengan jelas semuanya. Suara wanita itu. Maura pasti datang sendirian. Beny tidak ikut serta. Karena pria itu pasti sedang sibuk meng-handle pekerjaan Kafka.
"Mom," panggil Abiel pelan.
"Ya. Masuklah, lewat pintu belakang. Jangan mengganggu Daddy. Jangan berisik, langsung masuk kamar, mengerti?"
"Yes, Mommy."
"Ayo," ucap Alea menggandeng tangan Abiel mengitari rumah besarnya menuju ke pintu belakang.
Ia membiarkan Abiel menuju ke kamarnya. Sementara dirinya berdiri di balik dinding, mengamati Kafka dan Maura yang duduk di ruang tamu.
"Jangan gila. Jangan bilang kau masih mencintai Renata," cibir Maura.
"Tidak. Aku hanya..., terkejut dengan kedatangannya. Aku sudah melupakan semua perasaanku padanya," ucapnya lirih.
"Lalu?"
"Aku.., aku hanya takut kalau anak itu benar-benar anakku. Aku masih ingat jelas. Dimana aku bangun mendapati tubuhku setengah telanjang dan ada dia di pelukanku..,"
"Telanjang sepenuhnya di malam sebelum mereka menikah?" potong Maura sambil memutar bola matanya.
"Ya. Kau masih mengingat jelas ceritaku dulu ya?"
"Kau selalu gagal move on darinya. Kau putus tiba-tiba saat kelas dua SMA karena Renata pindah tiba-tiba. Kemudian lulus SMA tiba-tiba dia datang menangis padamu, dan kau luluh. Dia gadis polosmu. Dan kau mencintainya dengan buta. Sampai-sampai kau membutakan mata terhadap cincin pertunangan di jarinya. Kamu menerimanya kembali. Padahal kamu tau dia akan menikah dalam waktu dekat."
"Dia masih mencintaiku."
"Itu dulu, Kaf. Dulu dia masih polos. Kau dengan bodohnya membiarkan dirimu meratapinya sepanjang malam. Kau bahkan mengabaikanku. Dan, sekarang? Dia bukan wanita polos lagi. Dia menginginkanmu."
"Apa dia masih mencintaiku?"
"Oh, astaga, Kafka!!! Dan kau berniat menerimanya kembali? Lebih baik kau bunuh diri saja sekarang! Sinting!"
Kafka menghela nafasnya. Ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa.
"Aku hanya becanda. Kalaupun ia benar masih menyimpan rasa itu, itu urusannya. Aku hanya mencintai Alea."
"Tapi kau bingung. Kau masih dibayangi masa lalumu."
"Lalu aku harus bagaimana?"
"Ceritakan saja pada Alea. Dengan kamu bercerita, Alea pasti akan percaya padamu. Atau bisa saja ia akan mendampingimu apapun yang terjadi. Ia akan selalu membelamu."
"Begitu?"
"Cobalah."
Alea terdiam. Ia menarik nafasnya dalam-dalam. Apa ini? Kafka dan Renata dengan sebuah cerita masa lalu yang belum selesai. Anggap saja memang belum selesai. Masih ada anaknya yang menjadi pertanyaan. Benar dia anak Kafka? Lalu yang mana anaknya?
Kakinya seakan melayang menapaki setiap anak tangga. Ini -anggap saja sebuah kejutan di siang bolong. Kejutan yang benar-benar tak pernah ia duga.
Aku bukan wanita sempurna yang selalu bisa berpihak padamu, Kafka. Aku bukan wanita yang selalu mempercayaimu, membiarkan apapun yang dulu terjadi padamu menjadi sebuah kenangan. Tidak bisa. Apalagi jika kenangan itu ingin menjadi sebuah harapan. Tidak! Aku tak sekuat itu dan aku tidak sebaik itu.
"Katakan hanya ada aku atau tidak sama sekali," desis Alea pada dirinya sendiri.
Sampai di dalam kamarnya ia roboh. Tubuhnya menggelosor di lantai. Ia menggigil menahan tangisnya semampu ia bisa.
"Aku berjanji, tidak akan menangis untuk kisah konyol semacam ini. Air mataku terlalu berharga untuk sebuah masa lalunya," bisik Alea bergetar.
Ia memejamkan matanya, berusaha mengatur napasnya. Ia berdiam selama beberapa saat kemudian beranjak bangun saat mendengar langkah kaki mendekat. Ia mengerjabkan matanya beberapa kali. Mengembuskan napasnya lewat mulutnya secara perlahan.
"Mommy..,"
"Iya, sayang?" Ia menoleh, tersenyum lega ketika mendapati pemilik suara langkah kaki itu adalah Abiel.
"Adik Aaron nangis, Mom. Dia baru bangun tidur."
"Apa? Okay, ayo. Sebentar, Mom cuci tangan dulu, Sunny," ucap Alea sambil melesat ke wastafel. Ia mencuci tangannya sekaligus membasuh wajahnya.
Kemudian ia kembali dengan senyuman lembut terbaiknya. Tangannya meraih bahu Abiel, menggiringnya menuju ke kamar anak-anak.
"Anak mom baru bangun? Hmm, ssh, tenanglah, ada mom di sini," ucap Alea meraih Aaron dalam gendongannya. Bayi setahun itu merengek dalam gendongannya sejenak kemudian diam setelah menyadari sentuhan lembut ibunya.
"Kakak Abiel, ayo tidur siang," ucap Alea bernada sedikit memerintah sambil mengusap-usap punggung Aaron. Bayi itu nampak sedang menikmati disusui ibunya.
"Abiel mau tidur di peluk Mom," ucapnya merengek.
"Adik Aaron sedang haus, sayang."
"Abiel mau menunggu sampai selesai."
Alea tersenyum. "Oya? Kemarilah, anak manis."
Abiel mendekati Alea yang duduk menyusui di sofa dekat box bayi. Ia duduk merekat erat pada ibunya sambil tangan mungilnya ikut mengusap-usap punggung adiknya.
"Abiel sayang sama adik Aaron," ucapnya terdengar tulus. Ia bergerak mengecup kepala adiknya.
Tidak akan. Aku tidak akan membiarkan wanita itu mengambil Kafka dari anak-anak manis ini. Aku berjanji, batin Alea dalam hati. Ia menarik seulas senyuman, menyembunyikan kegetirannya.
***
TBC
04 Sept 2015
S Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top