[UN] BROKEN #13

"Aargghh! Kenapa susah sekali merebutmu kembali, Kaf?" erang Renata.

Ia melempar gelas yang ia pegang hingga hancur membentur tembok. Kamarnya berantakan karena ia mengamuk barusan. Bertemu dengan Alea membuatnya meradang. Alea bukan tipe orang yang gampang terpengaruh. Ia bahkan sudah kehabisan akal untuk melumpuhkan Alea dan menaklukkan Kafka.

Ia mengusap wajahnya kasar kemudian meremas kuat rambut panjangnya. Ia pikir kehadirannya kembali bisa sedikitnya menggoyahkan hati Kafka. Bagaimanapun ia masih menyimpan rasa itu dengan rapi. Sedetik kemudian ia tak bisa menahan tangisnya ketika mengingat betapa tulusnya dulu Kafka mencintainya.

"Kenapa? Kenapa susah sekali membuatmu paham bahwa rasa ini tak pernah berubah? Kenapa sedikitpun kau tak pernah memberiku kesempatan? Setidaknya dengarkan penjelasanku? Kafka..,"

Renata memeluk lututnya. Tubuhnya bersandar di dinding. Wajahnya sangat kacau. Ia terus menyesali apa yang pernah terjadi dulu.

"Apa kamu tau? Ini entah keberapa ribu kalinya aku menangisimu. Aku merindukanmu. Merindukan saat kau jadi milikku."

Ia kembali terisak. Dalam gelap kamarnya, sakit yang ia rasa malah semakin nyata. Ia tak pernah absen berpesta dengan penyesalannya. Menghabiskan setiap malam hanya untuk menangisi Kafka.

"Mama, temani Nick belajar, Ma."

Suara anak laki-lakinya membuatnya tergagap. Ia menegakkan wajahnya. matanya menangkap siluet tubuh mungil di ambang pintu yang sedikit terbuka.

"Lakukan sendiri! Jangan manja. Anak laki-laki tidak boleh manja!!" gertak Renata setengah sadar.

"Kenapa sih mama selalu marah-marah? Nick kan hanya ingin seperti anak yang lain, ma," ucapnya lirih.

"Nichlause! Jangan membuatku semakin marah. Pergi sekarang dan lakukan sendiri!!"

"Tapi, ma..,"

"Mama bilang lakukan sendiri!!" sentak Renata.

Bocah itu terdiam beberapa saat kemudian melangkah pergi dengan bahu bergetar.

Tubuh kecilnya kini meringkuk di sudut kamarnya. Ia merintih dalam diam. Bagaimanapun ia menginginkan kasih sayang kedua orang tuanya. Yang terjadi sekarang ia tak jauh beda dengan anak yatim piatu. Ia bahkan tak menyadari ketika sepasang mata tajam mengamatinya dari celah pintu kamarnya yang terbuka.

Kau hadir memang karena kesalahanku. Kau hadir dengan tidak sangat kuinginkan. Tapi aku tak bisa membencimu. Tidak juga mencintaimu. Dan.., aku memang tak pernah menyentuhmu. Tapi aku bisa merasakan kepedihanmu saat melihatmu. Dan, aku tak bisa melihatmu dan membiarkanmu seperti ini. Aku berjanji, kau akan mendapatkan harapanmu, Nick. Keluarga bahagia.

Ia melangkahkan kakinya lebar menuju ke ruang kerjanya. Dimana ia selalu menghabiskan waktunya untuk menenggelamkan dirinya di sana daripada bertemu dengan wanita yang berstatus menjadi istrinya.

Tangannya mengeluarkan beberapa lembar kertas yang tersimpan di dalam sebuah amplop. Senyumnya mengembang saat membaca judul itu.

Aku akan mencarikanmu ibu yang baik untukmu, Nick. Yang menganggapmu sebagaimana anak semestinya. Yang tidak membuatmu selalu ketakutan setiap malam.

***

"Kaf? Kamu.., tidak berangkat ke kantor?"

Alea mengernyit heran ketika melihat Kafka turun masih mengenakan t-shirt putih dan celana trainingnya padahal jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Pria itu hanya menggeleng kemudian menyapa Abiel yang duduk manis sudah rapi dengan seragam sekolahnya.

"Kenapa?" tanya Alea heran.

"Aku tidak tau kenapa. Pokoknya seminggu ini aku ingin bekerja di rumah. Benar katamu, mungkin aku harus mengambil cuti."

"Ada alasan lain?" tanya Alea menyipitkan matanya.

Ia menggeleng tegas. Alea hanya mengangkat bahu. Satu-satunya alasan yang ia tau adalah Kafka mencemaskan kemunculan Renata. Alea tau itu tanpa ia harus bertanya.

"Okay, jadi seharian nanti kau akan bekerja di ruang kerjamu?" tanya Alea sambil menuangkan orange juice di gelas Kafka.

Dilihatnya Kafka menengadahkan wajahnya, menatap dirinya yang berdiri di samping Kafka.

"Iya. Aku akan efective mempekerjakan Derren mulai hari ini. Please, kamu jangan membantah."

"Jangan sekarang. Nanti saja. Memangnya kenapa?"

"Al, aku tidak ingin sesuatu hal terjadi padamu."

Alea berdecak. Ia memutar bola matanya jengah. Kafka selalu mengatakan hal itu tapi tak pernah disertai dengan alasannya.

"Aku akan baik-baik saja. Maksudku, kami."

Ia melirik singkat kemudian menarik kursi untuknya. Ia mengambil jatah nasi gorengnya. Sekilas ia melihat Kafka mengembuskan napasnya pelan di sela suapannya.

"Al, please. Dengarkan aku," pintanya.

"Apa ada yang jahat, Dad? Kalau begitu Abiel akan menjaga Mom. Dad tenang saja," ucap Abiel berapi-api dengan mulut penuh makanan. Terlihat sangat lucu dan menggemaskan.

"Oya? Kau bisa menjaga Mom?"

Abiel mengangguk cepat. Senyum lebarnya terkembang sempurna.

"Ya. Aku akan memelototinya begini..." Ia mempraktekkan bagaimana ia melotot dengan wajah seseram mungkin tapi yang terjadi adalah Abiel yang lucu dan menggemaskan. Mata coklatnya melebar tajam, persis seperti Kafka. Yang membuat lucu adalah pipinya putih dengan sedikit rona merah yang menggembung dan bibir merahnya yang mengerucut. Hal itu mengundang tawa dari Kafka dan Alea.

"Ya, sudah. Dad percaya padamu, Son," ucap Kafka disela tawanya.

"Jadi Mom akan aman bersamaku, Dad!" ucapnya penuh keyakinan.

Kafka mengangguk-angguk. Tangannya terulur mengusap puncak kepala jagoannya.

"Ayo, sayang. Habiskan sarapanmu, kau harus segera berangkat. Mengerti?" ujar Alea mengingatkan.

"Yes, Mom," jawabnya patuh.

"Kalau begitu kau ingin diantar Daddy atau mom? Atau mbak Tanti?" tanya Kafka.

Ia nampak berpikir sejenak. Alea mengamatinya dari sudut matanya. Sementara Kafka menatap Abiel, menanti jawaban darinya.

"Abiel diantar Dad saja. Nanti pulang Mom jemput Abiel ya?" pintanya dengan tatapan merayu penuh harap.

"Okay, baiklah. Tunggu sebentar, Dad ganti baju dulu."

***

Waktu menunjukkan pukul setengah sepuluh. Alea buru-buru mengenakan cardigannya. Ia harus segera menjemput Abiel. Ia melangkah cepat menuju ke ruang kerja Kafka sambil menggendong Aaron.

"Kaf,"

"Ya, Baby?" Terdengar suara krasak-krusuk dari dalam. Sepertinya Kafka sedang membereskan tumpukan berkas pekerjaannya. Tak lama terdengar langkah kaki mendekat.

"Aku harus jemput Abiel sekarang. Jadi, Aaron sama kamu tidak apa-apa kan?"

"Tidak apa-apa, Baby. Ah, ya bagaimana kalau kuantar saja?" Kafka memainkan alisnya.

"No. Aaron sedang tidak enak badan hari ini, Kaf."

"Kalau begitu kau saja yang di rumah dan aku yang menjemput Abiel."

Alea mengembuskan nafasnya. Ia memutar bola matanya.

"Kaf, kamu memang seharusnya meluangkan lebih banyak waktu untuk mengenal anakmu. Dia anak yang mengingat jelas janjinya."

"Okay, maaf. kalau begitu biar di antar..,"

"Aku bisa sendiri, sayang. Abiel lebih senang naik taksi atau kalau tidak angkutan umum tidak masalah. Aku akan segera kembali," potong Alea. Ia berjinjit mengecup rahang Kafka kemudian berganti mencium pipi Aaron sebelum akhirnya bergegas pergi. Kafka hanya mendesah. Dari dulu Alea memang selalu melakukan semuanya sendiri. Ia tipe wanita independent.

Alea mengembuskan nafas leganya saat taksi membawanya cepat dan lancar di yayasan tempat Abiel sekolah. Gedung sekolah elite yang memiliki fasilitas lengkap. Dari playgroup, TK, SD, SMP sampai SMA berada di dalam satu wilayah yang sangat luas itu. Ia melirik jam di tangannya. Lima menit lagi Abiel akan keluar dari sebuah bangunan yang riuh suara anak-anak. Benar saja. Ia hanya perlu berdiri di bawah pohon sebentar sampai kemudian seorang anak berlari menubruknya dengan tawa riangnya.

"Mommy!!" serunya bergelayut di badan depan Alea.

"Kesayangan Mommy, apa kabarmu hari ini?" sapa Alea menjunjung tinggi badan Abiel. Tangan Abiel membalasnya dengan mengalungkan kedua tangannya di leher Alea. Ia tidak malu malah terlihat sangat senang Alea memanjakannya.

"Baik, Mom. Tadi aku menyanyi.. twinkle-twinkle little stars how.."

"I wonder what..." sambung Alea.

"You are. Mommy, nanti ajarin Abiel lagi ya?" pintanya.

"Boleh. Nanti malam ya? Tapi janji, Abiel harus jadi anak yang.."

"Manis, Mom!!"

"Pintar," kekeh Alea diakhiri dengan kecupan di pipi Abiel. "Ayo, kita pulang."

Alea menurunkan Abiel dan menggandeng tangan mungilnya. Namun langkahnya terhenti saat melihat seorang anak menatapnya sedih. Ia nampak berdiri mematung dengan mata berkaca-kaca.

"Nick? Hey?" Alea memutuskan untuk menghampiri anak itu. Saat di depannya, anak itu menundukkan kepalanya dalam-dalam.

"Kamu kenapa?" tanya Alea sedikit membungkuk agar wajahnya sejajar. Tangannya terulur mengusap pipi anak itu.

Nick menggelengkan kepalanya. Ia meremas jemarinya tanpa berani menegakkan wajahnya.

"Kamu sedang istirahat ya? Kenapa kamu sendirian?"

Lagi. Nick menggelengkan kepalanya, "aku tidak punya teman." Suaranya terdengar sendu.

"Benar begitu? Aduh, kamu sudah makan?"

Nick terdiam.

"Nick menunggu papa. Papa bilang Papa akan datang. Tapi tidak."

"Begitu? Kalau mau, Nick bisa makan siang sama tante. Bagaimana, mau?" tawar Alea.

"Kakak Nick kenapa, Mom?" tanya Abiel memperhatikan Nick dari inchi per inchi.

"Kakak Nick sedang sedih. Menunggu ayahnya yang belum datang. Abiel mau menemaninya?" Kali ini Alea menatap anaknya.

"Kasian Kakak Nick. Kalau gitu, ayo, Mom. Abiel mau bermain dengan Kakak Nick," ucapnya tulus.

Alea mengembangkan senyumnya. Ia mengulurkan tangannya di hadapan Nick. Anak itu menatapnya sejenak. Sampai kemudian ia membalas senyuman Alea dan menyambut uluran tangan Alea.

"Terima kasih, Tante."

"Sama-sama, Sayang."

***

Siapa dia? Sungguh wanita yang sangat lembut. Ia mampu membuat anakku tersenyum semanis itu. Ia membuat Nick merasakan sedikit bahagia. Aku tak akan melepaskannya darimu, Nick. Papa berjanji.

Alfa terpaku di dalam mobilnya melihat bagaimana lembutnya wanita itu memperlakukan Nick. Menemaninya bahkan berbagi suapan dengan anaknya yang terpaut beberapa tahun lebih muda dari Nick. Tanpa sadar sudut matanya meneteskan crystal bening. Dalam hatinya ia merasakan haru yang tak ia bayangkan sebelumnya.

***

TBC..

Ada yg bisa nebak ini ntr gimana jadinya? xixixi..

okee makin ga jelas yaaa..

01 Sept 2015

S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: