[UN] BROKEN #11

"Kaf,"

Kafka melangkah lebar menuju ke mobilnya. Ia sempat merutuki Alea yang menyuruhnya ke supermarket untuk membeli beberapa makanan ringan dan minuman karena Adam dan keluarga kecilnya akan berkunjung ke rumah hari ini. Tangannya melempar cepat belanjaannya ke dalam jok belakang.

"Kafka, beri aku waktu sedikit untuk bicara. Kita perlu bicara."

"Tidak ada yang perlu kita bicarakan. Semuanya sudah selesai sejak kamu pergi."

"Aku bisa menjelaskan kenapa aku meninggalkanmu. Kenapa aku pada akhirnya menikah dengan Alfa."

Kafka menutup kembali pintu mobilnya. Ia berdiri tegak di sisi badan mobilnya. Matanya menatap tajam wanita itu.

"Dengar, aku tidak peduli pada akhirnya kenapa kau pergi dan kenapa kau menikah dengan laki-laki itu. Jangan menggangguku! Dan lupakan semuanya seperti aku yang sudah melupakan semuanya!"

"Kenapa? Tidak bisakah kau berdamai dengan masa lalumu?"

"Sudah cukup, Renata!!"

Kafka membuka pintu mobilnya. Ia bergegas masuk. Tapi tangan Renata menahannya saat ia akan menutup pintunya.

"Bagaimana jika Nick adalah anakmu, Kaf? Apa kau juga masih bersikap demikian? Aku tidak sedang becanda."

"Sekalipun kau menggunakan anakmu untuk membuatku kembali padamu, itu tak akan berhasil."

"Kaf..,"

Blapp!!

Kafka menutup keras pintu mobilnya. Tak peduli Renata terjepit atau malah terserempet gerakan pintu. Ketukan di jendela tak berarti untuknya. Ia kemudian melajukan mobilnya dengan cepat.

Nafasnya memburu diantara kemudinya. Ia mengendurkan otot bahunya.

Tidak! Rasa itu tidak boleh hadir lagi. Aku tidak boleh jatuh lagi padanya. Aku tidak boleh kasihan padanya, sederas apapun air matanya untukku.

Ia membuang napasnya. Mengusap wajahnya pelan dengan kedua tangannya. kemudian menatap pintu rumahnya dengan gusar, ketakutan. Ia takut suatu saat nanti Alea lelah dan lebih memilih meninggalkannya.

"Argh!!!" erangnya. Tangannya memukul bulatan kemudi dengan cukup keras.

Suara ketukan membuatnya tergagap. Ia dapat melihat Alea mengetuk kaca pintu mobilnya. Seketika tubuhnya menegang. Tangannya urung membuka pintu mobil. Ia lebih memilih diam, mengendurkan otot-otot wajahnya.

"Kaf!"

Teriakan Alea terdengar samar. Sampai kemudian ia memutuskan untuk keluar dari mobilnya ketika dirasa dirinya sudah baik-baik saja.

"Lama sekali? Kak Adam sudah datang setengah jam yang lalu. Sini, mana belanjaannya," ucap Alea cepat tanpa ada nada marah padanya.

Kafka hanya diam tak menyahut. Ia membuka pintu belakang, mengambil kantong plastik belanjaannya.

"Oya, kamu akhir-akhir ini sering melamun. Kenapa?" tanya Alea mengikuti langkah Kafka masuk ke rumah lewat pintu garasi.

"Tidak. Hanya karena banyak kerjaan saja."

"Oh, mungkin kau perlu ambil cuti. Kau bisa liburan sebentar."

"Denganmu?"

"Terserah. Tapi yang jelas aku tak akan membiarkan Abiel meninggalkan jam-jam sekolahnya," sahut Alea.

"Berarti aku liburan sendiri."

"Bisa jadi." Alea menjawab singkat. Matanya mengamati punggung Kafka. Lebar, tegap.

Alea tertawa lirih. Menertawakan keadaan yang ia alami saat ini. Wajar saja jika masa lalunya hadir kembali. Kafka-nya yang sempurna. Tanpa sadar ia sudah tenggelam dalam lamunnya.

"Baby,"

Kafka mengernyit. Ia bersandar di meja pantry, menunggu dan mengamati langkah Alea yang sangat pelan. Jelas terlihat kalau Alea sedang asyik melamun. Apa yang ia lamunkan? Tentang Renata? Apa iya? Mungkin saja iya. Ia tak pernah melamunkan sesuatu sebelumnya. Kafka mendesah. Ia memutuskan untuk menghampiri Alea. Kedua tangannya menangkup wajah Alea, membuat wanita itu tergagap.

"Kamu melamun, Babe," tegur Kafka lembut.

"Oh, kenapa?"

"Apa yang kamu pikirkan?"

Alea menggelengkan kepalanya. Ia berdehem untuk mengembalikan kendali atas dirinya. Tangannya terangkat, melepas rangkuman tangan Kafka di wajahnya. Sikapnya membuat Kafka terkejut.

"Baby,"

Alea memejamkan matanya. Melihat Kafka membuatnya ingat tentang suatu hal. Ia tadi sempat melihat pesan masuk di ponsel Kafka yang tertinggal. Pesan baru dari sebuah nomor asing. Kafka tidak menyimpannya.

Bisa kita bertemu besok jam makan siang? Aku menunggumu di taman dekat sekolahan Nick.

#Renata

Jadi Renata sudah memiliki anak bernama Nick? Aku akan menemuinya besok. Kafka tidak akan datang, Renata. Karena aku sudah menghapusnya, gumam Alea dalam hati.

"Alea?"

"Kaf, boleh aku bertanya?" Alea menatap Kafka dengan mata sendunya.

"Kenapa? Apa? Kamu aneh dan membuatku takut, Al."

"Kalau ada apa-apa dengan kita, apa yang akan kau lakukan?"

Kafka mengernyit, "pertanyaan macam apa? Tentu saja mempertahankan semua tentang kita."

"Benar?"

Kafka mengangguk. Ia melihat Alea menghela nafasnya.

"Apapun yang terjadi?"

"Ya. Kurasa jawabanku cukup jelas. Sudah, jangan membuatku takut. Aku akan selalu mencintaimu, satu-satunya wanita yang selalu bisa membuatku bangkit kembali dalam keadaan apapun," ucap Kafka dengan segenap perasaannya. Tangannya menarik Alea hingga terjatuh dalam dekapan eratnya.

"Ayo, kamu belum bertemu Kak Adam dan Adel kan?" ucap Alea merenggangkan pelukan Kafka.

"Cium dulu."

"Tidak!"

Alea melemparkan tatapan tajamnya. Tapi kemudian memekik kecil saat Kafka kembali mengeratkan pelukannya. Pria itu tertawa berhasil mencuri kecupan singkat di bibir Alea. Ia menggiring Alea menuju ke ruang tengah dimana Adam dan Adel tengah menunggunya bersama anak-anaknya.

"Boss besar, hay.. Apa kabarmu?" sapa Adam segera berdiri dari duduknya.

"Baik, General Manager. Kau sendiri?"

"Luar biasa. Dan, oya! Aku baru tau kalau Boss besar mau ke supermarket berbelanja untuk istrinya," seloroh Adam berbuah dengusan dari Kafka.

Ia kemudian memeluk singkat Adam dan menjabat tangan Adel. Hal yang sama dilakukan oleh Alea. Hanya bedanya, ia memeluk Adel dan Adam lebih erat.

"Aku merindukan kalian," ucap Alea.

"Aku juga," sahut Adam.

Alea mendekatkan dirinya, sedikit berjinjit untuk membisikkan sesuatu di telinga Adam.

"Aku ingin bercerita padamu. Aku tidak meminta nasihatmu, hanya ingin kau mendengar. Tapi nanti saja," bisik Alea cepat.

Adam mengangguk paham, "ya. Kau bisa menghubungiku kapan saja, Little Girl."

Alea melebarkan senyumnya, lengkap dengan kedipan matanya. Ia menjentikkan jarinya tanda -OK, tak peduli dengan tatapan penuh tanya dari Kafka.

"Okay, mari kita bersenang-senang," seru Alea meraih botol coke dan menuangnya salam beberapa gelas, disambut dengan seru oleh Adam dan Adel. Sementara anak-anak sudah asyik bermain sendiri.

***

"Tidak, nanti saja, Kak. Aku perlu menyelidiki apa urusannya dan bagaimana mereka dulu. Setelah nanti aku mendapatkan semuanya, aku baru akan menceritakannya padamu," ucap Alea sambil menjepit ponselnya di antara bahu dan telinganya.

Ia berjalan tergesa sambil membawa kotak kecil. Kali ini bukan berisi makanan. Hanya sebuah gulungan kertas berpita warna merah.

Selalu dan selamanya

A. Kafka ♡ Renata F.

Alea menutup kembali kotak itu dan memasukkannya pada sebuah lemari.

"Begitu? Kau yakin kau bisa?" Suara Adam terdengar meragukan Alea. Lebih dari itu, ia sangat mengkhawatirkan Alea.

"Aku bisa. Aku tidak boleh menangis lagi kan? Terakhir aku janji, aku menangis untuk bahagia itu ketika pernikahanmu, Kak."

"Ya, aku percaya. Segera katakan padaku jika kau merasa itu berat."

"Aku mengerti. Sudah ya? Aku harus menyiapkan sarapan. Kemudian aku akan pergi menjelang jam makan siang. Bisakah kalian datang ke rumah? Aku butuh kalian untuk menemani Abiel dan ya, mungkin kau bisa menahan Kafka untuk berdiam di rumah."

"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Adam penasaran.

"Hm, bukan hal penting. Bertemu dengan seseorang. Jika Kafka bertanya, bilang saja aku jalan dengan Adel. Karena aku akan membuat Kafka sibuk dengan anak-anak hari ini."

"Jadi aku harus ke rumahmu dengan anak-anak, tanpa Adel?"

"Ajak sekalian juga tidak apa-apa, Kak. Memang benar aku akan mengajak Adel," kekeh Alea.

"Oh, baiklah. Aku tenang jika kau keluar dengan Adel. Okay, aku akan membicarakannya dengan Adel. Sampai nanti, Little Girl."

"Bye. Terimakasih banyak, Kak."

Alea menghembuskan nafas leganya. Ia kemudian meletakkan ponselnya di atas meja pantry. Ia beralih pada lemari pendingin, berpura-pura mengambil sesuatu saat mendengar suara langkah kaki menuruni anak tangga. Tak lama pemilik langkah kaki itu muncul di ambang pintu, melangkah cepat dan langsung memeluknya.

"Morning, Babe," sapa Kafka, mengecup lama bibir Alea.

"Morning, My Man. Tumben sekali kau bangun pagi saat hari minggu?"

"Lagi-lagi kau meninggalkanku saat tertidur. Aku sangat tidak nyaman, tau?"

Alea memutar bola matanya. Sikap Kafka akhir-akhir ini seperti orang yang ketakutan ditinggal mati.

"C'mon, Kaf. Aku harus membuat sarapan untuk kalian."

"Ada mbak Tanti. Khusus week end ini kau harus selalu untukku. Aku tak nyaman kau jauh sedikit saja dariku."

Alea memekik saat Kafka dengan entengnya mengangkat tubuhnya, membawanya kembali ke kamar. Ia merebahkan Alea dengan hati-hati ke ranjang kemudian ia berguling ke samping Alea, bersatu dalam selimut tebalnya kembali.

"Aku butuh tidur lagi, Al," gumamnya setengah sadar.

Kalau begini, bagaimana caranya aku pergi menemui wanita itu? Batin Alea. Ia hanya menatap pasrah pada lengan Kafka yang mengurung dirinya. Sesaat kemudian ia mendengar dengkuran halus dari pria itu. Ia mencoba menguraikan lengan Kafka tapi rupanya sangat sulit.

"Kau tak akan bisa lepas dariku, Sayang. Sekalipun kau menginginkannya," gumam Kafka sedikit tak jelas.

"Oh, My!" desah Alea memutar bola matanya.

***

TBC..,

heyyy, tambah bete apa tambah penasaran setelah baca part ini?

28 August 2015

S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: